Guru Bijak Bestari; Riwayatmu Kini

Oleh: M. Sofyan Alnashr, M.Pd.I * 

 

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku

Sebagai prasasti terima kasihku

Tuk pengabdianmu

~

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan

Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan

Engkau patriot pahlawan bangsa

Tanpa tanda jasa

(Sartono)

Lirik di atas adalah lagu ciptaan Sartono –guru musik SMP Swasta di Madiun-untuk para guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Sebuah penggambaran betapa besarnya jasa guru dalam membangun bangsa melalui pembentukan karakter anak didiknya. Dihormati siswa, orang tua, dan masyarakat di sekitarnya. Diakui peranannya dalam memperbaiki moral generasi muda, dikenang sebagai pahlawan meskipun tak memiliki tanda jasa. Itulah guru yang sebenarnya, tergerak oleh panggilan jiwanya, mendidik dengan hati dan penuh cinta.

Guru adalah orang dewasa yang memiliki kemampuan untuk mengajar atau memberikan ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, guru bukan sekadar mengajar tetapi guru ialah seseorang yang mengajar dan mendidik siswanya supaya memiliki ilmu pengetahuan dan sikap yang baik. Ia sosok yang mampu membawa siswa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa, dan dari kurang baik menjadi lebih baik.

Dalam berbagai istilah kita mengenal guru dengan sebutan Ustadz (Arab), Teacher (Inggris), Kiai (Jawa), serta sebutan lain yang memiliki padanan kata dengan guru, yaitu seseorang yang mendidik siswanya yakni orang (anak) yang sedang berguru. Karena tugas utama guru adalah mendidik, maka seorang guru wajib menguasai ilmu dan pengetahuan yang diajarkan sekaligus memahami cara menanamkan nilai dan karakter kepada siswanya. Kedalaman ilmu, keluasan wawasan, serta budi pekerti mulia menjadi syarat yang tidak boleh diwakilkan untuk menjadi seorang guru.

Guru pada hakikatnya yaitu seseorang yang mampu menanamkan nilai, menumbuhkan sikap, dan pada akhirnya mentransformasi nilai-nilai tersebut menjadi karakter dan akhlak mulia dalam diri siswa-siswanya. Nilai, karakter, dan akhlak inilah yang akan membawa anak pada pengenalan diri, pengembangan potensi, hingga pembentukan pribadi yang baik dan pada akhirnya menampilkan perilaku yang baik pula dalam kehidupan sehari-hari. Guru menjalankan pembelajaran secara profesional sekaligus mendidik siswanya dengan hati nurani dan kasih sayang. Dengan demikian maka guru yang sebenarnya menjalankan peran untuk “mendidik dengan baik dan mengajar dengan benar”.

Guru dengan Tanda Jasa

Sering kita mendengar ungkapan, “menjadi guru adalah panggilan jiwa”. Kalimat tersebut benar, namun tidak sepenuhnya tepat. Orang Jawa menyebutnya bener neng ora pener. Buktinya, banyak mereka yang saat ini menjadi guru bukan karena panggilan jiwa tetapi lebih banyak karena terpaksa. Ya, kebanyakan dipaksa oleh keadaan karena tidak adanya pekerjaan lain yang bisa didapatkan akhirnya memilih mengajar meskipun ia tahu bahwa gaji yang didapatkan tidaklah besar.

Menjadi guru bukan dari hati, tetapi lebih pada status “daripada menganggur” lebih baik ikut mengajar. Ironis memang, tapi begitulah keadaannya. Jika bukan karena terpaksa oleh keadaan, pastinya para guru honorer yang digaji jauh dari standar hidup layak bahkan sering telat berbulan-bulan akan mencari pekerjaan lain. Terlalu banyak bukti betapa mirisnya bayaran mengajar dari seorang guru honorer, baik dari berita yang berkeliaran di media massa –daring dan luring-, atau dari kisah nyata yang dapat dengan mudah kita temukan di sekitar kita. Kisah itu bisa dari saudara, teman, tetangga, bahkan tidak menutup kemungkinan adalah diri kita sendiri.

Guru memiliki tanggung jawab besar dalam meningkatkan kepribadian dan kecerdasan siswa sekaligus. Jika ada siswa yang berperilaku buruk, guru menjadi tertuduh dan dianggap tidak becus mendidik siswanya. Pun begitu dengan siswa yang masih tertinggal dalam hal kepintaran atau IQ, guru menjadi sosok yang akan disalahkan.

Menjadi guru itu berat, apalagi jika orientasinya adalah materi atau kekayaan. Agar tidak terjebak pada materi, KH. Maimoen Zubair menganjurkan supaya guru juga memiliki aktivitas lain yang menunjang kebutuhannya. Beliau mencontohkan agar guru memiliki usaha atau berdagang, dengan demikian maka mendidik siswa tidak akan mengharap balasan materi yang lebih. Karena materi atau hartanya bersumber dari berwirausaha sehingga guru akan tenang dan tanpa pamrih mendidik siswa-siswanya.

