Menag Lukman Hakim Syaifuddin meresmikan madrasah diniyah formal dan pesantren mu’adalah (pesantren yang disetarakan) di Pondok Pesantren Al-Mubaarak Wonosobo. Peresmian itu menandai babak baru eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di negeri ini.
Selama ini kontribusi besar pesantren sejak mengusir penjajah hingga mengisi kemerdekaan tak mendapatkan apresiasi layak dari pemerintah. Lembaga pendidikan yang dikelola pesantren masih dianggap lembaga pendidikan alternatif, bukan lembaga utama.
Jika ingin mendapatkan legitimasi formal maka pesantren harus mendirikan lembaga pendidikan formal dengan kurikulum yang ditetapkan pemerintah yang membuat independensinya menjadi berkurang atau hilang.
Peresmian itu berarti menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan formal dengan kurikulum independen. Pertanyaannya, apakah kurikulum pesantren bertentangan dengan semangat kebangsaan? Cara menjawab pertanyaan ini adalah dengan mengemukakan bukti historis dan sosiologis pesantren yang justru jadi aktor terdepan penyemaian spirit nasionalisme dan patriotisme.
Kiai H M Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hazbullah, KH Bisyri Syamsuri, KH Bisri Mustafa, KH Abdul Wahid Hasyim, KH Saifuddin Zuhri, KH Mahfudh Salam, KH MA Sahal Mahfudh, KH Abdurrahman Wahid, dan KH Mahrus Ali adalah tokoh pesantren yang aktif mengusir penjajah. Selain itu, memberdayakan ekonomi rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan pesantren sebagai pusat pendidikan dan pelatihan.
Pesantren mendoktrinkan bahwa cinta Tanah Air adalah bukti keimanan seseorang (hubbul wathan minal iman). Hal ini terinspirasi oleh perjuangan Nabi Muhammad yang dengan segala daya upaya membebaskan ”tanah airnya”, Makkah dari kolonialisme ekonomi dan fisik berbaju teologis dari borjuis yang tidak bertanggung jawab (Asghar Ali Enggener; 2007).
Andai ada pesantren mendukung ide khilafah dengan penerapan syariat Islam maka itu pesantren model baru yang ideologinya bukan dari akar pesantren mayoritas di negeri ini yang ada dalam naungan Nahdlatul Ulama (NU). Mereka mengadopsi ideologi Timur Tengah yang radikal dan ekstrem, seperti Wahabi di Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Momentum Kebangkitan
Peresmian madrasah diniyah formal dan pesantren mu’adalah ini menjadi momentum kebangkitan pesantren secara genuine tanpa intervensi pemerintah, khususnya soal kurikulum. Pesantren menjadi setara dengan lembaga pendidikan formal lain. Momentum ini harus dimanfaatkan pesantren untuk menyempurnakan kurikulum. Jurnalistik perlu dipertimbangkan sebagai salah satu materi.
Sejarah para tokoh pesantren dalam bidang jurnalistik juga tidak boleh hilang. Karena itu, pesantren seyogianya memasukkan ilmu jurnalistik dalam kurikulumnya, khususnya untuk kelas tinggi supaya santri mampu melahirkan karya besar yang dibaca publik sebagai bukti kontribusi pesantren dalam pengembangan keilmuan dan peradaban dunia.
Pada awalnya santri bisa dilatih menulis laporan kegiatan, mengelola majalah pesantren, baru kemudian menulis buku yang bermanfaat bagi masyarakat. Salah satu ikon pesantren dalam bidang jurnalistik adalah Ponpes Lirboyo Kediri. Setiap kelas akhir di pondok ini diwajibkan menulis dan menerbitkan satu buku yang bermanfaat bagi masyarakat. Para guru juga menerbitkan karya hebat yang layak diapresiasi.
Pesantren ada baiknya studi banding ke Lirboyo untuk lebih mematangkan ilmu jurnalistik supaya pesantren mampu menghiasai dunia informasi dengan pemikiran keislaman dan kebangsaan yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa dan dunia pada masa depan. Semoga dengan diresmikannya madrasah diniyah formal dan pesantren mu’adalah, pesantren di negeri ini mampu berkontribusi lebih besar lagi bagi kemajuan bangsa dan negara. (10)
— Dr Jamal Ma’mur Asmani, peneliti dari Fiqh Sosial Institute Staimafa Pati, pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (asosiasi pondok pesantren NU) Jawa Tengah
Sumber: Suara Merdeka Online