Interaksi orang Jawa di pesisiran menghadirkan kisah silang budaya antartradisi. Interaksi antarkebudayaan lewat perdagangan, diplomasi politik, dan militer melahirkan watak kosmopolit. Terlebih jejak sejarah kekuasaan Majapahit, Demak, Cirebon, dan Banten banyak memengaruhi orang di pesisir utara Jawa untuk mengenal kebudayaan Eropa, Arab, India hingga Tiongkok.
Proses pertemuan lintas kebudayaan inilah yang menjadikan orang-orang Jawa pesisiran telah melalui tahapan ”revolusi mental”, jauh sebelum Presiden Joko Widodo menggemakan visinya. Tapi revolusi mental orangorang Jawa pesisiran ini yang kosmopolit dan terbuka terhadap interaksi lintas etnis, dipenggal oleh rezim kolonial Belanda. Kemeredupan fungsi administratif dan politik bandar-bandar laut di pesisir Jawa, turut mengendurkan interaksi lintas peradaban di kawasan ini.
Untuk itu, kajian dinamika identitas dan kebudayaan orang-orang Jawa pesisiran penting demi menguatkan konsep kebudayaan nasional, melalui visi revolusi mental. Selama ini, kajian pesisiran belum menjadi bagian penting diskursus ataupun penelitian tentang Jawa. Riset yang mengkaji Jawa dari berbagai sudut, hanya mengelaborasi sejumlah penelitian dengan struktur mental dan perspektif dari pusat kekuasaan Jawa, yakni di wilayah Jawa pedalaman: Solo dan Yogyakarta.
Menyebarnya kampus dengan jurusan penelitian sosial di dua wilayah itu, kemudian menjadi pusat diseminasi riset tentang Jawa, dengan menggunakan perspektif pedalaman. Perbedaan perspektif pedalaman dan pesisiran dalam konteks kajian Jawa, yakni terletak pada bagaimana cara memandang karakter manusia dan bahasanya.
Dalam melihat narasi tentang Jawa, perspektif pedalaman berkisar pada konteks kekuasaan yang terstruktur oleh pergesekan dengan kekuasaan kolonial. Ciri khasnya, peradaban pedalaman menghasilkan cara berpikir dan bersikap tertutup, dengan bahasa yang terformalisasi pada stigma dan strata. Adapun budaya pesisiran menjadi sintesis dari interaksi antara peradaban Jawa dan peradaban dunia lainnya, akibat hubungan ekonomi politik di wilayah pesisir, yang jadi bandar dunia. Narasi sejarah pada abad XIII-XIX membentuk perilaku yang berbeda antara orang Jawa pesisiran dan pedalaman.
Di wilayah pesisir, hubungan antara penduduk Jawa dan Tionghoa sangat kental sejak zaman Kubilai Khan pada abad XII, muhibah Cheng Ho abad XV hingga akhir abad XIX. Persinggungan dengan berbagai kebudayaan dunia, menjadi bagian penting karakter dasar orang Jawa Pesisiran hingga berdampak pada arsitektur, kuliner, dan tradisi keagamaan. Konteks Pedalaman Namun kajian tentang Jawa selama ini hanya berkutat pada mainstream pusat Yogyakarta dan Solo.
Kajian tentang Jawa, dengan berbagai sudut pandangnya: Islam, pesantren dan kajian etnik, hanya menyebut Jawa dengan konteks pedalaman. Penelitian tentang Islam Jawa (Mark Woodward; 2004) hanya memberi gambaran interaksi Islam dengan kebudayaan Jawa, yang diwariskan dari kebudayaan Hindu. Penelitian ini memberi gambaran jelas tentang peta kebudayaan dan mental orang Islam Jawa pedalaman, tetapi akan sangat berbeda jika dilihat dalam konteks pesisiran.
Sementara, tema tentang relasi orang Tionghoa dan Jawa dalam diskursus kebudayaan pesisiran belum banyak dipublikasi. Kehadiran orang Tionghoa dan Arab di Jawa berkontribusi dari persinggungan budaya, ritus keagamaan hingga pembentukan identitas. Silang sejarah dan ritual antara orang Tionghoa dan Islam Jawa, terutama muncul ketika pasukan Khubilai Khan memasuki tapal batas wilayah kekuasaan Jayakatwang di Kediri.
Dari diskursus inilah, penting untuk mengelaborasi tradisi pesisiran dalam kajian forum bersama, dari perguruan tinggi, dewan riset pemerintah hingga komunitas. Kajian Jawa pesisiran tak hanya membangkitkan seni-seni tradisi secara masif, namun juga mendiseminasi nilainilai interaksi lintas etnis sebagai bagian dari karakter mental orang pesisiran. (10)
— Munawir Aziz, pembicara dalam Jateng Art Festival, 6-7 Desember 2014, peneliti tradisi Jawa pesisiran