Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
Berita Terbaru

Pendaftaran Beasiswa KIP Kuliah IPMAFA 2024 Resmi Dibuka: Cek Persyaratan dan Alur Pendaftarannya Sekarang

Mahasiswa MPBA IPMAFA Jadi Narasumber dalam Pelatihan Pengembangan Media Pembelajaran Bahasa Arab di MGMP Bahasa Arab Jepara

Monev KOPERTAIS Wilayah X Jawa Tengah di IPMAFA: Penguatan Mutu dan Sinergi Pengelolaan Institusi

IPMAFA Dampingi Lima Desa dalam Penerapan Smart Village melalui Laboratorium Sosial PMI

Tingkatkan Kualitas Pendidikan, Fakultas Tarbiyah Hadirkan Pakar Genetika

Mengapa Anak Lebih Mengidolakan Gurunya?
Share
WhatsApp
Facebook
Twitter

Oleh: Sumiyati*

Anak merupakan masa depan yang tidak ternilai harganya. Pola asuh yang tepat kepada anak akan membawa dampak yang signifikan dan luar biasa bagi kehidupan anak selanjutnya. Terutama di usia emas pertumbuhan dan perkembangannya. Usia emas ini berada pada masa 0-6 tahun yang sering disebut sebagai golden ages. Ketika seorang anak dilahirkan ke dunia, anak telah dibekali dengan milyaran sel otak yang menunggu untuk distimulasi, untuk proses tumbuh kembang selanjutnya. Otak bayi ini ibarat spons yang mampu menyerap sebanyak banyaknya pengetahuan yang mampu dilihat, di dengar, dan dirasakannya. Dengan demikian, setiap orangtua hendaknya memberikan pendidikan, pengasuhan dan perawatan terbaik bagi anak-anaknya.

Dengan stimulasi yang tepat, maka otak bayi dan segenap rangkaian pertumbuhan dan perkembangan anak akan dapat berjalan dengan optimal. Stimulasi yang tepat yang dimaksud bukan pemaksaan, bukan pula keharusan yang dilakukan demi kepentingan orangtua. Tetapi berorientasi kepada kebutuhan anak. Dengan berkembangnya ilmu-ilmu kependidikan anak, dan pemahaman orangtua tentang pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), maka berkembang dan banyak bermunculan lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini dengan berbagai layanan pendidikan yang disediakan, yang diharapkan mampu membantu memberikan efek positif bagi perkembangan anak.

Dengan munculnya banyak lembaga PAUD yang semakin beragam dengan menawarkan program dengan berbagai keunggulan, bukan berarti orangtua boleh begitu saja menyerahkan seutuhnya pendidikan anak-anak kepada lembaga-lembaga tersebut. Karena fungsi dari lembaga tersebut adalah lebih kepada membantu, bukan penanggungjawab utama pendidikan anak usia dini. Jangan sampai peran orangtua sebagai pendidik pertama dan utama justru tergantikan dengan sebuah lembaga pendidikan anak. Sehingga anak-anak akan lebih nyaman dan senang tinggal di sekolah daripada harus pulang ke rumah. Anak-anak juga akan berat hati berpisah dengan guru-guru mereka di sekolah dibanding berpisah dengan orangtuanya saat di antar ke sekolah.

Menjadi orangtua idaman

Banyak yang mengatakan bahwa menjadi orangtua tidak ada sekolahnya. Pernyataan tersebut bisa jadi benar, karena menjadi orangtua adalah suatu keniscayaan, tetapi menjadi orangtua idaman adalah sebuah pilihan. Pendidikan anak dimulai tidak hanya ketika seorang anak memasuki usia sekolah, tetapi sejak dalam kandungan anak sudah dapat dididik dengan pembiasaan, stimulasi, dan sikap orangtua yang positif selama anak dalam kandungan. Bahkan pendidikan anak sebenarnya sudah bisa dimulai sejak kita mencari pasangan. Orangtua hendaknya menjadi guru pertama dan utama bagi seorang anak. Karena bersama orangtualah anak pertama kali mengenal dunia. Sayangnya masih banyak kita jumpai di masyarakat kita, para orangtua yang masih menganggap pendidikan di dalam keluarga adalah sesuatu yang bukan merupakan hal utama.

