5 Hari Sekolah: Efektifkah ?

Oleh: Dr. Jamal Ma’mur, M.A.*

Generasi muda harus dibekali attitude (sikap perilaku, karakter positif unggul), knowledge (ilmu), dan skills (keahlian/keterampilan) untuk menghadapi masa depan yang sangat kompleks tantangannya.

Kecerdasan intelektual (intellectual quotient) harus diintegrasikan dengan kecerdasan emosional (emotional quotient), kecerdasan sosial (social quotient), dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient).

Dalam bahasa agama, minimal seseorang harus memenuhi empat kualifikasi:

  1. Shiddiq (benar dan berani memperjuangkan kebenaran) → Kecerdasan spiritual.

  2. Amanah (terpercaya, bertanggung jawab, totalitas dalam mengemban kepercayaan Allah, Rasulullah, keluarga, masyarakat, bangsa, dan umat manusia) → Kecerdasan emosional.

  3. Tabligh (komunikatif, mampu berbagi ilmu dan gagasan, ahli berorganisasi, berdiskusi dan berinteraksi, mengorganisasi tim dan aktif turun ke lapangan melihat kondisi riil publik secara objektif) → Kecerdasan sosial.

  4. Fathanah (visioner, mampu membaca tanda-tanda zaman, antisipatif dengan langkah-langkah cerdas-aplikatif, serta solutif dan demokratis dalam melahirkan kebijakan yang konstruktif-produktif-kompetitif) → Kecerdasan intelektual.


Pemain, Bukan Penonton

Kompetensi dan kapabilitas generasi penerus sebagaimana tersebut di atas diharapkan mampu mengantarkan mereka menjadi pemain terbaik (the best player) di tengah kompetisi terbuka, sehingga mampu memenangkan persaingan yang keras dan tajam.

Generasi penerus tidak boleh menunggu kesempatan menjadi pemain utama, tapi harus menciptakan ruang dan merebut peluang menjadi pemain utama yang menentukan kebijakan-kebijakan publik yang pro-rakyat, advokatif terhadap problematika sosial, dan menegakkan keadilan sosial bagi seluruh elemen masyarakat, khususnya kalangan grassroots (akar rumput).

Dominasi dan hegemoni satu kelompok saat ini sangat kuat, sehingga dibutuhkan gerakan kreatif dalam membuka ruang baru untuk aktualisasi potensi yang melibatkan kader-kader penerus.


Manage Your Time

Atur waktumu secara produktif sehingga menghasilkan output (karya) yang orisinal, transformatif, dan visioner-inspiratif.

Modal utama untuk meraih kesuksesan adalah memanfaatkan waktu secara optimal guna mengasah seluruh potensi yang dimiliki.

Dalam Al-Qur’an Surah Al-Mu’minun disebutkan:

قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَٰشِعُونَ وَٱلَّذِينَ هُمْ عَنِ ٱللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.”

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa kesia-siaan berasal dari ucapan atau perbuatan yang tidak berguna.

Hadis Nabi SAW:

“نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ”
“Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu karenanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.”

Imam Syafi’i berkata:

“Manfaatkan waktumu untuk hal-hal baik. Karena jika tidak kamu gunakan untuk kebaikan, pasti akan tergoda melakukan keburukan.”

Optimalisasi waktu untuk hal-hal positif—membaca, menulis, berdiskusi, berorganisasi, membangun kemitraan (partnership), silaturahim fisik, keilmuan dan amal—adalah kunci kesuksesan dan kemenangan menghadapi masa depan.


Teknologi Membunuh Masa Depan

Saat ini, teknologi benar-benar membunuh masa depan anak-anak. Mereka setiap saat bermain handphone untuk membuka Facebook, Instagram, YouTube, TikTok, dan lain-lain tanpa filter—kemampuan menyaring mana yang baik, boleh dan wajib dilihat, serta mana yang buruk, berbahaya, dan haram dilihat.

Prof. Nuh, dalam salah satu acara Studium Generale di STAIMAFA/IPMAFA menjelaskan bahwa budaya yang ditransfer negara maju ke negara berkembang dan terbelakang adalah pop culture—budaya pop yang isinya hiburan kurang mendidik. Sementara itu, golden culture (budaya emas), yaitu budaya penelitian dan pengembangan, mereka simpan rapat. Budaya emas inilah kunci utama kemajuan negara maju karena inovasi dan kreasi mereka tiada henti.

