Puasa Ramadhan merupakan salah satu ibadah mahdhah yang syari’at dan ketentuannya telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tetapi, pada sisi yang lain puasa tidak hanya memiliki dimensi vertikal sebagai sebuah kepatuhan dan keta’atan antara seorang hamba kepada Tuhannya, puasa juga merupakan ibadah sosial yang memiliki dimensi horisontal antar masyarakat, antar budaya, bahkan antar agama. Dalam konteks tersebut, puasa tidak cukup hanya difahami sebagai ritual rutin tahunan yang dilaksanakan oleh komunitas muslim pada Bulan Ramadhan dengan cara menahan hawa nafsu, menahan haus dan lapar dengan tujuan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Tetapi, dalam konteks yang lebih luas ajaran puasa memberikan pesan moral kepada umat Islam tentang spirit multikulturalisme, penghargaan terhadap keberagaman yang ada dalam lingkungan masyarakat kita.
Tuhan yang dalam bahasa arab disebut dengan Rabb (pendidik) tentu saja ingin memberikan pendidikan dan pembelajaran melalui syari’at puasa ini. Puasa dalam hal ini merupakan kewajiban syar’i yang dari kajian pendidikan memberikan banyak pembelajaran, diantaranya tentang spirit multikulturalisme terhadap umat Islam. Indikatornya dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
Pertama, puasa memberikan pendidikan akan pentingnya menghargai tradisi dan budaya lain. Dasar diwajibkannya syari’at puasa ini sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Baqarah: 183 menjelaskan bahwa : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” Ayat tersebut secara eksplisit menyampaikan pesan bahwa tradisi berpuasa itu telah ada pada umat sebelum kita. Artinya, puasa bukan tradisi “generic” Islam, tetapi merupakan syari’at Islam yang diadaptasi dan diakomodasi dari kebudayaan sebelum Islam (Salehudin, 2017). Hal tersebut membuktikan bahwa Islam juga menghormati tradisi dan budaya lain, bahkan diakomodasi sebagai sebuah syari’at Islam asalkan tradisi tersebut dianggap baik. Prinsip penghargaan dan penghormatan terhadap tradisi lain menjadi penting ketika kita melihat banyaknya ritual puasa yang juga dilakukan oleh masyarakat yang berakar dari tradisi lokal dengan aturan dan tata cara yang berbeda. Misalnya, dalam tradisi masyarakat Jawa, kita mengenal berbagai jenis puasa seperti Puasa Mutih, Puasa Patigeni dan jenis puasa lainnya. Puasa tersebut menjadi sebuah ritual yang dijalankan untuk mencapai tujuan tertentu. Begitu pula puasa dalam ajaran Islam, tujuan disyari’atkannya puasa dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 183 adalah “la’allakum tattaquun” atau untuk meraih derajat ketaqwaan kepada Allah SWT.
Kedua, Puasa memberikan pendidikan tentang egalitarianisme (al-Musawat). Egalitarianisme ini dianggap sebagai sebuah pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu sama derajatnya. Dalam hal ini, Puasa Ramadhan merupakan syari’at yang diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman, baik laki-laki, perempuan, kaya atau miskin, pejabat tinggi ataupun pekerja rendahan. Semuanya diposisikan sama oleh Allah untuk menjalankan syari’at tersebut dan bagi yang menjalankan syari’at puasa tersebut, maka derajat mereka akan dinaikkan sebagai orang-orang yang bertaqwa. Dalam konteks hidup bermasyarakat, prinsip egalitarianisme ini menjadi penting agar kita dapat memperlakukan orang lain dengan perlakuan dan perhatian yang sama sebagai hamba Allah yang memiliki perasaan yang ingin diperlakukan sederajat dengan yang lain. Begitu pula dalam ranah yang lebih luas, setiap orang hendaklah diberikan kesempatan yang sama dalam hal pemenuhan kebutuhan dasarnya sebagai manusia dan diperlakukan sama dalam hal hak mendapat keadilan di muka hukum dan tidak ada diskriminasi berdasarkan etnis, ras, agama, jenis kelamin, status sosial dan lain-lain.
Ketiga, Puasa juga memberikan pendidikan tentang pentingnya toleransi (Tasamuh). Kewajiban menjalankan puasa Ramadhan ini tidak serta merta dipaksakan, tetapi ada sisi toleransi yang diberikan Allah misalnya pada wanita hamil, wanita yang sedang menstruasi, wanita yang sedang nifas, ibu menyusui, orang yang sedang sakit dan seseorang yang sedang dalam perjalanan jauh. Bagi mereka diizinkan tidak berpuasa tetapi dengan ketentuan mengqodho atau mengganti puasa Ramadhan tersebut pada hari lain. Selain itu, pada kondisi tertentu seseorang juga dapat mengganti puasanya dengan membayar fidyah. Hal tersebut tercantum dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 184. Dijelaskan bahwa: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. Hal tersebut memperlihatkan bahwa melalui syari’at berpuasa Allah telah mendidik kita untuk bersikap toleran pada kondisi tertentu. Dalam realitas kehidupan sosial yang semakin kompleks, pendidikan tentang toleransi ini sangat diperlukan terutama dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, yang memiliki perbedaan dalam hal agama, etnis, ras, bahasa dan budaya, yang suatu saat rawan akan terjadinya konflik antar kelompok masyarakat yang dapat berdampak pada instabilitas keamanan, sosial, politik dan ekonomi. Maka, dalam mensikapi keberagaman tersebut, idealnya masyarakat dapat menggunakan kerangka berfikir yang lebih toleran dan akomodatif terhadap perbedaan untuk mencegah timbulnya benturan antar budaya dan benturan antar kepentingan kelompok tertentu. Sehingga, keragaman tersebut tidak disikapi sebagai ancaman yang dapat berdampak pada persengketaan, konflik dan bahkan aksi-aksi anarkhis yang dapat memecah belah persatuan bangsa.
Keempat, Puasa juga mendidik kita untuk bersikap saling menghormati terhadap sesama. Hal ini dapat dilihat dari perintah Allah agar manusia dapat menjaga lidah dari perkataan yang menyakiti pihak lain, menimbulkan fitnah dan permusuhan dengan sesama. Larangan untuk menjaga lisan tersebut secara syar’i tidak membatalkan puasa, tetapi dapat mengurangi kualitas ibadah puasa yang dapat berakibat berkurangnya pahala dari ibadah puasa tersebut. Hal ini memberikan pendidikan bagi umat Islam untuk meningkatkan penghormatan terhadap hak-hak individu lain. Prinsip saling menghormati ini menjadi komitmen yang diagungkan selama bulan puasa, termasuk dalam hal pemberlakuan jam kerja yang berbeda bagi karyawan selama bulan puasa, pembatasan jam operasional rumah makan yang dimulai waktu sore atau tetap melayani pembeli pada siang hari dengan pintu yang ditutup/diberi tirai dan lain-lain. Hal tersebut merupakan ekspresi dari kesadaran keberagaman melalui pengakuan dan penghormatan kepada sesama.
Berdasarkan hal-hal di atas, banyak nilai-nilai pendidikan yang dapat kita pelajari dari syari’at puasa, maka di Bulan Ramadhan ini dapat dijadikan momentum untuk menumbuhkan spirit multikulturalisme dengan menghargai keberagaman dan memupuk sikap saling menghormati satu sama lain.
Penulis adalah Kaprodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Pati
Dimuat di Lingkar Kateng Tanggal 19 Juni 2017