Justru pendidikan di dalam keluarga inilah, yang memegang peranan penting bahwa peran orangtualah yang menjadi pondasi kuat bagi seorang anak untuk dapat memasuki lingkungan yang lebih luas. Penerimaan atas diri anak merupakan hal pertama yang perlu diperhatikan oleh orangtua. Berusahalah menjadi pendengar yang baik bagi anak, selalu beri respon positif atas segala tindakan yang dilakukan oleh anak, jika itu merupakan tingkat pencapaian perkembangannya. Misal anak sudah bisa bilang ketika mau buang air, maka orangtua bisa merespon dengan “wah pintar sekali anak ibu, kalau mau pipis sudah bisa bilang, hebat ayo ibu antar ke kamar mandi”, pernyataan tersebut akan sangat berbeda jika reaksi yang diberikan adalah “tumben sekali adek bilang mau pipis, biasanya juga ngompol di celana”. Dengan demikian, setiap orangtua hendaknya terus senantiasa belajar, agar dapat menjadi orangtua idaman bagi setiap anak-anaknya, sehingga orangtua bisa menjadi guru terbaik bagi anak-anaknya.

Mengapa anak-anak lebih mengidolakan guru mereka?

Kebanyakan dari anak-anak sangat mengidolakan guru-guru mereka. Terkadang para orangtua terpaksa meminta tolong guru untuk memberi tahu anak tentang hal-hal yang perlu dilakukan oleh si anak, hal tersebut sulit untuk dilakukan anak ketika orangtua yang meminta, tetapi akan segera dilaksanakan oleh sang anak, ketika guru mereka yang memintanya. Contoh ketika seorang ibu meminta anak laki-lakinya yang masih duduk di Taman Kanak-kanak (TK) untuk memotong rambut karena sudah terlihat panjang. Ibu tersebut memerlukan waktu berhari-hari untuk membujuk si anak, agar mau memotong rambutnya, dan itupun belum tentu berhasil. Karena putus asa dengan bujuk rayu yang tidak berhasil, maka sang ibu akhirnya bercerita kepada sang guru, tentang apa yang terjadi pada anaknya, dengan tanpa membutuhkan waktu yang lama, biasanya guru berhasil memberitahu anak, sehingga sesampainya di rumah, anak tersebut minta pada ibunya agar rambutnya dipotong.

Dari contoh di atas, sangat terlihat bahwa anak-anak lebih tunduk dan patuh terhadap apa yang dikatakan oleh guru mereka dari pada orangtuanya, mengapa demikian? Hal ini bisa dikarenakan karena anak-anak bermain dan belajar bersama gurunya hanya dalam hitungan jam, 2-3 jam saja, atau maksimal 8 jam jika anak tersebut menggunakan layanan ‘full day school’ selebihnya anak bisa bersama orangtua dan keluarga. Di dalam lingkungan pendidikan baik sekolah maupun taman bermain setiap guru berkewajiban melayani anak berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan anak usia dini, sedang di rumah atau keluarga belum tentu setiap anggota keluarga memiliki bekal pendidikan anak bahkan orangtua sekalipun, sehingga ketika di sekolah anak mendapatkan perlakuan yang “manusiawi” dari sang guru, yang tidak mereka dapatkan ketika berada di rumah.

Dewasa ini, sudah banyak guru-guru di lembaga pendidikan anak usia dini yang memiliki kompetensi yang relevan dengan bidangnya, banyak diantara mereka yang sudah menempuh pendidikan tinggi sehingga tahu bagaimana memberikan pendidikan bagi anak, anak mendapatkan penghargaan, diberikan kesempatan untuk mencoba hal baru, belajar melalui kegiatan bermain, bernyanyi dengan gembira dan terhindar dari kata-kata yang bersifat menjatuhkan. Dengan perlakuan yang menyenangkan tersebut, sudah barang tentu anak menjadi sangat suka terhadap gurunya. Anak melihat guru tidak pernah marah, bersikap kasih sayang, membimbing dengan sabar.

Apa yang terjadi di rumah?

Ketika anak berada di rumah, tidak sedikit anak mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari orangtua maupun keluarganya. Dan mohon maaf terkadang hal-hal kecil yang tidak disukai anak biasanya justru muncul dari sang ibu. Hal apa sajakah itu?

