Mari berandai-andai, anda sedang di Amerika, duduk di bangku yang tersedia di sepanjang jalan. Tiba-tiba seseorang datang menghampiri anda dan mengajak ngobrol. Di akhir obrolan anda bertanya: “Mister, bagaimana islam Indonesia, mendurut anda?” Masih dalam Khayalan, saya yakin jawaban orang itu tidak kurang dan tidak lebih: “Islam Indonesia sudah tidak lagi moderat, sudah semakin radikal?”
Dari mana persepsi outsider tentang seperti itu bisa muncul? Banyak kemungkinan dan banyak faktor, tetapi yang paling berpeluang mendekati kebenaran faktor tersebut adalah informasi dari media, entah itu media mainstream maupun media sosial. Persepsi yang dalam bahasa latin disebut perceptio, percipere, adalah sebuah proses menghadirkan informasi ke dalam kesadaran melalui indera sehingga menghasilkan pengenalan terhadap obyek tertentu dari dunia eksternal. Persepsi dipandang sebagai kegiatan kognisi berupa evaluasi, penafsiran dan sintesa atas sensasi-sensasi dan keseluruhan pengorganisaian data (informasi) inderawi yang menghasilkan pemahaman yang disimpulkan oleh seseorang, tentang suatu obyek (hal) (Tim Penulis Rosda, 1995: 243-4). Pada saat kita membaca koran, fb, twitter atau media apapun tentang islam Indonesia (sebagai obyek, data) misalnya, maka orak kita akan melakukan kegiatan-kegiatan evaluasi, penafsiran dan sintesa sehingga menghasilkan kesimpulan kita tentang apa dan bagaimana Islam Indonesia itu; moderat, radikal, kanan, kiri dst. Kesimpulan setiap orang bisa berbeda tergantung pada informasi seperti apa yang dominan mempengaruhi persepsi dan kesimpulannya.
******
Pertanyaan penting: bagaimana proses intervensi media terhadap persepsi orang? Inilah yang penting kita jawab, mengingat saat ini interval persepsi masyarakat tentang Islam (Indonesia) sangat jauh, dan rendah kadar konsistensinya. Bulan ini, minggu ini bahkan hari ini orang menilai Islam Indonesia itu moderat, tapi berikutnya berubah menjadi radikal, tergantung bagaimana media menyeleksi informasi yang akan di blow-up.
Dalam bahasa A.F. Chalmers (1976: 8-12, proses intervensi media terhadap persepsi orang tentang Islam Indonesia dapat dijelaskan dengan logika induksi. Kaum induktivis naïf bersikukuh bahwa ilmu pengetahuan bertolak dari observasi dan eksperimen, dimana observasi menjadi dasar yang kokoh sebagai pijakan ilmiah. Pandangan ini merupakan antithesis dari prinsip deduktivisme yang mendasarkan validitas kesimpulan ilmiah dari kekuatan logika syllogism, dimana benar diukur dari keabsahan premis-premis (mayor-minor) yang dibangun. Maka, manakala Indonesianis menyatakan Islam Indonesia itu moderat, toleran, seperti itulah kesimpulannya, tanpa perlu verifikasi lagi melalui observasi dan eksperimen.
Logika deduktif telah lama menjadi pandangan umum orang (dalam maupun luar) dalam menilai Islam Indonesia. Romantisme sejarah dan dominasi mayoritas Islam kultural yang memiliki ideologi moderat seakan menyokong pandangan demikian selama berpuluh-puluh tahun. Bahkan kesimpulan itu tidak saja di tataran awam, tetapi juga kalangan intelektual yang kemudian dengan bangga dipromosikan ke berbagai belahan dunia dengan label Islam Nusantara, Islam Rahmatan lil ‘Alamin dan sebagainya.
