Gus Dur Merawat Kebinekaan

jamal-mamur“Umat Islam harus bisa menanggalkan fanatisme dan primordialitasnya. Kerja sama antarseluruh elemen bangsa lintas agama sudah menjadi keniscayaan.”

MOMENTUM Haul Ke-7 Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diperingati pada Jumat, 23 Desember 2016. Gus Dur tokoh bangsa yang pemikiran dan perjuangannya menjadi inspirasi bangsa hingga kini dalam merawat kebhinekaan.

Kebesaran Gus Dur adalah pemikiran dan wawasannya yang kosmopolit, perjuangannya menegakkan demokrasi dan hak kaum minoritas, dan relasinya yang luas kepada seluruh elemen bangsa lintas sektoral dan pergaulannya di level dunia. Momentum haul Gus Dur tahun ini seyogianya menggugah bangsa Indonesia untuk menghidupkan kembali pemikiran dan perjuangannya dalam memajukan bangsa.

Pemikiran dan perjuangan besar Gus Dur yang pertama adalah pribumisasi Islam. Doktrin Islam harus bisa berintegrasi dengan budaya lokal dengan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam kebudayaan lokal. Islam harus mengayomi kebudayaan yang lahir dan tumbuh di seluruh pelosok Nusantara.

Unsur-unsur yang bertentangan dengan Islam dihilangkan dan diberi sentuhan nilai-nilai Islam. Jumat legi dan sejenisnya adalah salah satu contoh pribumisasi Islam. Islam memelihara budaya lokal, tidak menghapusnya.

Tidak boleh Islam ala Arab diterapkan absolut di bumi Indonesia tanpa melihat budaya lokalnya. Islam harus dipahami secara substansial dan diaplikasikan dalam ranah kebudayaan Indonesia. Inilah Islam yang dipraktikkan Walisongo yang sukses mengislamkan jutaan umat manusia di tanah Jawa tanpa ada resistensi dengan budaya lokal.

Kedua, keadilan sosial. Gus Dur memperkenalkan rukun tetangga sebagai pelengkap dari rukun iman dan Islam. Banyak sekali ayat Alquran dan hadis Nabi yang memerintahkan umat Islam untuk memperhatikan nasib orang-orang lemah tertindas, seperti anak yatim, fakir miskin, dan orang-orang yang sangat membutuhkan uluran tangan orang lain.

Urusan Sosial

Ironisnya, rukun tetangga yang bertujuan menegakkan keadilan sosial ini tidak diperhatikan umat Islam. Mereka lebih sibuk pada hal-hal yang ritual dan apatis terhadap problematika sosial. Mestinya kedua berjalan secara seimbang sehingga tercapai kebahagiaan substansial.

Nabi tidak suka melihat sahabat yang hariharinya hanya diisi dengan puasa, membaca Alquran, iktikaf di masjid, dan shalat tahajud dengan melupakan tanggung jawab kepada anak dan istri yang harus dipenuhi hak-haknya. Kesenjangan inilah yang ingin dipecahkan Gus Dur dengan rukun tetangga.

Menurut Jalaluddin Rahmat yang dikutip Abuddin Nata (2013), proporsi terbesar Alquran dan hadis ada pada urusan sosial. Hal-hal yang berkaitan dengan sosial pahalanya lebih besar daripada individual. Bahkan jika urusan ibadah bersamaan dengan urusan muamalah, urusan ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (bukan ditinggalkan).

Hal ini sesuai dengan kaidah yang sering dikutip Kiai Sahal Mahfudh ‘al-muta’addi afdlalu minal qashir’, hal-hal yang berkaitan dengan kemanfaatan banyak orang lebih utama daripada individu. Ketiga, demokrasi. Menurut Gus Dur, demokrasi sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan musyawarah.

Dalam musyawarah ada kesetaraan dan kebebasan berpartisipasi tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan. Kualitas musyawarah menjadi ukuran utama dalam demokrasi, sehingga mampu menghasilkan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kaum mayoritas tidak boleh melakukan tindakan diktator dan pemaksaan kehendak yang menyimpang dari musyawarah mufakat. Keempat, persaudaraan. Tidak hanya kepada sesama umat Islam, tapi juga kepada nonmuslim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mereka semua anak-anak bangsa yang bahu-membahu membangun bangsa. Umat Islam harus bisa menanggalkan fanatisme dan primordialitasnya. Kerja sama antarseluruh elemen bangsa lintas agama sudah menjadi keniscayaan. Menurut Gus Dur, ayat-ayat yang isinya berpotensi melahirkan radikalisme harus dimaknai secara historis kontekstual.

Umat Islam harus aktif mengikuti perkembangan zaman, jangan sampai ketinggalan, sehingga mampu berpartisipasi aktif di dalamnya dan mampu mewarnai dunia ini dengan pemikiran-pemikiran cerdas, aplikatif, dan kosmopolit, bukan dengan pemikiranpemikiran sempit yang menyebabkan disharmoni dengan kelompok dan agama lain. Kelima, ekonomi kerakyatan. Gus Dur mempunyai perhatian besar terhadap pemberdayaan ekonomi rakyat.

Gus Dur bersama tokoh-tokoh lain, seperti KH MA Sahal Mahfudh, menjadikan pesantren sebagai agen pembangunan sebagai fasilitator dan katalisator pengembangan ekonomi rakyat di wilayah masing-masing. Gus Dur menggerakkan pendirian Bank Nusuma di pesantren agar mampu memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar.

Rakyat kecil harus diberdayakan ekonominya agar mereka keluar dari jurang kemiskinan dan keterbelakangan. Kelima pemikiran dan perjuangan Gus Dur di atas menunjukkan kontribusi besarnya bagi bangsa dan negara, sehingga beliau layak mendapat gelar sebagai pahlawan nasional. Semoga bangsa ini terinspirasi pemikiran dan perjuangan Gus Dur mengawal demokrasi di negeri ini. (47, 57)

Jamal Ma’mur Asmani, pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren-RMI) NU Jateng.

Sumber: Suara Merdeka