Pertama, ibu pemarah. Setiap ibu pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Terkadang ibu kurang mengerti bahwa setiap anak memiliki tugas perkembangan yang berbeda di setiap jenjang usianya. Dar hal kecil misalnya, anak usia 3-4 tahun memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, anak usia ini ibarat ilmuwan yang tidak akan berhenti ketika belum berhasil menemukan sesuatu yang menjadi misinya. Suatu contoh kejadian sepele yang dilakukan anak-anak ketika mereka berusaha untuk melakukan sesuatu, seperti membuat susu sendiri. Mereka sudah berusaha sekuat tenaga meniru apa yang dilakukan oleh orang dewasa, mengambil beberapa sendok susu dari dalam kaleng, menuangkannya ke dalam gelas dan karena anak baru belajar keseimbangan tumpahlah susu tersebut, berceceran di lantai. Datanglah si ibu yang kelelahan karena selesai mengerjakan setumpuk pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, mencuci dan sebagainya. Melihat lantai yang baru saja di pel menjadi kotor lagi, sudah bisa ditebak apa reaksinya? Ya marah. Marah adalah reaksi pertama yang biasanya dilakukan oleh ibu ketika apa yang dilihatnya tidak sesuai dengan harapan. Reaksi inilah yang akan ditangkap oleh seoarang anak di dalam file otaknya. Anak akan menyimpan dengan baik peristiwa “ibu marah”. Efek dari hal ini adalah menjadikan anak-anak menjadi tidak percaya diri atas apa yang akan dilakukannya, karena setiap melakukan sesuatu yang tidak tepat ibu pasti marah. Untuk itu ayo kita belajar menjadi orangtua dan ibu yang selalu positif!

Kedua, ibu pembohong. Selain pemarah, terkadang tanpa disadari ibu sering melakukan hal-hal yang kadang bersifat bohong. contoh kejadian, suatu hari anak diajak berkunjung ke rumah saudara, karena anak bosan dan kelelahan menangislah si anak. Biasanya ibu panik dan berusaha menenangkan anak dengan berbagai macam cara, antara lain mengumbar janji palsu dengan mengatakan “diam dulu ya, nanti kalau adek diam dan tidak menangis lagi, ibu akan belikan mainan kesuakaanmu”. Sampai pada akhirnya anak diam dan si ibu lupa atau memang sengaja berbohong agar si anak diam, ibu tidak jadi membelikan mainan yang sudah dijanjikan. Dengan pikiran anak yang masih sederhana, anak akan mengingat bahwa dia sudah diam tetapi tidak jadi beli mainan, dan dia belajar bahwa ternyata ibunya berbohong. Hal ini juga akan tersimpan rapi di dalam memori sang anak bahwa ibu telah berbohong. Jangan lupa anak juga akan belajar dan mengadopsi cara atau gaya berbohong yang direkamnya. Selanjutnya marilah kita menjadi ibu yang menepati janji!

Ketiga, ibu suka mengancam dan menakut-nakuti. Setiap anak tumbuh dan berkembang memerlukan dukungan dan fasilitas dari orang dewasa di sekitarnya, terutama orangtua. Tidak jarang orangtua yang terpancing untuk mengancam dan menakut-nakuti anak dengan harapan anak menjadi patuh dan penurut. contoh hal-hal sepele yang berujung ancaman;  saat anak tidak mau makan, kadang-kadang ibu akan mengatakan kalau tidak mau makan besok tidak dikasih uang jajan, saat anak tidak mau berangkat ke sekolah, nanti akan ditangkap polisi.

Saat larut malam anak belum mau tidur tidak jarang pula orangtua mengatakan cepet tidur, kalau tidak tidur nanti ada hantu, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini memberikan pengetahuan yang tidak tepat kepada anak. Sehingga mengajarkan anak untuk “takut” kepada orangtua, karena kalau tidak patuh akan diancam. Anak akan tumbuh dalam dunia ketakutan.

Itulah sebabnya anak sering mengidolakan gurunya di sekolah dibanding dengan ibu atau orangtuanya di rumah. Otak anak yang menyerap segala hal yang dapat diserap, memungkinkan kita orangtua untuk selalu bersikap positif. Memberikan edukasi dan stimulasi yang tepat bagi kebutuhan tumbuh kembang anak. Belajar menjadi orangtua yang diidolakan oleh anaknya adalah suatu pilihan yang paling tepat, karena masa kanak-kanak tidak akan pernah terulang lagi.

 

Menciptakan kenangan yang “indah” dalam tumbuh kembang kehidupan anak adalah tanggungjawab orangtua. Sehingga sekolah dan guru bukan satu-satunya penentu keberhasilan dari seorang anak. Tetapi justru di keluarga adalah madrasah pertama bagi anak, dan orangtua adalah pertama dan utama bagi tumbuh kembang kehidupan anak. Semoga kita semua bisa berproses menjadi orangtua yang baik, yang tentu saja diidolakan oleh anak-anak kita sendiri. Amiiin.

*Dosen Pendidikan Islam Anak Usia Dini Ipmafa, Pati.