Dari Aspirasi ke Aksi: Demonstrasi dalam Perspektif Islam dan Demokrasi

Oleh: Ah. Dalhar Muarif, M.E.Sy.*

Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) di Kabupaten Pati yang naik hingga 250% sesuai dengan Perbup No 8 Tahun 2025 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah memicu gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada kondisi ekonomi rakyat kecil ini menimbulkan keresahan, terutama di kalangan warga berpenghasilan menengah ke bawah. Sebagai bentuk aspirasi dan kontrol sosial, direncanakan warga bersama sejumlah organisasi masyarakat dan mahasiswa menggelar aksi demonstrasi damai di depan Kantor Bupati Pati pada Rabu 13 Agustus 2025. Aksi ini menjadi simbol terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil dan tidak melibatkan partisipasi publik secara memadai (hasil survey Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IPMAFA).

Demonstrasi atau unjuk rasa sering kali dipandang sebagai bentuk perlawanan atau ketidakpuasan terhadap pemerintah. Namun, dalam konteks negara demokrasi, demonstrasi justru merupakan salah satu pilar penting yang menunjukkan kesehatan demokrasi itu sendiri. Indonesia, sebagai negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila, memberikan ruang bagi warga negara untuk menyampaikan aspirasinya melalui berbagai cara, termasuk demonstrasi yang damai dan tertib.


Perspektif Islam tentang Penyampaian Aspirasi (Demonstrasi)

Dalam bahasa Arab, istilah demonstrasi umumnya dikenal dengan sebutan masîrah (demontrasi damai) atau muzâharah (demontrasi diikuti dengan aksi kekerasan). Keduanya merujuk pada bentuk kegiatan yang menjadi media dan sarana untuk menyampaikan ide, gagasan, atau pendapat yang diyakini kebenarannya oleh sekelompok orang, biasanya melalui pengerahan massa. Demonstrasi dapat dipahami sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Seperti halnya pisau, ia dapat digunakan untuk kebaikan namun juga bisa disalahgunakan untuk keburukan.

1.     Konsep Amar Ma’ruf  Nahi Munkar

Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamiin memberikan panduan yang jelas tentang cara menyampaikan kebenaran dan melakukan perubahan sosial:

Al-Qur’an dalam Surah Ali Imran ayat 104:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam memiliki kewajiban untuk menyuarakan kebenaran dan mencegah kemungkaran, yang dapat diinterpretasikan sebagai bentuk kontrol sosial, termasuk melalui demonstrasi yang konstruktif.

Rasulullah SAW pernah menegaskan pentingnya menyampaikan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim. Hal ini tercermin dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i dengan sanad yang shahih, yang juga dicantumkan dalam Riyadhus Shalihin karya Imam An-Nawawi. Dari Abu Abdillah Thariq bin Syihab Al-Ahmasi R.A., diceritakan bahwa seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang jihad yang paling utama. Beliau menjawab: “Mengucapkan perkataan yang benar di hadapan penguasa yang zalim.” Dalam konteks Islam, demonstrasi dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk syiar jika dilakukan dengan cara yang benar dan tujuan yang mulia. (Iman An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, Damasyk: Dar As-Syam, 618 H/ 1264M),
Dicetak Oleh: CV. Pustaka Assalam, h. 84.)

Menurut lajnah Bahtsul masa-il Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) putra Se-Jawa Madura menyatakan, Demontrasi Harus dilakukan dengan cara cara yang lebih santun dan memenuhi kepatutan dalam dua hal, Pertama, terkait kepatutan substansi. Misalnya terjadi penyimpangan dan aturan syariat atau peraturan yang berlaku atau disepakati, atau hal yang dituntut dan diaspirasikan sudah menjadi keniscayaan untuk dilaksanakan. Kedua, terkait kepatutan cara, misalnya diyakal (hion gowy) sebagai alternatif terakhir atau paling efektif dalam menyampaikan aspirasi dan dilakukan oleh perdemo yang berkompeten dalam permasalahan yang sedang didemokan. (S. Capah, Jurnal Al-Nadhair)

2.     Cara Penyampaian yang Santun

Surah An-Nahl ayat 125:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”. Ayat ini menekankan pentingnya menyampaikan aspirasi dengan cara yang bijaksana, santun, dan tidak provokatif.

KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menyatakan bahwa dari sudut pandang Islam, Demonstrasi itu bersifat fleksibel. “Asal tidak Demonstrasi itu tidak merugikan orang lain, tidak anarkis, dan tidak madhorot bagi kelompok lain maka itu boleh“. Bahkan, lanjut Gus Baha, jika tidak ikut menyuarakan, maka kita bisa disalahkan, karena tidak bertanggung jawab atas proses bernegara. Namun beliau juga memberi batasan yaitu “Namun sekali lagi saya ingatkan, Demonstrasi itu dengan cara islami dan sesuai konstitusional, serta dengan cara yang baik” (www.nu.or.id). Dalam perspektif Islam, hal ini sejalan dengan prinsip “La dharar wa la dhirar” (لا ضرر ولا ضرار) adalah sebuah kaidah dalam Islam yang berarti “tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh membahayakan orang lain”, yang mengajarkan bahwa perjuangan untuk kebenaran tidak boleh menimbulkan kemudharatan yang lebih besar bagi masyarakat.


Perspektif Demokrasi tentang Penyampaian Aspirasi (Demonstrasi)

  1. Hak Konstitusional Warga Negara dalam Menyampaikan Pendapat

Hak untuk menyampaikan pendapat merupakan hak fundamental yang dijamin secara eksplisit dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Untuk mengoperasionalkan jaminan konstitusional tersebut, pemerintah mengeluarkan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang lahir sebagai respons reformasi untuk memberikan ruang demokratis yang lebih luas. Undang-undang ini mengatur bahwa aksi demonstrasi merupakan hak yang dilindungi konstitusi, bukan privilege yang diberikan negara, sehingga hanya memerlukan pemberitahuan kepada polisi, bukan izin.

Kebebasan berekspresi melalui demonstrasi merupakan elemen esensial dari negara demokrasi karena tanpa adanya ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat, kritik, dan aspirasi, demokrasi akan kehilangan substansinya. Meskipun dijamin secara konstitusional, kebebasan ini tidaklah absolut dan harus dilaksanakan dengan prinsip “bebas dan bertanggung jawab” yang memperhatikan hak-hak orang lain, keamanan nasional, ketertiban umum, dan nilai-nilai moral masyarakat. Keberadaan UU No. 9 Tahun 1998 tidak hanya memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan hak konstitusional, tetapi juga berfungsi sebagai katup pengaman bagi stabilitas demokrasi Indonesia dengan menyediakan mekanisme legal untuk menyalurkan aspirasi masyarakat secara konstruktif.

  1. Demonstrasi sebagai Saluran Aspirasi dalam Negara Demokrasi

Demonstrasi memiliki peran vital sebagai amplifier bagi suara-suara yang terpinggirkan dalam struktur politik formal. Melalui demonstrasi, mereka dapat mengorganisir diri dan menciptakan tekanan politik yang signifikan, sehingga isu yang mereka perjuangkan mendapat perhatian media massa, politisi, dan masuk ke dalam agenda politik nasional. Sejarah Indonesia mencatat berbagai momentum demonstrasi yang berhasil mengubah lanskap politik dan kebijakan nasional. Reformasi 1998 merupakan contoh paling monumental bagaimana gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil berhasil menggulingkan rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun, membuka era demokrasi dengan serangkaian reformasi konstitusional, kebebasan pers, dan desentralisasi kekuasaan. Dalam era reformasi, penolakan terhadap RUU KUHP pada tahun 2019 dan RUU Cipta Kerja pada tahun 2020 menunjukkan bagaimana mobilisasi massa dapat memaksa DPR menunda atau merevisi undang-undang kontroversial.

