Dzulhijjah: Momentum Spiritual dan Sosial Menuju Kesalehan Paripurna

Oleh: Khabib Solihin, M.M.*

Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan istimewa dalam Islam yang penuh dengan ibadah agung dan mulia. Salah satunya adalah ibadah haji, yang dilaksanakan oleh umat Islam dari berbagai penjuru dunia yang mendapat panggilan dari Allah SWT. Mereka berangkat ke Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah untuk menunaikan panggilan suci, melepaskan diri dari rutinitas duniawi, dan menghadap Allah dengan penuh khusyuk serta keikhlasan, seraya mengumandangkan kalimat talbiyah sebagai tanda kepasrahan total kepada-Nya.

Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima dan menjadi impian bagi setiap Muslim, di mana umat Islam dari berbagai bangsa, warna kulit, bahasa, dan latar belakang yang berbeda berkumpul dalam satu kesatuan. Mereka mengenakan pakaian ihram yang sederhana dan sama sebagai wujud kesederhanaan, kesetaraan, dan kerendahan hati di hadapan Sang Pencipta. Ibadah haji bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang penuh makna. Setiap rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam ibadah haji melatih umat Islam untuk meningkatkan kesabaran, keikhlasan, dan kedisiplinan, sehingga semua syarat dan rukunnya dapat terpenuhi.

Dalam momen wukuf di Arafah, para jamaah menumpahkan segala doa, harapan, dan taubat dengan penuh haru. Di sanalah letak puncak ibadah haji, tempat dikabulkannya doa-doa dan dibebaskannya banyak hamba dari segala dosa. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:

“Siapa yang mengerjakan haji, tidak berkata kotor (rafats) dan tidak berbuat maksiat (fusuq), maka ia kembali suci dari dosa seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya.”
(HR. Bukhari, Muslim, dan Nasa’i)

Dalam hadis lain disebutkan:

“Orang yang berhaji dan berumrah adalah tamu Allah. Jika mereka berdoa, maka Allah mengabulkan. Jika mereka meminta ampun, maka Allah mengampuni mereka.”
(HR. Al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)

Dua hadis ini menunjukkan kemuliaan syariat ibadah haji. Semoga kita semua mendapat kesempatan untuk memenuhi panggilan-Nya menunaikan ibadah ini.

Ibadah agung lainnya di bulan Dzulhijjah adalah ibadah qurban, yang disambut dengan gema takbir, tahlil, dan tahmid di seluruh dunia sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT. Secara spiritual, qurban merupakan wujud rasa syukur atas rezeki yang diberikan Allah SWT, serta ekspresi ketakwaan dalam menjalankan perintah-Nya, sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT Surat Al-Kautsar ayat 1–3.

Qurban adalah salah satu ibadah yang sarat dengan sejarah ketakwaan Nabi Ibrahim dan Nabiyullah Ismail (‘alaihimas-salam) kepada Allah SWT. Di antara pelajaran penting yang dapat diambil adalah bahwa ketaatan kepada Allah SWT harus ditempatkan di atas segala bentuk kepentingan pribadi, bahkan terhadap sesuatu yang paling dicintai sekalipun. Keteguhan hati Nabi Ibrahim dalam melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putranya, serta keikhlasan Nabi Ismail dalam menerima perintah itu, menunjukkan bahwa iman dan ketakwaan sejati teruji dalam pengorbanan dan keikhlasan.

Selain itu, qurban mengajarkan nilai kepekaan sosial. Ibadah ini tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga mengandung dimensi sosial yang sangat kuat, terutama terkait dengan berbagi kebahagiaan dan kesejahteraan dengan sesama, khususnya kepada mereka yang membutuhkan. Dari sinilah perlu dipahami bahwa ibadah kepada Allah tidak bisa dipisahkan dari kepedulian terhadap sesama manusia. Melalui ibadah qurban, umat Islam diajak untuk melakukan refleksi mendalam, menilai sejauh mana rela “menyembelih” ego, sifat tamak, dan kesenangan duniawi demi meraih ridha Allah dan kebahagiaan bersama. Maka, qurban pada hakikatnya bukan hanya penyembelihan hewan, tetapi juga momentum menyucikan hati dan memperkuat solidaritas sosial.

Hari raya qurban adalah saat yang tepat untuk introspeksi diri. Di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan canggih, tak sedikit manusia terjebak dalam gaya hidup individualis, egois, hedonis, dan konsumtif. Banyak yang rela menghabiskan harta untuk kemewahan, namun enggan berbagi dengan tetangga atau sesama yang sedang kesulitan. Padahal Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yang mengajarkan kasih sayang dan kebermanfaatan bagi semua.

Ibadah qurban sejatinya bukan sekadar menyembelih hewan, melainkan sarana untuk membentuk pribadi yang peduli, peka, dan tulus terhadap sesama. Karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan, sedangkan sifat-sifat negatif seperti egoisme dan keserakahan adalah penyakit yang harus “disembelih” dalam diri demi menuju kesalehan paripurna.

Wallahu a’lam.

*Khabib Solihin, M.M., Kaprodi Perbankan Syari’ah IPMAFA