Masih ingat dengan lirik lagu yang menjadi hymne guru di atas? Tak banyak yang mengetahui bahwa lirik lagu dalam kalimat terakhir yang berbunyi, “tanpa tanda jasa” sudah diubah menjadi “pembangun insan cendekia” sejak tahun 2007.  Perubahan tersebut disaksikan oleh Dirjen PMPTK Depdiknas dan ketua PB PGRI serta diperkuat melalui surat edaran PGRI Nomor 447/Um/PB/XIX/2007 tertanggal 27 November 2007. Perubahan atas kalimat tanpa tanda jasa dianggap mengurangi pentingnya profesi guru sampai tidak ada tanda jasanya. Oleh para pemangku kebijakan kemudian diubah menjadi pembangun insan cendikia yang –menurut mereka- lebih menunjukkan peran besar seorang guru.

Tanpa adanya edaran tentang perubahan kalimat tanpa tanda jasa, pada dasarnya guru masa kini patut diakui memang berubah orientasinya dari guru dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi guru sebagai profesi an sich yang dipekerjakan secara profesional. Imbas dari ini tentu saja melahirkan guru yang berorientasi pada materi, mengharap imbalan, sehingga menjadi pahlawan dengan tanda jasa. Tanda jasa tersebut antara lain sertifikat pendidik profesional yang didapat melalui berbagai macam pelatihan dan ujian kompetensi guru, namun ujung-ujungnya hanya untuk menambah penghasilan dari tunjangan profesi dan tunjangan-tunjangan lainnya.

Harus diakui, nasib guru di Indonesia tidak seindah guru di negara maju maupun negara berkembang yang memuliakan guru. Gaji guru di negeri ini kalah jauh dari gaji guru di Finlandia, Jepang, bahkan Singapura. Apalagi guru honorer yang mengajar dan mendidik siswanya dengan tanggung jawab besar tetapi tak mendapatkan bayaran yang manusiawi. Tak ayal, banyak guru yang harus kerja sampingan dan mencari tambahan penghasilan demi untuk menghidupi keluarganya sehari-hari.

Kenyataan ini kemudian melahirkan ungkapan, “guru digaji kecil untuk memperbaiki perilaku anak, artis sinetron atau seleb medsos dibayar mahal untuk merusak moral anak”. Ini merupakan kritik atas rendahnya penghargaan terhadap guru yang berbanding terbalik dengan artis sinetron bahkan selebgram dimana adegan dan alur cerita sinetron atau konten di indonesia banyak menonjolkan konflik, kekerasan, dan tak layak tonton. Guru bekerja sangat keras untuk membangun karakter dan akhlak, sinetron beserta acara TV lainnya hadir untuk merusaknya kembali. Padahal mendidik anak merupakan tugas yang berat.

Peran yang Tak Tergantikan

Mendidik tidak dapat dilakukan oleh barang atau sekedar pengalaman. Mendidik harus dilakukan oleh “seseorang” yang memiliki akal dan nurani sehingga dalam praktiknya akan terus berkembang karena ada akal, sekaligus terjalin hubungan yang penuh keakraban dengan hadirnya nurani dalam proses pendidikan. Secanggih apapun teknologi, kehadiran guru tidak akan tergantikan oleh robot atau kecerdasan artifisial sekalipun.

Guru adalah manusia, yang dengan akal pikirannya mengajar siswa mencapai kecerdasan yang diimpikan, dan dengan nuraninya mendidik penuh cinta kasih disertai doa tulus untuk setiap siswanya. Hubungan emosional yang terbentuk dalam proses pembelajaran, memahami kondisi siswa saat ada permasalahan, memotivasi anak didiknya agar terus berkembang, hingga mendekati anak melalui spiritualitas hanya dapat dilakukan oleh guru yang manusia. Robot, AI, atau teknologi lain tidak akan mampu menggantikannya.

Teruslah mengajar guruku, jika berhenti mengajar maka dunia akan berantakan. Tetaplah mendidik guruku, karena tanpa pendidikan yang muncul adalah kekacauan. Guru, seorang bijak bestari yang paginya lebih awal dari kokok ayam dan embun pagi. Bersiap dan bergegas setiap hari menyambut kedatangan para pencari ilmu. Mendampingi, membimbing, dan memotivasi penuh kasih.

Ucapannya adalah doa, lakunya adalah teladan, ikhtiarnya tulus untuk anak didiknya. Ialah guru, seorang yang mencurahkan jiwa, raga, dan waktunya untuk pendidikan. Jasanya tak tergantikan, perannya tak terwakilkan, kebaikannya tak terhitungkan. “Guruku tercinta, tanpamu apa jadinya aku? Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal. Guruku terima kasihku… ”

 

*M. Sofyan Alnashr, M.Pd.I, Dekan Fakultas Tarbiyah IPMAFA