Demonstrasi berperan penting dalam memperkuat kesadaran masyarakat akan pentingnya ruang-ruang publik sebagai arena diskusi politik dan ekspresi kolektif. Melalui partisipasi dalam demonstrasi, warga negara belajar mengorganisir diri, membangun argumen, dan terlibat dalam dialog politik dengan sesama dari berbagai latar belakang, yang tidak hanya mengasah kemampuan berpikir kritis tetapi juga membangun solidaritas sosial dan kesadaran kolektif tentang masalah publik.

  1. Batasan Hukum dan Etika dalam Pelaksanaan Aksi Demo

Sebagai warga negara yang baik, peserta demonstrasi memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan bahwa aksi mereka tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku atau merugikan pihak lain. Berdasarkan UU No. 9 Tahun 1998, demonstran wajib memberitahukan rencana aksi kepada pihak kepolisian, menentukan waktu dan tempat yang tidak mengganggu aktivitas publik secara berlebihan, serta menjamin bahwa peserta aksi tidak membawa senjata atau benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum. Kewajiban ini bukan bentuk pembatasan kebebasan berpendapat, melainkan upaya harmonisasi antara hak individual untuk menyampaikan aspirasi dengan hak kolektif masyarakat untuk memperoleh keamanan dan kenyamanan. Kesadaran akan batasan-batasan hukum ini akan melindungi peserta demonstrasi dari jeratan hukum yang tidak perlu dan memastikan bahwa gerakan mereka dapat berkelanjutan dalam memperjuangkan aspirasi yang legitimate.

Pendekatan damai dalam demonstrasi sesungguhnya menunjukkan kekuatan dan kepercayaan diri gerakan terhadap legitimasi tuntutan mereka, karena hanya aspirasi yang benar dan didukung argumen kuat yang dapat bertahan dalam arena debat publik yang terbuka dan demokratis. Demonstrasi damai juga mencerminkan implementasi nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mengajarkan bahwa perjuangan untuk keadilan harus dilakukan dengan cara-cara yang memanusiakan semua pihak. Lebih jauh lagi, demonstrasi damai membangun tradisi politik yang sehat dan berkelanjutan, di mana perbedaan pendapat diselesaikan melalui dialog konstruktif daripada konfrontasi destruktif, sehingga menciptakan precedent positif bagi generasi mendatang dalam berdemokrasi.


Relevansi Mata Kuliah Pancasila dan Pendidikan Anti Korupsi

Sebagai dosen yang mengampu mata kuliah Pancasila dan Pendidikan Anti Korupsi, saya memandang aksi demonstrasi sebagai salah satu pilar penting dalam menjaga integritas demokrasi dan memperkuat budaya kritik yang sehat. Dalam perspektif nilai-nilai Pancasila, khususnya sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Demonstrasi merupakan salah satu kanal aspirasi rakyat ketika saluran formal tidak lagi responsif terhadap tuntutan keadilan dan perubahan.

Konteks pendidikan anti korupsi, demonstrasi sering kali menjadi medium untuk menuntut transparansi, akuntabilitas, serta menolak segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Gerakan mahasiswa, masyarakat sipil, maupun elemen buruh dan petani yang turun ke jalan, kerap didorong oleh keprihatinan terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan publik, atau bahkan merugikan kehidupan rakyat banyak. Dalam hal ini, aksi demo tidak hanya berperan sebagai mekanisme kontrol sosial, tetapi juga sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat.

Namun demikian, penting untuk diingat bahwa demonstrasi harus tetap berada dalam koridor hukum dan etika publik. Kebebasan berekspresi tidak berarti kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum mengatur secara tegas prosedur, hak, dan kewajiban penyelenggara serta aparat keamanan dalam menjamin agar setiap aksi dapat berlangsung damai dan tertib.

Wallau ‘alam …

 

*Ah. Dalhar Muarif, M.E.Sy., Dosen Pancasila dan Pendidikan Anti Korupsi IPMAFA