Oleh: Dr. Sahal Mahfudh, M.Pd.*
Di sebuah majelis pengaosan, Kiai kami Abah KH Ahmad Nafi’ Abdillah Kajen pernah menasihati para guru dengan gaya beliau yang lembut dan senyuman khasnya, tapi langsung menghunjam di relung hati:
“Guru-guru aja pada NGAJI. Nuuun? NGAJI? NGArang biJI!”
Kalimat sederhana itu menyimpan kedalaman nilai dan integritas yang hari ini terasa makin langka. Dalam dunia pendidikan yang seharusnya menjadi taman kejujuran, kini tumbuh subur praktik “NGAJI” (ngarang biji), atau dengan kata lain: manipulasi nilai.
Inflasi nilai, yakni lonjakan angka nilai rapor dan ijazah yang tidak selaras dengan kemampuan riil siswa, bukan lagi isu kecil. Di banyak sekolah, madrasah, bahkan perguruan tinggi, praktik ini diam-diam dijadikan strategi untuk mendongkrak nilai akreditasi atau agar lulusannya bisa mudah diterima di perguruan tinggi maupun di berbagai tempat bekerja.
Ketika menjabat sebagai Direktur Akademik di Yanbu’ul Qur’an Boarding School 1 Pati, saya pernah kedatangan tamu, seorang kepala sekolah negeri favorit. Sangat terkenal bahwa setiap tahun, lulusannya banyak yang diterima di berbagai perguruan tinggi ternama, baik dalam maupun luar negeri. Saya pun penasaran, ingin tahu apa rahasianya, supaya bisa saya praktikkan juga di YQBS 1 Pati.
Kepala sekolah yang tampak sangat “berpengalaman” dengan sistem pendidikan itu tanpa ragu menyarankan:
“Mas, kalau mau anak-anak panjenengan bisa diterima di kampus negeri top jalur rapor, ya nilai mereka dimaksimalkan saja. Banyak kok, sekolah yang melakukan praktik itu.”
Saya terkejut mendengar sarannya. Lalu membalas:
“Wah, kalau kuncinya seperti itu, kami tidak bisa, Pak. Kami pernah diwejang Mbah Kiai Nafi’, supaya para guru, aja pada NGAJI: NGArang biJI.”
Di satu sisi, saran kepala sekolah favorit tadi terasa “realistis” dalam sistem seleksi masuk kampus negeri yang memang banyak mengandalkan nilai rapor, seperti SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi) atau SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Tapi di sisi lain, ini juga adalah bentuk kebohongan sistemik yang merusak integritas pendidikan dari akarnya. Walaupun tidak semua sekolah melakukannya, tapi kebanyakan demikian adanya.
Sebagian orang mengira nilai bisa ditentukan sembarangan, asal guru dan kepala sekolah setuju. Padahal, dalam sistem pendidikan nasional, penentuan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) punya dasar yang jelas: mengacu pada kompleksitas materi, kemampuan siswa, dan kondisi sarana-prasarana sekolah. Itu artinya, KKM di setiap sekolah bisa berbeda-beda. Dan itu sah-sah saja.
Namun ketika KKM ditetapkan asal-asalan hanya untuk memudahkan siswa lulus, maka sistem evaluasi pembelajaran di sekolah yang seharusnya jujur justru hanya menjadi panggung sandiwara. Anak tidak mencapai KKM, di-KKM-kan dengan cara remedial terus-menerus. Tidak ada anak tidak naik kelas. Semuanya pasti naik kelas. Saya sampai pernah memergoki ada guru yang membuka les privat, dan rela mencuri kunci jawaban lalu dibagikan ke anak-anak les bimbingannya, agar mereka bisa melampaui KKM di sekolah karena tuntutan dari orang tuanya. Di sekolahan anak bimbingannya, nilai KKM ditetapkan sangat tinggi. KKM-nya pakai KKM tunggal, dengan nilai: 85! Bayangkan, matematika dan fisika, KKM-nya 85?
Saya jadi teringat, tahun lalu pernah berkunjung ke salah satu kampus besar PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri). Dalam obrolan hangat namun getir, terungkap bahwa lebih dari 80% mahasiswa baru dari ribuan mahasiswa yang diterima pada tahun itu tidak bisa baca tulis Arab! Ini kampus Islam lho, menerima input dengan kualitas yang demikian. Akhirnya, kampus punya kebijakan untuk melengkapi barcode di setiap lembar buku ajar bahasa Arabnya, yang tertaut dengan link audio cara membaca teks Arab dalam halaman itu.
