MUSABAKAH Tilawatil Quran (MTQ) Nasional digelar di Islamic Centre Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), 27 Juli ñ 17 Agustus 2016, dihadiri oleh seluruh peserta dari Sabang sampai Merauke. Dalam konteks ancaman terorisme sekarang ini pascakematian Santoso, MTQ ini diharapkan mampu menyadarkan publik, Alquran itu antiterorisme. Sebab, mengajarkan umat manusia, terutama umat Islam, untuk selalu menyayangi sesama.
Ketika membaca Alquran, kalimat pertama yang diucapkan adalah basmalah, yaitu bismillahirrahmanirrahim. Dalam basmalah ini selalu disebut dua sifat Allah, yaitu Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Ar-Rahman didahulukan daripada Ar-Rahim karena Ar-Rahman sifat kasih sayang Allah yang mencakup seluruh makhluk lintas sektoral tanpa diskriminasi dalam kehidupan dunia. Sementara itu, Ar-Rahim adalah kasih sayang Allah yang ditujukan secara spesifik kepada orang-orang beriman di akhirat kelak.
QS Al-Baqarah 2:126 menyebutkan, Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah agar hanya orang-orang beriman yang diberi rezeki. Namun Allah menjawab, orang-orang kafir pun diberi kenikmatan sesaat (di dunia), tapi di akhirat mereka disiksa.
Jawaban Allah terhadap pertanyaan Nabi Ibrahim ini menunjukkan kepada umat Islam, kasih sayang Allah di dunia kepada makhluknya tidak terbatas. Dalam sebuah hadis, Nabi menekankan, orang-orang yang mempunyai sifat kasih sayang akan disayangi Allah, dan siapa yang menyayangi makhluk Allah di muka bumi, maka seluruh penghuni langit menyayanginya.
Kitab Al-Mawa’idh Al-Ushfuriyah mengisahkan, Umar bin Khattab mendapat nikmat kubur dan terhindar dari siksa kubur karena kasih sayangnya pada seekor burung yang dibeli dan dibebaskannya dari anak kecil yang menjadikannya mainan.
Terorisme sangat ditentang dalam Alquran karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip humanisme Alquran. Terorisme dalam bentuk apa pun, seperti membunuh orang lain yang tidak berdosa, menakut-nakuti, mengancam, dan mengintimidasi, ditentang Alquran.
Allah tidak menyukai kerusakan yang dilakukan oleh semua orang. Dalam QS. Al-Baqarah 2:205, Allah berfirman, ‘Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman- tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.’
Islam mendorong perbaikan (islah) dan mengutuk kerusakan (ifsad). Sejak proses penciptaan manusia, potensi merusak dan mengalirkan darah sesama tanpa perikemanusiaan, sudah diinformasikan sedini mungkin agar bisa diperbaiki dengan baik.
Dalam diri manusia memang ada potensi positif, seperti hati dan akal, tapi juga ada potensi negatif, yaitu nafsu dan syahwat (Said Aqil Sirajd, 1999). Agama bertugas membimbing nafsu dan syahwat agar berada di jalan yang diridai Allah Swt. Jihad dalam Alquran dimaknai para teroris, hanya untuk berperang mengangkat senjata melawan orang-orang kafir.
Makna jihad bersifat dinamis, sesuai dengan tantangan ruang dan waktu. Saat masa Nabi dan sahabat, Islam selalu terdesak musuh, bahkan diusir dan dilecehkan hak-hak asasi manusianya, mengangkat senjata untuk mempertahankan jiwa dan kehormatan adalah jihad suci.
Pergeseran Pola
Pikir Namun, ketika orang-orang nonmuslim bersedia hidup berdampingan secara harmonis dengan umat Islam, seperti di Madinah, Nabi tidak menyuruh umat Islam memerangi mereka. Tapi, memerintahkan umat Islam hidup bersama-sama dengan rukun, menjaga keamanan dan membangun negara.
Piagam Madinah membuktikan wawasan inklusif dan kosmopolit Nabi dalam membangun negara dalam bingkai pluralitas yang penuh toleransi dan moderasi. Sejarah pembebasan Kota Makkah yang dilakukan tentara Islam di bawah kepemimpinan Nabi jauh dari praktik radikalisme dan terorisme.
Meskipun membawa pasukan dalam jumlah besar dan orang-orang kafir tidak berdaya, Nabi tidak menampakkan dendam dan permusuhan dengan membunuh dan menyakiti mereka yang tidak melawan.
Justru kasih sayang, persaudaraan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia yang ditegakkan Nabi. Yusuf al- Qaradlawi dalam Fiqhul Jihad menjelaskan, jihad era sekarang adalah mengembangkan informasi, ekonomi, dan peradaban Islam agar superior di tengah dominasi kaum kapitalis . Dibutuhkan pergeseran pola pikir untuk memaknai jihad dalam Alquran agar kontekstual dan relevan dengan tantangan kekinian.
Mengkaji Alquran tidak boleh hanya dengan pendekatan tekstualistis-normatif, dilengkapi dengan pendekatan filosofis, sosiologis, antropologis, psikologis, dan historis. Multipendekatan ini akan menghasilkan interpretasi dinamis dan responsif terhadap tantangan zaman, tidak statis dan eksklusif. (57)
–– Jamal Ma’murAsmani, peneliti Pusat Studi Pesantren dan Fikih Sosial Ipmafa Pati; pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah NU Jateng.
Sumber: Suara Merdeka