Pop culture inilah yang banyak dikonsumsi masyarakat, khususnya generasi muda. Mereka berselancar di dunia maya dengan bebas tanpa pembimbing dan pengarah. Situs pornografi, game, nyanyian, dan lain-lain yang berdampak buruk menjadi “menu wajib” harian.

Tidak terhitung berapa jam waktu yang mereka gunakan untuk “bercinta” dengan handphone—bisa 12 jam bahkan lebih. Malam hari bisa semalam suntuk mereka gunakan untuk bermain HP.

Waktu dan usia emas yang seharusnya digunakan untuk belajar dan mengasah kemampuan—baik kecerdasan intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual—terbengkalai dan terlewati sia-sia. Wibawa orang tua hilang. Anak-anak bebas keluar rumah, berkumpul dengan komunitasnya, dan memegang HP berjam-jam.


Waktu Luang: Emas atau Sampah?

Waktu utama yang digunakan generasi muda bermain HP dan terlibat dalam pergaulan yang tidak produktif, bahkan destruktif, adalah saat tidak berada di sekolah.

Inilah yang disebut waktu luang yang membunuh masa depan mereka. Tidak ada kegiatan yang dicanangkan keluarga dan masyarakat, atau ada kegiatan yang dicanangkan tetapi tidak mampu membendung arus pergaulan dan teknologi yang datangnya seperti banjir bandang yang menghancurkan pondasi moral, keilmuan, dan sosial anak-anak bangsa.

Realitas minor ini bisa kita temukan di lingkungan masing-masing, bahkan dalam keluarga kita. Waktu membaca Al-Qur’an, belajar, dan bercengkrama hampir tidak ditemukan lagi dalam keluarga, karena masing-masing sibuk dengan HP-nya, kegiatan luar, dan aneka macam kesibukan lain.


5 Hari Sekolah: Kurang Efektif

Rencana sekolah 5 hari dalam konteks ini dinilai tidak efektif.

  1. Membuka peluang anak lebih intens bermain HP, terlibat dalam pergaulan bebas yang negatif-destruktif, serta meningkatkan potensi kerawanan sosial. Kompetensi moral-spiritual tergerus.

  2. Keluarga belum siap mencanangkan kegiatan kepada anak-anaknya karena kesibukan orang tua dalam bidang ekonomi. Anak menjadi bebas tanpa kendali.

  3. Masyarakat belum siap memandu pertumbuhan dan perkembangan moral-intelektual-spiritual anak didik, karena watak komunal masyarakat telah berubah menjadi watak individual yang hanya fokus pada keluarga sendiri.

Tiga pertimbangan ini seyogianya menjadi alasan untuk menangguhkan, bahkan menggagalkan rencana 5 hari sekolah. Enam hari sekolah saja moralitas dan kapabilitas anak masih jauh dari ekspektasi, apalagi jika hanya lima hari.

“درء المفاسد مقدم على جلب المصالح”
Menolak kerusakan yang sudah nyata didahulukan dari mendatangkan kebaikan yang masih berupa dugaan.


Saatnya Sinergi Kolektif

Menuju kebangkitan bangsa, sinergi antara negara, keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat adalah syarat mutlak.

“ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب”
Sesuatu yang menyempurnakan kewajiban hukumnya adalah wajib.

Mendidik anak, generasi penerus bangsa, adalah kewajiban bersama:

  • Keluarga: Mengawasi, membimbing, dan menanamkan karakter unggul pada anak (cinta ilmu, cinta negara, dan cinta sesama).

  • Masyarakat: Membentuk lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya kreativitas dan inovasi anak-anak muda.

  • Lembaga pendidikan: Mengembangkan ilmu, keterampilan, serta kematangan berpikir dan bertindak.

  • Negara: Membuat regulasi dan anggaran untuk internalisasi karakter unggul, menindak demoralisasi remaja, dan menegakkan keadilan sosial.

Kerja sama sinergis dan kolaboratif inilah yang akan mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemenangan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Aamiin yaa Rabbal ‘Alamin.

Pati, Rabu, 28 Mei 2025

Wallahu A’lam Bish Shawab.

*Dr. Jamal Ma’mur, M.A, Dosen Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IPMAFA