Tradisi Syuronan dan Temu Alumni sebagai Wujud Solidaritas Mekanik

Oleh: Ahmad Habiburrohman Aksa,M.Ag.*

Karena ini masuk bulan Syuro, bulan nostalgianya para alumni pesantren di Kajen, maka saya membuka tulisan ini dengan kata-kata dari dosen saya, Dr. Fahruddin Faiz. Beliau mengatakan:

“Sepahit apa pun pengalaman itu, kalau bentuknya nostalgia, maka dia jadi indah.”

Tradisi syuronan yang digelar setiap bulan Syuro di Kajen dalam rangka haul Syekh Ahmad Mutamakkin bukan sekadar ritual keagamaan yang bersifat spiritual. Lebih dari itu, syuronan telah menjelma menjadi ruang sosial yang merekatkan kembali memori kolektif dan identitas santri lintas generasi, baik alumni Mathali’ul Falah maupun santri dari sekolah-sekolah di Kajen dan sekitarnya.

Dalam konteks sosiologi, momentum ini — meminjam istilah Emile Durkheim — dapat dilihat sebagai perwujudan solidaritas mekanik, yaitu solidaritas yang lahir dari kesamaan nilai, keyakinan, dan pengalaman hidup. Sedangkan tradisi, menurut Koentjaraningrat, dimaknai sebagai sebuah sistem budaya: adat-istiadat, norma, nilai, serta pola-pola perilaku yang diwariskan secara turun-temurun dalam suatu masyarakat, dan menjadi bagian dari identitas sosial masyarakat tersebut.

Dalam tradisi ini, ribuan alumni dari berbagai angkatan — dari yang sepuh hingga yang paling muda — kembali berkumpul di pesantren-pesantren atau Kajen sebagai titik kumpul. Para alumni ini membawa serta kenangan (flashback) akan kehidupan di pesantren, nilai keilmuan, serta semangat perjuangan para masyayikh. Meskipun para alumni kini telah tersebar di berbagai bidang dan wilayah, dalam momen syuronan mereka seakan ditarik kembali pada akar yang sama, meminjam istilah Durkheim (proses sosial): dunia pesantren yang membentuk mereka.

Saat bertemu (reuni), mereka menanyakan kabar: kerja di mana, sekarang sibuk apa, tak lupa diiringi dengan guyon dan gojlokan khas santri: pye BSU wes cair? kapan rabi? Gojlokan semacam ini selalu mewarnai tiap pertemuan. Semua bercengkrama, seolah membawa kembali ingatan mereka ke masa lalu. Tawa lepas mereka seolah melupakan beban yang selama ini mereka hadapi, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari. Begitu pun saat tulisan ini dibuat, penulis sedang berkumpul dengan kawan-kawan alumni di angkringan, bersama teman satu angkatan.

Dalam solidaritas mekanik inilah kemudian tumbuh subur di lingkungan santri karena adanya keseragaman pola hidup, nilai religius, serta pengalaman kolektif selama nyantri. Temu alumni dalam tradisi syuronan menjadi ajang memperkuat kembali jaringan emosional ini. Tidak hanya nostalgia, tetapi juga pembaharuan komitmen untuk meneruskan perjuangan keilmuan dan moral yang telah diwariskan para masyayikh, khususnya Syekh Ahmad Mutamakkin.

Di tengah dunia yang — kalau memakai istilah tren saat ini in this economy — kian individualistik dan fungsional, di mana solidaritas organik lebih dominan, syuronan mengingatkan kita bahwa solidaritas berbasis nilai dan kebersamaan spiritual tetap memiliki kekuatan sosial yang nyata. Ia bukan hanya menyatukan masa lalu dan masa kini, tetapi juga memperkuat jaringan keumatan dan intelektual pesantren untuk masa depan.

Syuronan Kajen, 4 Juli 2025

*Ahmad Habiburrohman Aksa, M.Ag, Sekretaris Prodi Pengembangan Masyarakat Islam IPMAFA.