PATI- kasus-kasus kekerasan dan terorisme sekarang ini cenderung meningkat. Terutama dalam sepuluh tahun terakhir, kuantitas kasus kekerasan atas nama agama dan etnik meningkat drastis. Untuk itu, perlu pencegahan secara sistematis untuk menanggulangi ancaman kekerasan dan terorisme. Pendekatan deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah selama ini kurang berhasil. Terbukti, masih adanya kasus-kasus kekerasan dan terorisme di berbagai daerah.
Untuk merespon hal itu, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Mathali’ul Falah, Pati, Jawa Tengah, menyelenggarakan seminar nasional dalam rangka Hari Kebangkitan Nasional bertajuk “Islam Rahmatan Lil’Alamin: Politik Kebangsaan untuk Masa Depan Indonesia” pada Sabtu (18/5). Agenda ini dihadiri oleh Dr.(HC). As’ad Said Ali (Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama /PBNU), Prof. Nur Syam, M.Si (Dirjen Pendidikan Islam Kementrian Agama) dan ketua STAIMAFA, H. Abdul Ghaffar Razien, M.Ed.
Agenda ini juga dihadiri oleh Rais ‘Am PBNU, KH. M.A Sahal Mahfudh, yang juga Dewan Pembina Yayasan Nurussalam Kajen. Kiai Sahal, dalam sambutan pembukaan, menegaskan bahwa konsep Islam Rahamatan lil-Alamin dapat menjadi kunci dan landasan untuk menanggulangi kasus-kasus kekerasan, terorisme serta mencari format untuk masa depan Indonesia. “Konsep ini sangat penting, agar dapat diaplikasikan dalam mencari format masa depan Indonesia, terutama untuk diaplikasikan dalam bidang pendidikan”.
Selain itu, Kiai Sahal juga menyinggung bahwa strategi deradikalisai untuk menanggulangi terorisme tidak sepenuhnya berhasil. “Pendekatan deradikalisasi tidak berhasil, bahkan bisa dianggap gagal. Karena, pendekatan ini hanya parsial, tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya,” ungkap Kiai Sahal. Untuk itu, perlu ada sebuah format baru dengan melibatkan unsur pendidikan dan lembaga agama (pesantren) agar mencetak kader penggerak perdamaian di berbagai kawasan.
Di lain pihak, Prof. Nur Syam, menegaskan tentang penting unsur kearifan lokal dalam merespon berbagai hal yang terkait dengan kekerasan dan konflik. “Menggunakan pendekatan yang merespon kearifan lokal sangat penting, agar terjadi keseimbangan dalam merancang strategi. Pendidikan, dalam hal ini, sangat penting untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan dan menghadapi terorisme”.
Waketum PBNU, Dr (HC). H. As’ad Said Ali, menandaskan bahwa terorisme itu betul ada. “Perlu ada pendekatan strategis dan sistematis, agar tercipta upaya kongkrit menyelesaikan masalah terorisme dan menanggulangi radikalisme”. Untuk itu, ungkap As’ad, perlu ada kader-kader penting, yang siap mengawal konsep keindonesiaan-kebangsaan, dengan berpijak pada konsep Islam rahmatan lil-alamin dan Pancasila. “Perlu ada pemahaman yang komprehensif bagi kader-kader pesantren, agar memahami strategi, konsep gerakan massa dan mampu memainkan isu,” tandas As’ad.
Sementara, H. Abdul Ghaffar Razien, M.Ed, menyebut bahwa perlu ada strategi penanggulangan terorisme berbasis pendidikan secara sistematis. “STAI Mathaliul Falah, menawarkan sebuah program untuk mencipta kader dari kawasan rawan konflik dan kader pesantren, untuk dibekali dengan wawasan yang komprehensif untuk mencari solusi atas konflik dan ancaman terorisme di kawasan masing-masing. Kader-kader tersebut akan jadi aktor, yang akan menjadi peggerak komunitas di kawasan rawan konflik,agar terbentuk lingkungan yang mengupayakan perdamaian, dan menolak kekerasan serta membendung potensi terorisme”.