Haji Mengikis Korupsi

Jamal-MamurHAJI, rukun Islam tertinggi yang menggambarkan kesuksesan seseorang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam konteks Indonesia dan negara-negara lain yang jauh dari Makkah-Madinah, haji membutuhkan biaya besar. Meskipun demikian, tidak menyurutkan langkah umat Islam. Tapi, justru menjadi pelecut semangat untuk segera melakukannya. Hal ini terbukti dengan antrean sangat panjang dalam daftar tunggu haji.

Mereka berlomba-lomba mendaftar haji agar bisa segera berangkat. Meskipun menurut Imam Syafii yang menjadi mazhab mayoritas umat Islam Indonesia, menunaikan ibadah haji bisa diakhirkan dengan syarat harta yang ada tidak hilang dan kesehatan terjaga (Syekh Al-Jaziri, 2004), mayoritas umat Islam Indonesia ingin segera menunaikannya sebagai bentuk kerinduan kepada Makkah-Madinah yang menjadi pusat kelahiran peradaban Islam dunia. Banyak hikmah dalam ibadah haji. Pertama, napak tilas tempat lahir dan perkembangan Islam.

Orang yang berhaji secara otomatis belajar sejarah dengan mengetahui tempat-tempat sakral perjuangan Nabi dalam menyebarkan Islam, seperti Gua Hira, Kakbah, Masjid Makkah, Masjid Nabawi, Gunung Shafa-Marwa, Gunung Uhud, dan Makam Ibrahim. Orang yang berhaji akan mengalami penyadaran diri dengan medan berat perjuangan yang dilakukan Nabi dan tersemai semangat membara memperjuangkan Islam untuk meneruskan dakwah Nabi. Kedua, media konsolidasi kekuatan umat Islam dunia. Dalam momentum haji, umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul dalam satu tempat untuk tujuan sama, yaitu menggapai kejayaan Islam dan umatnya. Momentum haji ini dimanfaatkan untuk saling mengenal potensi, kemudian menjajaki peluang kerja sama demi kemajuan bersama.

Kerja sama fungsional dan produktif ini akan merekatkan persatuan umat Islam dan negara-negara Islam yang menjadi modal penting dalam kompetisi global. Ketiga, media menyuarakan aspirasi umat Islam dunia untuk perbaikan kehidupan umat manusia dengan menyuarakan betapa penting kemerdekaan Palestina, mengakhiri konflik internal umat Islam, memerangi radikalisme dan terorisme dalam bentuk apa pun, dan urgensi mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai syarat meraih kemajuan. Tiga hikmah haji ini harus dioptimalkan demi kemajuan umat manusia di muka bumi yang berpijak kepada nilai-nilai ketuhanan, keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan. Tidak ada harapan terbesar bagi jamaah haji yang berangkat ke Tanah Suci, kecuali mendapat predikat haji mabrur.

Indikator Haji Mabrur

Lahir dan batin harus sama-sama baik, tidak ada yang bertentangan. Dalam hadis dijelaskan, haji mabrur mempunyai tiga indikator. Pertama, thibul kalam (perkataan yang baik). Orang yang haji selalu berkata jujur dan menghindari perkataan menyakitkan hati, seperti mencela, menggunjing, dan membuka aib orang lain. Kedua, ifsyaus salam (menebarkan kedamaian). Orang yang berhaji memperjuangkan perdamaian dalam kehidupan. Hal-hal yang mengganggu perdamaian, seperti permusuhan, konflik, dan konfrontasi tidak dilakukan. Ketiga, ithíamut thaíam (memberi makan). Orang yang berhaji mempunyai kepedulian sosial tinggi, terutama kepada mereka yang membutuhkan.

Kedermawanan itu diwujudkan dengan zakat, infak, dan sedekah. Indikator haji mabrur di atas menunjukkan dimensi sosial sangat lekat dari predikat haji mabrur, selain dimensi individual. Kesalehan individual adalah sebuah keniscayaan yang merupakan refleksi keimanan dan ketakwaan seseorang kepada Sang Pencipta. Namun, sering kesalehan individual tidak berbanding lurus dengan kesalehan sosial yang menjadi manifestasi dan implementasi kesalehan individual dalam kehidupan sehari-hari. Menurut M Quraish Shihab (2004), haji mabrur adalah makna yang berbekas pada simbol-simbol haji dalam sikap perilakunya.

Simbol-simbol haji terdapat dalam amalan-amalan haji, seperti mengenakan pakaian ihram, wukuf, tawaf, sai, melempar jumrah, tahalul. Lantunan talbiyah yang tidak jemujemu dibaca mengokohkan kesucian jiwa seseorang di hadapan Alllah. Wukuf di Padang Arafah menjadi wahana refleksi dan kontemplasi untuk mengingat amal yang sudah dilakukan sebagai pijakan perbaikan di masa datang. Tawaf mendorong seseorang untuk bersungguh-sungguh dan pantang menyerah dalam mengejar cita-cita.

Kesungguhan dan kerja keras tanpa kenal lelah adalah kunci meraih kesuksesan. Sai dari Shafa ke Marwa menunjukkan betapa penting mobilitas untuk menambah ilmu dan pengalaman. Ilmu dan pengalaman menjadi modal utama dalam menjalani hidup yang penuh kompetisi. Melempar jumrah menandakan pentingnya manusia membakar sifatsifat negatif dalam dirinya, seperti iri hati, dengki, sombong, bakhil, pamer. Adapun tahalul dengan memotong rambut adalah simbol pengorbanan seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Pengorbanan adalah keniscayaan dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Dengan memotong rambut, orang yang haji menyatakan diri siap berkorban membantu sesama dengan segenap kemampuan. Hidupnya didarmabaktikan untuk orang lain. Egoisme individual dan sektoral dihilangkan demi kemanusiaan substansial. Kesalehan individual dan sosial yang lahir dari ibadah haji akan mengokohkan mentalitas dan moralitas seseorang untuk menghindar dari perbuatan merusak, seperti korupsi. Orang-orang yang berhaji dibentuk menjadi pribadi jujur, tanggung jawab, visioner, dan menjadi organisator kemajuan umat. Kapabilitas ini akan menjauhkan seseorang dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merusak sendisendi pembangunan bangsa dan menyebabkan kemiskinan dan keterbelakangan terus membayangi wajah negeri. (57)

Jamal Ma’murAsmani, peneliti Pusat Studi Pesantren dan Fikih Sosial IPMAFAPati.

Sumber; Suara Merdeka