Oleh Sholahuddin
Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI), asosiasi ponpes Nahdlatul Ulama (NU) pada 1 Juni 2015 meluncurkan gerakan #ayo mondok, seruan mengajak masyarakat memondokkan anak di pesantren. Gerakan itu jadi trending topic beberapa hari. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menjadi local genius Indonesia mengalami marginalisasi sampai ke titik nadir karena berbagai kebijakan diskriminatif Orde Baru.
Adalah Abdurrahman Wahid yang kembali mengangkat pesantren ke kancah nasional dan bahkan internasional. Gus Dur mengajak ilmuwan kelas dunia, antara lain Martin van Bruinessen, Andree Feillard, dan Karel A Steenbrink, mengunjungi pesantren. Sebagai tokoh yang dilahirkan dari pesantren dan waktu itu ketua umum PBNU, ia merasakan marginalisasi kaum santri oleh politik Orba. Tatkala saya masih berumur belasan tahun pun, kiai kampung seperti ayah saya begitu sulit untuk bisa memberi ceramah keagamaan di masjid kecamatan. Sekarang, menggaungkan gerakan ayo mondok menemukan momentum. Anak-anak muda NU yang tergabung dalam asosiasi pondok pesantren dengan tepat menangkap momentum zaman.
Dalam bacaan saya ada beberapa hal yang melatarbelakangi gerakan ini. Pertama; keinginan kuat pengelola untuk mengubah pesantren menjadi lembaga pendidikan unggul, jauh dari kesan miring yang selama ini disematkan kepada pesantren. Gerakan ayo mondok perlu ditindaklanjuti aksi nyata dengan membenahi infrastruktur, dan kultur, termasuk media pembelajaran. Teladan baik telah dilakukan KH Makmun Abdullah Hadziq, pengasuh Ponpes Roudlotul Mubtadiin, Balekambang, Jepara. Pesantren yang sudah berusia 137 tahun ini, meskipun seabad lebih, tampilannya bersih, indah, dan rapi baik dari segi infrastruktur maupun fasilitas penunjang seperti taman. Pesantren itu juga dilengkapi wifi sehingga santri bisa berselancar mencari bahan pembelajaran.
Meskipun modern, pesantren itu tetap berembel-embel ma’had salafy, yang justru mencerminkan ke-tawadlu-an para pengasuhnya. Kedua; gerakan ayo mondok menjadi solusi bagi dekadensi moral dan kemerosotan pendidikan karakter. Masih segar dalam memori kolektif kita ada pelajar berkencan di hotel usai ujian nasional (UN), ketidakjujuran dalam ujian, dan berbagai penyakit akhlak lain. Peran kiai sebagai role model begitu penting dan dapat menjiwai santri. Pendidikan karakter akan mudah diimplementasikan di pesantren, melalui proses penanaman nilai-nilai esensial. Lewat pembelajaran dan pendampingan para santri bisa memahami, menghayati, dan mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam kepribadiannya.
Tindakan Nyata Hal ini karena pesantren tak hanya menekankan moral knowing dan moral feeling, lebih dari itu selama 24 jam santri mempraktikkan dalam tindakan nyata. Dengan pendidikan karakter memadai seperti itu, pesantren tidak bakal menjadi ladang terorisme atau radikalisme. Pesantren juga tidak antibudaya atau alergi masyarakat lokal tapi malah lahir, tumbuh, dan berkembang bersama masyarakat sekitar. Ada beberapa nama pesantren yang justru populer dengan nama desa, bukan nama aslinya, semisal Ponpes Lirboyo, Pospes Sarang, Ponpes Pacitan, atau Ponpes Balekambang, yang mencerminkan keeratan hubungan dengan masyarakat. Dengan dua alasan utama itu, saya optimistis pesantren menjadi lembaga pendidikan unggulan yang membekali santri dua kompentensi sekaligus, yaitu dunia dan akhirat. Kompetensi dunia dengan keunggulan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, serta kompetensi akhirat dengan keunggulan spiritualitas dan keagungan karakter.
Dengan begitu pesantren tak lagi diidentikkan kluprut, kumuh, lusuh, dan bodoh. Pesantren jadi lembaga pendidikan unggul tanpa kehilangan orisinalitasnya sebagai cagar karakter dan spiritual. Mari kita dukung gerakan ayo mondok dengan tindakan riil, yaitu mengirimkan anak, saudara ke pesantren. Terlebih menyambut Ramadan yang penuh berkah. (10)
— Sholahuddin MA, alumnus Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta




