Bagi kebanyakan orang miskin adalah sebuah kondisi yang menakutkan dan dipandang rendah secara sosial. Pandangan demikian tercermin dalam berbagai definisi menurut perspektif yang berbeda-beda. Menurut W.J.S. Poerwadarminta, miskin berarti “tidak berharta benda atau kondisi yang serba kurang”. Definisi ini melihat kemiskinan dari aspek ekonomi dan merupakan ukuran yang paling lazim digunakan orang. Dalam perspektif yang sama The Concise Oxford Dictionary membatasi pengertian miskin (poor) dengan lacking adequate money or means to live comfortably. Pengertian agak lebih luas menyatakan bahwa miskin adalah “ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan seseorang, baik yang mencakup material maupun non-material” (Kleinpenning 1996). Dalam definisi yang terakhir ini perspektif yang digunakan tidak semata ekonomi, tetapi memasukkan aspek sosial. Jadi dalam kondisi kecukupan materi, seseorang dapat saja dikatakan miskin jika tidak mampu memenuhi hajat sosialnya.
Perbedaan spektrum pengertian tentang miskin antara perspektif ekonomi dan sosial ini patut diduga bertolak dari perbedaan konseptual tentang manusia dan perannya. Sebagaimana diketahui, dalam pandangan ilmu ekonomi (economics) manusia adalah homo-economicus, sosok atau individu yang selalu bertindak untuk memenuhi kebutuhan (need) dan kesenangannya (pleasure) melalui pemanfaatan sumberdaya yang terbatas. Motif dari tindakan tersebut dirumuskan sebagai maksimisasi (profit). Dalam pengertian ini, ilmu ekonomi memandang individu sebagai sosok yang bertindak secara rasional, tetapi terisolasi (dalam arti tidak memperdulikan orang lain). Tindakan individu ekonomi dinilai berarti jika mampu menghasilkan keuntungan, terlepas bagaimana caranya dan tidak ada urusannya dengan tindakan orang lain.
Pandangan demikian tentu berkebalikan dengan sosiologi yang mendudukan individu sebagai makhluk sosial (homo-socious), dimana tindakannya akan berarti sepanjang berhubungan dengan tindakan orang lain. Itulah sebabnya sosiologi mndefinisikan miskin sebagai “suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf hidup kelompoknya dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.” Dari pengertian ini selanjutnya miskin atau kemiskinan dibedakan menjadi dua macam, absolut dan relatif. Kemiskinan absolut adalah apabila ”tingkat pendapatan seseorang atau kelompok masyarakat berada dibawah garis kemiskinan”, atau “jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum, antara lain; kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja”. Sedangkan kemiskinan relatif adalah kondisi dimana “pendapatan seseorang yang sudah diatas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat di sekitarnya.” Di luar dua jenis kemiskinan tersebut (absolut dan relatif), ada yang menambahkan satu lagi jenis kemiskinan, yaitu kemiskinan kultural yang mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang (disebabkan oleh faktor budaya) tidak mau berurusan untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya.”
Definisi yang berbeda antara ilmu ekonomi dan sosiologi ini berimplikasi pada kiteria tentang dalam kondisi bagaimana seseorang dikatakan miskin. Ukuran-ukuran ekonomis biasanya diadopsi oleh institusi-institusi resmi. Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya, membuat kriteria miskin dengan seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita/hari. Sedangkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menetapkan ukuran miskin sebagai keluarga prasejahtera yang tidak mampu makan 2 x/hari, mengkonsumsi daging atau telur 1x/minggu, hanya mampu membeli pakaian 1x/tahun sehingga tidak memiliki pakaian yang berbeda untuk bekerja, bepergian dan keseharian, bagian terluas rumah berlantai tanah dengan ukuran kurang dari 8 m2/ orang, dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. Kriteria miskin ekonomis secara global digunakan oleh World Bank yang menyatakan bahwa kemiskinan adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US $ 1 per hari per tahun.
Sekalipun terdapat perbedaan definisi dan kriteria, baik ekonomi maupun sosiologi sepakat bahwa miskin dan kemiskinan adalah sebuah “penyakit” yang harus dihilangkan. Secara siklis kemudian disusun suatu lingkaran setan kemiskinan: pendapatan rendah (low income) – tabungan rendah (low saving) – investasi rendah (low investment) – produktifitas rendah (low productivity) – kembali ke low income dan bermura pada konsumsi yang rendah (low consumption). Program-program pengentasan kemiskinan yang digalang oleh institusi-institusi pemerintah maupun swasta berpangkal dari pandangan ini. Bahkan pemerintah setiap negara akan merasa bangga manakala laporan periodik menunjukkan angka kemiskinan semakin kecil. Di sinilah ironi, pada saat term miskin atau kemiskinan dikonversi menjadi deret angka dan grafik yang dapat dipermainkan, naik-turun. Tidak pernah terfikirkan jika miskin adalah sebuah sikap dan pilihan hidup yang menjadi keputusan sadar seseorang atau kelompok masyarakat.
Miskin sebuah pilihan? Ya! Faktanya logika sebagian masyarakat “memilih” menjadi miskin dengan motif tertentu. Di Jakarta banyak “calon artis” pendatang yang rela hidup berkoloni di kontrakan-kontrakan sempit menunggu tawaran menjadi bintang iklan, cameo, figuran atau peran apa saja dengan mengabaikan tudingan mereka bagian dari kemiskinan kota. Sosiologi mungkin menjelaskan hal ini sebagai fenomena mobilitas sosial, dimana orang-orang seperti ini meninggalkan kampungnya dengan harapan hidup lebih layak (motif ekonomi). Tetapi tetap saja resiko yang harus ditanggung (jika gagal) sangat mungkin sudah disadari dari awal. Contoh lain, gaya hidup sebagian mahasiswa (terutama di kota) yang berfoya-foya, suka mentraktir teman, menenteng gadget canggih dan mahal, adalah pilihan sadar yang dibuat demi mendapat apresiasi dari lingkungannya, sekalipun seandainya mahasiswa tersebut berasal dari keluarga yang tidak mampu. Sosiologi mengenal perilaku ini sebagai “konsumsi berlebih”. Contoh lain yang paling dekat dengan kondisi sekarang adalah “kerelaan” calon Kepala Daerah (Gubernur, Walikota, Bupati) dalam menghambur-hamburkan uang untuk menarik simpati calon pemilih dan memenangkan pertarungan di Pilkada. Apakah para calon ini bertindak sadar? Sepenuhnya mereka sadar dengan risikonya seandainya gagal, miskin!!. Tetapi dengan prinsip “resiprositas” mereka telah membuat kalkulasi tentang kemungkinan memperoleh gantinya (jika menang), entah melalui korupsi, memanipulasi proyek, atau mempergunakan jaringan kekuasaannya untuk meraup keuntungan pribadi dari kalangan pengusaha.
Contoh-contoh di atas menunjukkan, ternyata dalam perspektif yang lebih luas, kemiskinan ternyata sebuah pilihan. Di sini sebenarnya akar permasalahan terletak pada ideologi dan cara berfikir seseorang. Miskin bukan semata-mata keterbatasan akses ekonomi atau sosial. Jika dalam benak masyarakat miskin bukanlah aib, maka pendekatan ekonomi tidak akan berhasil merubah. Jika ideology seseorang menempatkan kemiskinan justru sebagai pilihan yang sadar dan terhormat, sulit untuk merubahnya. Bukankah “sebagian” ajaran agama memandang terhormat kemiskinan? Miskin memperingan hisab di akhirat, sehingga tidak ada penghalang masuk surga. Filosofi Jawa juga menyatakan: “Mangan ora mangan sing penting kumpul”.
Di sini penulis tidak bermaksud menyetujui kemiskinan (karena penulis sendiri masih belum siap miskin, bahkan jika itu sebatas menurut kriteria ekonomi). Sebaliknya, pesan paling penting adalah perlunya memperluas perspektif dalam membahas dan mengatasi kemiskinan. Kemiskinan ternyata bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga sosial, budaya bahkan agama. Wallahu a’lam.