Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
Berita Terbaru

MPBA IPMAFA Terima Kunjungan Studi Banding STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta

Tingkatkan Kualitas, Dosen Magister PBA IPMAFA Adakan Ijtima’ Tansiqiy

Dirkamsel Korlantas Polri Bahas Program Keselamatan Berkendara di IPMAFA

Kembangkan Prodi, Fakultas Syari’ah IPMAFA Lakukan Kunjungan ke UIN Sunan Kalijaga

IPMAFA Hadiri Pembukaan AICIS 2024 di UIN Walisongo Semarang

Pesantren Islam Nusantara
Share
WhatsApp
Facebook
Twitter

munawir-azizOleh: Munawir Aziz*

PESANTREN selama ini jadi salah satu pilar kokoh kemerdekaan dan kemandirian negeri ini. Jaringan ulama pesantren pula yang membangun pilar perjuangan untuk kemerdekaan bangsa ini.

Pada awal abad XX, ulama pesantren membentuk jaringan dan membangun rasa nasionalisme untuk melawan rezim kolonial. Tapi kontribusi besar pesantren dan jaringan ulama tidak banyak diakomodasi dalam narasi pengetahuan yang diciptakan oleh penguasa, terutama Orde Baru.

LOGO AYO MONDOKKontribusi besar pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pergerakan kebangsaan inilah yang perlu kembali direnungkan saat ini. Ketika bangsa ini menghadapi tantangan moral generasi muda dan ancaman perpecahan NKRI, kita perlu bercermin pada pesantren.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren terbukti menghasilkan pejuang kemerdekaan dan orang-orang besar sebagai ulama, pendidik, cendekiawan, politikus, atau pemimpin bangsa. Gerakan #AyoMondokyang diinisiasi Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (RMI, asosiasi pondok pesantren NU) merupakan agenda penting untuk kembali mengenalkan pesantren sebagai episentrum pendidikan nasional dan gerakan kebangsaan.

Tentu #Ayo- Mondok bukan sekadar selebrasi gagasan melainkan perlu diikuti pembenahan internal dan manajemen pesantren supaya kontekstual dengan zaman ini, dengan pertumbuhan signifikan kelas menengah. Pada masa kampanye Pilpres 2014, Joko Widodo berjanji berpihak pada kepentingan pesantren.

Dia mengungkapkan tentang penetapan Hari Santri, sebagai wujud keberpihakan terhadap kearifan lokal, tradisi Islam Nusantara, dan legitimasi politik terhadap komunitas pesantren. Menurut Jokowi, ”Santri adalah kearifan lokal. Jadi kalau kita buat penetapan Hari Santri, berarti kita telah memberikan penghargaan lebih tinggi terhadap santri, yakni menjadikan kearifan nasional” ungkap Jokowi.

Gus Dur yang meneruskan jejak perjuangan ayahanda (KH Wahid Hasyim, 1914-1953) dan kakeknya, tampil sebagai santri yang tidak hanya menguasai pengetahuan agama tapi juga berhasil mentransformasikan ilmunya dalam strategi politik kebangsaan.

Sejarah Islam Nusantara dan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran santri dan pesantren. Keduanya menjadi instrumen penting penyebaran agama. Catatan-catatan sejarah, semisal Ma Huan dan inskripsi makammakam di Jawa menyebut bahwa penyebaran Islam di Indonesia pada kisaran abad XI-XIV.

Pada titik inilah, Islam mulai menjadi bagian dari dinamika agama di Nusantara, yang terkait dengan gerak misi Buddha dan Hindu di Jawa dan Sumatra. Santri mulai mencatatkan sejarahnya ketika Walisongo menjadi juru dakwah dengan strategi damai.

Walisongo, yang merupakan misi keagamaan dan politik Ottoman kemudian b e r – jejaring dengan ulamaulama dari Campa dan India. Inilah yang menjadi model transformasi Islam ke seluruh Nusantara. Silang koneksi Ottoman, Arab, Tiongkok, India, dan Nusantara jadi bagian dari sejarah politik keagamaan di negeri ini. Hingga, proses lahirnya Islam Indonesia yang bertahan hingga kini dengan segenap variannya.

Politik Kebangsaan

Pada masa revolusi, jaringan santrikiai berperan penting memperjuangkan kemerdekaan dan melawan kolonial. Fatwa Jihad Kiai Hasyim Asyíari (1871-1947) pada 22 Oktober 1945 menggerakkan ribuan santri untuk berjuang bersama dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dan peristiwa Palagan Ambarawa (Bizawie; 2013). Lagi-lagi, peran sejarah santri ini tersisih dari naskah sejarah Indonesia modern. Lalu, bagaimana santri dimaknai dalam kontestasi politik saat ini? Kiprah KH Abdurrahman Wahid (19- 40-2009) menjadi penanda penting.

Gus Dur yang meneruskan jejak perjuangan ayahanda (KH Wahid Hasyim, 1914-1953) dan kakeknya, tampil sebagai santri yang tidak hanya menguasai pengetahuan agama tapi juga berhasil mentransformasikan ilmunya dalam strategi politik kebangsaan. Peran sejarah santri sering dipinggirkan dalam wacana pengetahuan ataupun politik penguasa. Pada era Jokowi-JK, santri dan komunitas pesantren dapat menjadi bagian penting dari upaya pemerintah menerjemahkan konsep revolusi mental.

Dalam tradisi santri, revolusi mental bergerak secara dinamis tanpa terjebak pada isu-isu ideologis. Revolusi mental sudah jadi bagian dari tradisi sejarah santri, dengan perlawanan kontinu terhadap kolonialisme ataupun upayaupaya yang menghancurkan bangsa. Santri juga bisa menjadi agen untuk menebar Islam yang ramah dan mengampanyekan Islam yang rahmatan lil lamin.

Di titik ini, risiko akibat gesekan ideologi antarkelompok Islam ataupun ideologi lintas agama bisa diredam. Gerakan #AyoMondok yang diinisiasi RMI dan jaringan pesantren di negeri ini perlu didukung sebagai langkah strategis berkontribusi dalam sistem pendidikan nasional. (10)

*Munawir Aziz, Koordinator Media dan Informasi Rabithah Ma’- ahid Islamiyyah (RMI, asosiasi pesantren NU) Jawa Tengah, peneliti tentang Islam Nusantara

Bisa dibaca di Suara Merdeka edisi cetak edisi Senin Legi, 1 Juni 2015 halaman 6