Sebuah ironi. Di satu sisi, mereka tercatat sebagai mahasiswa universitas Islam; di sisi lain, kemampuan dasar keislaman justru nihil. Boleh jadi, mereka adalah produk dari praktik “NGAJI”: angka di rapor tinggi, tapi minus kompetensi.
Imam al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi pernah dhawuh:
الرِّجَالُ أَرْبَعَةٌ:
١. رَجُلٌ يَدْرِي وَيَدْرِي أَنَّهُ يَدْرِي، فَذَلِكَ عَالِمٌ فَاتَّبِعُوهُ.
٢. وَرَجُلٌ يَدْرِي وَلَا يَدْرِي أَنَّهُ يَدْرِي، فَذَلِكَ غَافِلٌ/نَائِمٌ فَأَيْقِظُوهُ.
٣. وَرَجُلٌ لَا يَدْرِي وَيَدْرِي أَنَّهُ لَا يَدْرِي، فَذَلِكَ مُسْتَرْشِدٌ فَأَرْشِدُوهُ.
٤. وَرَجُلٌ لَا يَدْرِي وَلَا يَدْرِي أَنَّهُ لَا يَدْرِي، فَذَلِكَ جَاهِلٌ/أَحْمَقُ فَارْفُضُوهُ.
Manusia itu ada empat macam:
-
Seorang yang tahu, dan ia tahu bahwa ia tahu. Itulah orang alim, maka ikutilah dia.
-
Seorang yang tahu, tetapi ia tidak tahu bahwa ia tahu. Itulah orang ghafil (orang yang lalai)/naim (orang yang tidur), maka bangunkanlah/sadarkanlah dia.
-
Seorang yang tidak tahu, namun ia sadar bahwa ia tidak tahu. Itulah mustarsyid (pencari petunjuk), maka bimbinglah dia.
-
Seorang yang tidak tahu, dan ia tidak tahu bahwa ia tidak tahu. Itulah jahil/ahmaq (orang bodoh sejati), maka tinggalkanlah dia.
Ketika siswa diberi nilai tinggi padahal tak mampu, sebenarnya mereka tengah digiring untuk merasa tahu padahal tidak tahu. Inilah bibit dari manusia tipe keempat, yang tidak sadar akan kebodohannya sendiri. Mereka kehilangan rasa ingin belajar karena merasa sudah “pintar”.
Di tengah gelombang manipulasi nilai, almamater tercinta kami, “Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen Pati”, alhamdulillah masih konsisten dengan prinsipnya yang anti “NGAJI”. Matholek tetap menjaga napas kejujuran itu. Di sana, guru-guru kami tetap menulis nilai hasil belajar secara jujur apa adanya: nilai 4 ya ditulis 4, nilai 7 ya ditulis 7. Tidak ada drama. Tidak ada pencitraan. Tidak ada kemunafikan. Karena beliau-beliau yakin, kejujuran dalam nilai adalah jalan pertama menuju perubahan.
Seorang murid yang sadar bahwa ia belum tahu akan terdorong untuk belajar. Dan ini masuk kategori jenis ketiga tadi: مسترشد, orang yang butuh dan mau dibimbing. Sedangkan yang selalu dipuji dan didewakan dengan nilai palsu akan terjebak dalam fatamorgana kepintaran, dan bisa masuk pada golongan keempat: جاهل/أحمق.
Dunia pendidikan tak butuh sandiwara. Ia butuh kejujuran, keikhlasan, dan keberanian untuk berkata, “Anak ini memang belum bisa.” Lebih baik kita menghasilkan lulusan yang rendah hati dan haus ilmu daripada lulusan penuh prestasi palsu tapi kosong kompetensi. Lebih baik nilai rapor merah, asal disertai semangat untuk belajar dan terus memperbaiki, daripada nilai rapor hijau padahal hasil dari ngarang biji.
Sudah saatnya pendidikan kita kembali ke ruhnya: mendidik siswa menjadi manusia seutuhnya, bukan mengejar statistik nilai yang penuh fatamorgana. Mari kita tinggalkan praktik “ngaji” dan menjemput generasi yang sadar bahwa belajar itu adalah tugas utama, bukan hanya sekadar mencari angka-angka.
*Dr. Sahal Mahfudh, M.Pd., Dosen Pascasarjana IPMAFA