PUNCAK peringatan haul seribu hari KH MASahal Mahfudh, akan digelar Minggu (2 Oktober 2016). Tidak terasa Kiai Sahal sudah meninggalkan bangsa ini selama seribu hari. Sang legenda fiqh sosial itu seperti baru kemarin meninggalkan kita. Jejak transformasi sosial yang diperjuangkan masih kokoh berdiri sampai sekarang, bahkan diteruskan oleh santri-santrinya.
Kepedulian sosial yang menjadi nilai utama (core value) perjuangan Kiai Sahal menjadi spirit para santri dalam memberdayakan masyarakat. Menurut Kiai Sahal, dakwah tidak hanya retoris. Justru, dakwah yang sesungguhnya adalah mengajak masyarakat ke jalan yang benar dengan cara efektif.
Perubahan menjadi parameter utama keberhasilan dakwah, bukan retorika yang mengagumkan (Sahal Mahfudh, 1994). Pergeseran makna dakwah dari retorika (bilmaqal) ke aksi (bilhal) adalah transformasi paradigma yang digagas Kiai Sahal.
Hal ini membawa konsekuensi luas. Jika dakwah bilmaqal hanya membutuhkan kemampuan penguasaan panggung dan teks-teks dalil secara matang, maka dakwah bilhal membutuhkan kemampuan yang melibatkan multidisiplin ilmu. Pertama, kontekstualisasi teks-teks agama dalam wilayah sosial. Teks-teks transformatif dalam wilayah sosial harus dimaknai secara solutif-kontekstual supaya ada relevansi dengan problem-problem sosial yang terjadi.
Kedua, memahami persoalan-persoalan masyarakat secara riil. Oleh sebab itu, dakwah bilhal membutuhkan pemahaman masyarakat secara sosiologis dan antropologis, tidak sekadar tekstualnormatif. Ketiga, mempunyai kemampuan berorganisasi yang andal supaya mampu membangun tim yang solid untuk realisasi agenda dakwah. Keempat, dakwah bilhal membutuhkan modal yang memadai dan terus-menerus sehingga mampu melakukan perubahan secara konkret.
Kelima, membutuhkan kemampuan psikologis untuk menyadarkan masyarakat dan memotivasi mereka untuk mengubah visi hidup menjadi lebih dinamis, prestatif dan produktif. Kiai Sahal berjuang melakukan dakwah bilhal dengan lima langkah di atas.
Pertama, Kiai Sahal melahirkan terobosan paradigma dalam memahami fiqh dengan bendera fiqh sosial. Fiqh sosial adalah fiqh yang responsif terhadap persoalan-persoalan sosial supaya keadilan sosial tegak berdiri dan ketimpangan sosial sirna dalam realitas masyarakat. Bahtsul Masail yang menjadi forum ilmiah pesantren diubah dari tekstual menjadi kontekstual dengan merumuskan solusi-solusi persoalan sosial yang dikaji.
Kontekstualisasi dan aktualisasi menjadi senjata Kiai Sahal dalam mendinamisasi paradigma berpikir dan mendorong implementasi dakwah bilhal. Kedua, Kiai Sahal selalu turun ke lapangan untuk melihat persoalan-persoalan riil yang terjadi, sehingga dia memahami peta kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan masyarakat Kajen.
Aktor Kreatif
Kiai Sahal memilih menjadi aktor kreatif, bukan aktor pasif yang duduk di singgasana keilmuan tanpa tersentuh dengan persoalan-persoalan empiris yang kompleks. Kiai Sahal selalu mengembangkan potensi dengan membaca bukubuku baru untuk mengikuti perkembangan keilmuan kontemporer dan untuk meningkatkan kepekaan sosial dalam membaca realitas hidup yang sesungguhnya di masyarakat.
Ketiga, Kiai Sahal adalah sosok organisator ulung yang memulai karier dari bawah secara kontinu dan konsisten. Keempat, dalam konteks modal, mantan Rais Am PBNU itu merintis lembaga keuangan yang berfungsi sebagai katalisator dan dinamisator program pemberdayaan ekonomi umat. Kelima, Kiai Sahal melibatkan kaum profesional dalam merancang program dan melakukan aksi di lapangan untuk menggugah kesadaran masyarakat dan memberikan skills memadai dalam bidang ekonomi.
Secara faktual, dakwah bilhal Kiai Sahal diwujudkan dalam karya-karya sosialnya. Dalam bidang pendidikan, Kiai Sahal mengembangkan Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) Kajen yang dirintis kakeknya KH Abdussalam. Selain itu, Kiai Sahal mendidik para santri di Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen. Kiai Sahal juga menjadi Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Jepara, dan merintis perguruan tinggi di Pati, yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam Mathaliíul Falah (Staimafa) yang sekarang berubah menjadi Institut Pesantren Mathali’ul Falah (Ipmafa).
Dalam bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat, Kiai Sahal menjadikan pesantren Maslakul Huda sebagai motor penggerak dengan mendirikan BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) yang berkiprah di bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat Kajen dan sekitarnya.
Dalam bidang kesehatan, Kiai Sahal bersama KH Abdullah Salam, merintis Rumah Sakit Islam Pati (RSI). Dalam bidang keuangan, Kiai Sahal mendirikan BPR Artha Huda Abadi yang dijadikan sebagai fasilitator dan dinamisator pengembangan ekonomi umat. Semoga dalam momentum haul seribu hari Kiai Sahal ini, para santri dan bangsa ini meneladani perjuangan Kiai Sahal.(47)
—Jamal Ma’mur Asmani, peneliti Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial Ipmafa Pati
Sumber: Suara Merdeka