Tetapi nampaknya saat inilah tanda-tanda keruntuhan pandangan optimistik deduktif itu dimulai. Orang tidak lagi mudah percaya dengan doktrin yang menina-bobokan itu. Orang sekarang lebih mudah percaya (atau tepatnya dikendalikan) informasi media massa dan media sosial, yang secara “disengaja” menampilkan sisi lain tentang Islam Indonesia. Terlepas dari motif apa yang mendasari pemilihan isu oleh media (sangat mungkin komersil, keuntungan politik, narasi perebutan kekuasaan dll), secara aklamasi informasi yang dijajakan berisi tentang watak keras Islam yang intoleran, memaksa dan anti demokrasi. Informasi-informasi ini yang pada akhirnya diproses menjadi persepsi. Dalam logika induktif, pembacaan informasi yang serupa secara berulang dalam jangka lama, diperkuat oleh narasi visual tayangan media elektornik dan persaksian langsung terhadap beberapa kasus di masyarakat mengkonfirmasi keabsahan kesimpulan, bahwa Islam Indonesia memang tidak lagi moderat, tapi radikal.
Apakah mau menyalahkan media yang dianggap tidak mempertimbangkan aspek nasionalisme? Atau menerapkan sensor ketat pada media social seperti yang beberapa waktu lalu wacananya mencuat? Rasanya langkah-langkah instrumentatif seperti itu tidak akan banyak berpengaruh. Karena saat ini orang sepenuhnya memiliki independensi yang kuat dalam membuat keputusan berdasarkan informasi apa yang dia pilih. Media sebenarnya menyediakan informasi yang beragam, tetapi unsur ketertarikan orang untuk mengkonsumsi informasi yang dramatis nampaknya lebih dominan. Jika sudah demikian, yang penting untuk dikampanyekan adalah sesatnya logika deduktif.
Chalmers menjelaskan beberapa kesesatan tersebut; pertama, sekalipun mementingkan observasi dan eksperimen, dalam menyusun kesimpulan logika induktif tetap berpegang pada keabsahan premis (yang dihasilkan observasi dan eksperimen). Di sini kecermatan menentukan obyek observasi sangat menentukan. Pilihan orang terhadap informasi tentang kasus-kasus yang bertema islam dari media tentu menentukan kesimpulannya; Kedua, karena berpijak pada observasi, maka kesimpulan yang baik adalah yang lebih banyak observasinya. Tetapi lebih banyak itu berapa kali? Berapa sampelnya? Untuk menyimpulkan bahwa api itu panas, berapa seorang induktivis harus membakar tangannya? Problem di sini sesungguhnya terletak pada relatifitas kesimpulan, bahwa kesimpulan Islam Indonesia itu moderat atau sebaliknya dibutuhkan berapa kali observasi, berapa lama dan berapa banyak media yang harus dibaca; Ketiga, dalam kepentingan mewakili kondisi yang obyektif, observasi menuntut adanya variasi kondisi yang luas. Artinya kebenaran kesimpulan tentang Islam Indonesia harus melibatkan banyak media, dan mencakup sebaran luasan yang representatif di seluruh Indonesia; Keempat, mungkin dengan banyaknya keberatan di atas, kaum induktivis akan mundur pada probabilitas, sehingga kesimpulannya tidak pernah pasti, “Islam Indonesia mungkinmoderat – mungkin radikal, mungkin kanan – mungkin kiri, mungkin fundamental – mungkin liberal”.
Kesimpulannya adalah, menarik persepsi tentang Islam Indonesia hanya berdasarkan media adalah sebuah kesesatan dan dapat membawa pada suatu keputusan yang membahayakan. Simak simulasi kasus berikut:
“Senin, tanggal 1 Ramadhan seekor ayam jantan memulai eksperimen tentang perilaku majikannya. Pada hari itu juga ia diberi makan dua kali, setiap jam 7 pagi dan jam 4 sore. Hal it uterus berulang sampai tanggal 20. Merasa observasinya cukup, dia menyimpulkan bahwa majikan saya baik, karena member makan setiap jam 7 pagi dan 4 sore. Lalu dia sampaikan kesimpulan tersebut ke teman-temannya. Sampai tanggal 28 ia masih jumawa menikmati kebenaran teorinya. Tapi tanggal 29 ramadha pagi, tepat jam 7 saatnya dia makan, ternyata sang majikan datang membawa golok, lalu menyembelihnya untuk dijadikan santapan di pagi hari raya. Nah, loh….sesat induktivis ayam jantan!!
Referensi :
A.F. Chalmers, What is thing called Science?, University of Queensland Press, 1976.
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1995.