Fiqh Melindungi Perempuan

Oleh: Dr. Jamal Ma’mur, M.A.*

Islam adalah agama yang misinya menegakkan rahmah bagi seluruh alam. Rahmat mengandung makna kasih sayang yang berintikan keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan, dengan mendatangkan kemanfaatan dan menolak kerusakan.

Manifestasi Islam paling riil dan praktis dalam kehidupan sehari-hari adalah fiqh. Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang digali dari dalil terperinci. Seluruh problematika manusia masuk dalam ahkam ‘amaliyyah (hukum praktis) yang menjadi poros kajian fiqh.

Oleh sebab itu, fiqh harus menebarkan rahmah dalam doktrinnya. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, sebagaimana dikutip oleh Ibu Umdah el-Baroroh (2016) dan Ahmad Ali MD (2020), menegaskan:

فان الشريعة مبناها وأساسها على الحكم ومصالح العباد في المعاش والمعاد وهي عدل كلها ورحمة كلها وحكمة كلها…
(Selengkapnya sebagaimana dalam I’lamul Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin, Juz 2, h. 3)

Inti dari kutipan tersebut menyatakan bahwa esensi syariat Islam adalah kebijaksanaan dan kemaslahatan di dunia dan akhirat. Syariat Islam berintikan keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan. Jika ada satu topik yang keluar dari keadilan, kasih sayang, kemaslahatan, dan kebijaksanaan menuju penyimpangan, kekejaman, kerusakan, dan kesia-siaan, maka substansinya bukan termasuk syari’at, meskipun dimasukkan melalui jalan ta’wil (interpretasi). Maka, syariat adalah keadilan Allah kepada hamba-Nya, kasih sayang-Nya kepada makhluk, perlindungan-Nya di bumi, dan kebijaksanaan-Nya yang menunjukkan eksistensi dan kebenaran utusan-Nya dengan petunjuk yang paling sempurna dan benar.


Pernikahan, Lembaga Sakral

KH. Maimoen Zubair menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk mulia. Kemuliaan manusia tetap terjaga ketika pertemuan laki-laki dan perempuan berlangsung dalam lembaga pernikahan. Maka dari itu, pernikahan adalah lembaga sakral yang menjaga kemuliaan manusia. Kemuliaan tersebut harus dijaga dengan sungguh-sungguh.

Menurut M. Quraish Shihab (2007), tujuan menikah adalah untuk meraih sakinah dengan mengembangkan potensi mawaddah dan rahmah. Ini adalah tujuan jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah menjalankan tanggung jawab sebagai khalifatullah untuk mengabdi kepada Allah melalui peran-peran dalam keluarga.

Keluarga yang diidamkan adalah keluarga yang dipenuhi sakinah, mawaddah, dan rahmah.

  • Sakinah adalah ketenangan, lawan dari kegoncangan.

  • Mawaddah adalah kelapangan jiwa dari niat buruk.

  • Rahmah adalah dorongan psikologis untuk memberdayakan ketika melihat ketidakberdayaan pasangan.

Dari rahmah ini, masing-masing pasangan berupaya mendatangkan kebaikan bagi pasangannya dan menghindari hal-hal yang mengganggu. Rahmat melahirkan sifat sabar, murah hati, tidak mudah cemburu, tidak egois, tidak pemarah, tidak pendendam, dan mampu menutup kekurangan pasangan. Rahmah menjadikan jiwa pasangan kuat membendung hasrat dan kebutuhan yang berpotensi menyakiti.


Nikah Sirri

Pernikahan adalah gerbang penting dalam kehidupan seseorang, dan merupakan ibadah paling panjang. Pernikahan bahagia dunia-akhirat membutuhkan komitmen total dari suami-istri dalam menghadapi dinamika kehidupan. Komitmen ini tidak cukup hanya dengan cinta, tetapi harus diikat secara resmi melalui mekanisme negara, demi mewujudkan keluarga yang berkualitas.

Negara memandang keluarga sebagai pondasi kebangkitan bangsa. Dari keluarga yang berkualitas akan lahir generasi pemimpin bangsa masa depan yang unggul.

Oleh karena itu, dalam Komplikasi Hukum Islam (KHI) ditegaskan bahwa pernikahan harus dicatatkan di KUA (Kantor Urusan Agama), tidak cukup hanya sah secara agama. Banyak kasus perempuan menjadi korban karena pernikahan hanya sah menurut fiqh, tetapi tidak secara hukum negara.

Dalam forum bahtsul masail Majlis Wakil Cabang NU Trangkil (2024) dan Margoyoso (2025), disepakati bahwa pernikahan harus dilakukan melalui institusi negara. Layanan pernikahan KUA telah tersedia di berbagai penjuru, sehingga tidak ada alasan untuk menghindarinya.

Praktik nikah sirri di masyarakat sangat beragam. Namun, banyak dilakukan oleh pasangan yang telah lama hidup bersama tanpa ikatan sah. Biasanya melibatkan wali muhakkam (orang yang ditunjuk sebagai wali oleh pasangan), tanpa tabayyun terhadap asal-usul keluarga.

Syaikh Salim bin Muhammad al-Hibsyi dalam Futuh al-Fattah, Syarhu Ihkami Ahkam an-Nikah menjelaskan bahwa wali muhakkam bisa digunakan bila tidak ada wali dan tidak ada qadhi (lembaga negara). Namun beliau menegaskan bahwa:

“Saat ini, tidak boleh mengangkat muhakkam karena komunikasi sangat mudah. Jika tidak dapat berkomunikasi dengan wali, maka negara melalui qadhi yang bertindak sebagai wali. Ini berbeda secara hukum dengan muhakkam.
(Syaikh Salim, t.t.: 202–203)

Nikah sirri sangat problematis, ikatannya lemah, dan mudah berakhir dengan perceraian. Perempuan yang cerdas tidak akan melakukan nikah sirri karena masa depan dirinya dan anak-anaknya menjadi tidak jelas.

Mencari laki-laki yang benar-benar bertanggung jawab tidaklah mudah. Maka, pernikahan harus diikat secara kokoh dalam bingkai agama dan negara. Lima pilar keluarga sakinah—yaitu:

  1. Ikatan kokoh (mitsaqan ghalizha),

  2. Berpasangan (zawaj),

  3. Interaksi harmonis (mu’asyarah bil ma’ruf),

  4. Komunikasi sinergis (musyawarah),

  5. Saling meridlai (taraadlin)

—semua itu akan kokoh jika pernikahan dilakukan secara legal baik di mata agama maupun negara.

Patuh kepada negara hukumnya wajib selama tidak pada hal yang haram atau makruh. Pernikahan resmi melalui KUA akan menjaga hak-hak perempuan dan anak, baik hak nafkah, pendidikan, sosial, hukum, dan perlindungan lainnya.

Inilah makna kaidah:

“Tasharruful imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bil maslahah”
(Kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat)

Dengan demikian, fiqh hadir untuk melindungi perempuan, agar hak-haknya terpenuhi secara utuh dan bermartabat.


*Dr. Jamal Ma’mur, M.A, Dosen Pasjasarna IPMAFA