Oleh: Dr. Jamal Ma’mur, M.A.*
Momentum tahun baru hijriyah 1447 jatuh pada hari Jum’at, 1 Muharram 1447 H. Pada era Nabi, momentum hijriyah ini adalah era kebangkitan Islam. Nabi ketika di Mekkah hanya sebagai pemimpin agama. Namun ketika hijrah ke Madinah, posisinya tidak hanya sebagai pemimpin agama, tetapi juga pemimpin politik. Nabi bertanggung jawab terhadap peningkatan spiritualitas umat yang dipimpinnya, ekonominya, pendidikannya, keamanannya, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, ketika hijrah di Madinah, menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, Nabi membangun masjid dan pasar sebagai sarana ibadah, pendidikan, dan pembangunan ekonomi umat. Menurut Prof. M. Quraish Shihab, Nabi juga menggalang persatuan Islam dan persatuan lintas agama untuk saling menjaga persatuan dan kesatuan sebagai modal utama dalam pembangunan masyarakat.
Pada era sekarang, peringatan hijrah Nabi tahun ini bertepatan dengan perang terbuka antara negara Islam yang diwakili Iran dengan Israel dan Amerika Serikat yang menjadi aktor utama agresi dan ekspansi ke Palestina. Ketika Palestina tidak berdaya menghadapi Israel sehingga Gaza luluh lantak dari serangan udara dan darat, sebaliknya dengan Iran. Justru Israel yang diluluhlantakkan oleh kekuatan militer Iran dengan rudal-rudalnya yang canggih dan tepat sasaran.
Oleh sebab itu, momentum tahun hijriyah 1447 ini harus menjadi wahana refleksi, retrospeksi, dan proyeksi umat Islam dunia di tengah ancaman agresi yang mengancam kemanusiaan. Jihad keilmuan, ekonomi, politik, dan kemanusiaan harus diimbangi dengan jihad militer dengan mengembangkan senjata canggih untuk mempertahankan kedaulatan negara dari agresi negara-negara sombong yang suka menghancurkan eksistensi negara lain dengan kekuatan militernya tanpa mempunyai rasa kemanusiaan dan keadilan.
Kemerdekaan Palestina misalnya, sebagai hak asasi manusia dan bangsa, sampai sekarang hanya mimpi di siang bolong. Ini adalah realitas riil yang sangat ironis dan kontradiktif di tengah kampanye Piagam PBB yang menjunjung tinggi kemerdekaan setiap bangsa. Ini adalah ketidakadilan global yang sangat disayangkan semua pihak, khususnya umat Islam dunia.
Menuju masa depan yang adil, segala usaha harus dilakukan secara simultan dan sinergis. Secara individual, umat Islam harus berlomba-lomba meningkatkan sumber daya manusia secara akseleratif di berbagai bidang, baik ilmu maupun teknologi. Secara kolektif, institusi umat Islam harus menggerakkan perubahan fundamental dalam kurikulum pendidikan supaya mampu melahirkan pemikir, akademisi, peneliti, dan ulama besar yang menguasai banyak cabang ilmu (mutafannin) yang menggerakkan perubahan besar dalam dunia ilmu dan teknologi.
Iran mampu memproduksi secara kreatif dan inovatif teknologi persenjataan modern tidak lepas dari semangat mencari ilmu secara total. Di samping itu, dalam program nuklirnya, Iran juga bekerja sama dengan negara-negara maju, seperti Rusia. Di sinilah dibutuhkan sinergi dengan seluruh kekuatan dengan tetap memprioritaskan penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi sebagai keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda.
Dalam konteks ini, tidak relevan lagi membicarakan dikotomi ilmu dan agama. Semua ilmu berasal dari Allah, baik qauliyyah (al-Qur’an dan hadis) maupun kauniyyah (alam semesta) yang harus digali dan dimanfaatkan untuk memakmurkan bumi. Ilmu qauliyyah dan kauniyyah harus disinergikan dan diintegrasikan untuk menggapai kemuliaan dunia dan akhirat. Imam Ghazali dalam magnum opus-nya Ihya’ Ulumiddin menjelaskan, ilmu ada yang terpuji dan tercela, ada yang fardlu ‘ain (kewajiban personal) dan fardlu kifayah (kewajiban kolektif).
Dalam konteks fardlu kifayah, Imam Ghazali menyoroti pentingnya umat Islam menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan masyarakat, seperti ilmu kedokteran, arsitektur, astronomi, astrologi, matematika, dan lain-lain.
Dalam konteks sekarang misalnya, maka sangat urgen umat Islam mempelajari teknologi militer, sampai kepada penguasaan energi nuklir. Ilmu ini masih sangat langka dikaji umat Islam, sehingga umat Islam kesulitan mengembangkan teknologi militer yang berbasis nuklir. Tentu tujuannya adalah untuk membangkitkan sektor pendidikan, ekonomi, dan menjaga kedaulatan bangsa, bukan untuk perang yang menghancurkan kemanusiaan.
Prof. Qodri Azizi mendorong lahirnya fatwa yang aktif progresif. Misalnya, fatwa tentang kewajiban umat Islam mempelajari teknologi dirgantara karena isyarat al-Qur’an bahwa manusia tidak mampu menjelajahi langit dan bumi tanpa shultan (kekuatan) (Q.S. Ar-Rahman 55:33). Fatwa ini dikembangkan dengan kewajiban umat Islam mempelajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan di era sekarang dan di masa depan, seperti teknologi militer, media, intelijen, dan lain-lain.
Di samping meningkatkan jihad keilmuan, teknologi, dan ekonomi, yang mendesak disuarakan sekarang adalah menggalang jihad ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan antar sesama umat Islam). Saat ini, masing-masing umat Islam dan negara Islam sulit bersatu sehingga tidak mempunyai kekuatan dan kewibawaan dalam melakukan agenda besar. Bahkan mudah dipecah belah dan diadu domba sehingga musuh dengan mudah menghancurkan.
Membangun ukhuwwah Islamiyyah adalah perintah agama yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis yang harus diejawantahkan dalam kehidupan aktual. Persaudaraan dibuktikan dengan budaya saling bekerja sama, tolong-menolong, dan mendamaikan jika ada potensi konflik. Umat Islam tidak boleh putus asa, tapi harus terus menyuarakan dan memperjuangkan ukhuwwah Islamiyyah ini demi ‘izzul Islam wal muslimin (kemuliaan Islam dan umat Islam).
Akhirnya, tujuan Islam adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya umat Islam. Oleh sebab itu, jihad kemanusiaan adalah tujuan puncak dari Islam yang harus diperjuangkan bersama seluruh elemen masyarakat dunia lintas sektoral. Islam adalah agama yang menebarkan kedamaian, persaudaraan, dan kemajuan yang harus menghiasi setiap gerak langkahnya.
*Dr. Jamal Ma’mur, M.A, Dosen Pasjasarna IPMAFA