Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Myanmar di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi yang mendapat nobel perdamaian terhadap etnis Rohingya di Rakhine State yang mayoritas muslim merupakan aksi biadab di era modern sekarang ini. Demokrasi, hak asasi manusia, dan perdamaian diinjak-injak oleh militer dengan cara yang sadis. Dunia mengutuk aksi ini, meskipun Barat bungkam seribu bahasa. Naluri kemanusiaan yang lintas agama dan Negara terpanggil untuk menghentikan aksi biadab yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan.
Indonesia sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar dunia merespons kasus ini dengan cepat. Langkah diplomasi Indonesia melalui Menteri Luar Negeri yang membawa instruksi Presiden Jokowi dan amanat bangsa Indonesia diapresiasi oleh dunia sebagai langkah nyata dalam menghentikan kejahatan kemanusiaan. Langkah Indonesia menjadi inspirasi Negara lain untuk menyuarakan advokasi kepada etnis Rohingya dan langkah kontribusi riil lainnya untuk menyelamatkan etnis Rohingya dari kebiadaban tentara Myanmar.
Umat Islam Indonesia sebagai umat Islam terbesar dunia seyogianya menampakkan aksi nyata untuk menghentikan kebiadaban tentara Myanmar dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada para korban, baik yang masih hidup di wilayah Myanmar maupun yang sudah keluar dari Myanmar, seperti ke Banglades. Beberapa aksi yang sudah dilaksanakan adalah melakukan shalat ghaib, berdo’a, demonstrasi ke kedubes Miyanmar yang ada di Indonesia, dan menggalakkan donasi kemanusiaan untuk membantu persoalan kompleks yang dialami etnis Rohingya, seperti kelaparan, banyaknya penyakit, dan lain-lain. Aksi ini harus dilakukan secara intensif dan massif untuk menggugahkesadaran masyarakat internasional sebagai tekanan besar bagi tentara Myanmar untuk segera menghentikan kebiadabannya.
Dalam al-Qur’an dijelaskan, sesama muslim adalah saudara, sehingga satu dengan yang lain harus saling menolong. Dalam hadis Nabi dijelaskan, orang mukmin satu dengan mukmin yang lain ibarat satu badan, jika yang satu merasakan sakit, maka yang lainnya ikut merasakan sakit juga. Kesetiakawanan, kepedulian, dan ikatan batin antar sesama umat Islam menggugah kesadaran untuk ikut berpartisipasi aktif dalam meringankan beban saudaranya. Kaum agamawan sebagai pemimpin umat Islam harus berpartisipasi aktif untuk mendorong upaya perdamaian dan menggalakkan umat Islam untuk membantu berbagai masalah primer yang diderita etnis Rohingya, khususnya kelaparan dan bahaya penyakit. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar Negara ini harus tampil sebagai pioneer aksi nyata ini.
Agamawan dan ormas Islam mempunyai peran penting untuk membantu etnis Rohingya yang sedang mengalami kesusahan dan penderitaan. Kebutuhan dasar (basic need) mereka berupa makan, sandang, dan papan menjadi prasyarat bagi terciptanya kesejahteraan, kemajuan, dan kebahagiaan. Tanpa melihat agama, etnis, golongan, dan ras, membantu sesama yang kelaparan dan terkena penyakit adalah ibadah yang bernilai agung menurut agama manapun. Ia sesuai dengan perintah Tuhan dan sisi kemanusiaan. Menurut M Hilaly Basya, tokoh agama bukan sekadar mengurusi ritualitas agama yang justru menjauhkan mereka dari persoalan umat. Tokoh agama adalah pihak yang sejatinya menyuarakan kebajikan dalam masyarakat. Moeslim Abdurahman (2003) menyebut tokoh-tokoh agama semacam itu sebagai agamawan organik. Agamawan organik adalah orang (siapa saja) yang bisa mengartikulasikan keadaan dan menemukan “suara-suara agama” (religious voices) menjadi kritik sosial dan counter hegemony terhadap sistem yang menindas.
Agamawan organik memiliki kepekaan dalam membaca situasi sosial-politik yang ada di sekitarnya. Diskriminasi, marjinalisasi, perenggutan hak asasi, ketakadilan, dan seterusnya. Kepekaan itu juga mendorong agamawan organik untuk merespons dan menyuarakan realitas sosial-politik itu. Ketakadilan bukan hanya membuat agamawan organik mengetahui dan menyadari adanya realitas semacam itu, melainkan menggerakkannya untuk merespons dan mengkritik ketidakadilan itu. Keberadaan agamawan organik tak sebatas membimbing ritualitas dan spiritualitas umat, tapi menumbuhkan kesadaran kolektif agar umat memiliki kesadaran tentang asal-muasal atau sumber penindasan dan bagaimana menyikapinya.
Memberi makan orang lapar dan mereka yang membutuhkan adalah ajaran Islam yang agung. Dalam QS. Al-Balad ayat 12-16 Allah berfirman : Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu ? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, Atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, Atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Ayat ini dengan jelas mengajarkan manusia untuk berbagi kepada sesama, khususnya mereka yang sedang susah dan menderita, misalnya budak, orang lapar, anak yatim, dan fakir-miskin. Orang bakhil diancam Allah disiksa di neraka dengan siksaan yang pedih. Mereka tidak mempunyai empati sosial, egois, dan tega mendemonstrasikan kekayaan, kemegahan, dan kemewahan di atas penderitaan orang lain. Mereka buta, tuli, dan bisu melihat kesusahan dan penderitaan orang lain.
Untuk mendukung pelaksanaan ajaran ini, kaum agamawan harus didukung kapasitas organisasi yang profesional, sehingga dalam melakukan agenda pemberantasan kelaparan dan penyakit yang dialami etnis Rohingya didukung tim kerja yang solid dan berkualitas, yaitu mereka yang terlatih, terampil, dan akuntabel dalam melakukan agenda suci dan agung ini. Bekerja melalui organisasi dengan manajemen yang transparan dan akuntabel akan membuat program kerja yang diagendakan berjalan dengan baik dan berkualitas. Ada aspek perencanaan, pengorganisir, pelaksanaan, dan pengontrolan secara sistematis, kontinu, dan konsisten.
Keteladanan agamawan diharapkan diikuti pengikut-pengikutnya, sehingga semakin banyak orang yang memperhatikan etnis Rohingya. Mereka berbondong-bondong membantu etnis Rohingya sesuai kemampuan masing-masing dengan ikhlas dan penuh kasih sayang. Kebahagiaan orang lain sama dengan kebahagiaannya, penderitaan dan kesusahan orang lain sama dengan penderitaan dan kesusahannya juga. Sebuah kezaliman dan kebiadaban membiarkan orang lapar dan sengsara, sedangkan ia mampu menolongnya. Semoga semua langkah yang dilakukan, baik diplomasi maupun taktis, bisa meringankan beban etnis Ronghiya dan mampu membangun peradaban dunia yang humanis yang mengedepankan nilai-nilai perdamaian dan hak asasi manusia.
* Peneliti Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial IPMAFA Pati





