Tema tentang keadilan telah lama sekali menjadi pembahasan di pojok-pojok diskusi mahasiswa maupun para akademisi secara umum. Saya tertarik menulis ini kembali saat ditanya oleh salah satu mahasiswa saya ketika saya mengajar mata kuliah “Gender dan Pembangunan”. Apa yang diinginkan oleh konsep gender ini? Begitu tanya sang mahasiswa. Lalu saya menjelaskan bahwa konsep gender adalah seperangkat analisis yang hendak digunakan untuk melihat problem masyarakat yang berbasis pada perbedaan atau lebih tepatnya pembedaan gender agar terwujud relasi laki-laki dan perempuan secara adil. Sang mahasiswa pun kembali bertanya tentang bagaiman konsep keadilan dalam pendekatan gender. Inilah pertanyaan yang memantik saya untuk menuliskan tentang tema keadilan ini kembali.
Berbicara tentang keadilan dalam relasi laki-laki dan perempuan, maupuan yang lainnya tidak bisa hanya diukur dengan angka. Karena rasa keadilan adalah sesuatu yang tidak bisa diukur oleh nominal. Keadilan adalah menyangkut ketenangan jiwa, ketentraman hati antara dua belah pihak. Karena berbicara keadilan pasti menyangkut dua belah pihak. Dalam hal ini saya lebih suka memaknai keadilan secara kualitatif, yang tidak bisa diukur hanya dengan angka. Dalam hal ini saya teringat kembali dengan ajaran Islam yang sangat indah ketika menjelaskan beberapa nilai dan etika dalam berbagai situasi dan kondisi.
Ketika saya menyebut nilai Islam ini, mahasiswa semakin tidak sabar untuk mendengar penjelasan saya. Ia mulai menyela dan mengatakan Islam seringkali tidak adil lho, Bu. Saya tidak langsung menjawab komentarnya. Tetapi saya melanjutkan tentang nilai Islam yang hendak saya kemukakan di sini. Saya mendapatkan pelajaran berharga saat mengajar kitab ‘Lubabul Hadis’ kepada para santriwati. Kitab ini berisi kumupulan hadis-hadis yang menurut saya adalah landasan dasar bermualamah dan beretika. Dari sekian penjelasan dan hadis yang saya baca, saya mendapatkan kesimpulan yang sederhana dan unik. Menurut saya Islam sangat indah sekali dalam memberikan nilai-nilai dasar dalam pergaulan ini melalui yang saya sebut HARMONI. Ya, HARMONI. Apa yang dimaksud harmoni? Bagi sebagian orang justru harmoni dihindari karena itu bisa membius kesadaran seseorang hanya untuk menciptakan harmoni. Bukan itu yang saya maksud!
Harmoni adalah kemampuan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Harmoni adalah kesadaran masing-masing akan tanggungjawab yang diembannya. Harmoni adalah tidak mengambil hak dan tanggungjawab yang tidak menjadi kewenangannya tanpa ada kerelaan dari pihak yang terkait. Definisi macam apa ini? Saya tidak peduli kalian mau bilang apa tentang definisi ini. Artinya, setiap tempat di mana kita ada pada dasarnya telah digariskan nilai yang harus kita junjung tinggi. Oleh karena itu kewajiban kita adalah menegakkan nilai yang menjadi tanggungjawab kita. Tidak boleh menggeser atau menukar dengan pihak lain. Jika tidak, maka akan terjadi pergeseran yang dapat mengganggu harmoni kehidupan. Oleh karena itu kewajiban kita adalah mengenali nilai-nilai yang harus kita tegakkan. Anda sebagai rakyat, kenalilah nilai-nilainya kemudian tegakkan. Anda sebagai pemimpin, kenalilah nilai-nilai seorang pemimpin yang harus anda junjung tinggi. Anda sebagai seorang murid, pahamilah nilai seorang murid. Demikian pula sebagai seorang guru. Anda sebagai seorang laki-laki maka ketahuilah apa nilai yang harus anda lakukan sebagai seorang lelaki. Begitu pula sebagai perempuan. Dan seterusnya. Jika masing-masing dari kita mampu memahami nilai itu maka saya yakin roda kehidupan itu akan menuju pada harmoni yang indah. Uniknya, Islam telah meletakkan dasar-dasar nilai itu melalui petunjuk Nabi dalam hadis-hadisnya.
Kepada anak-anak, Nabi menjelaskan bahwa nilai yang wajib ditegakkan adalah menghormati orang tua. Maka Ia memberikan ancaman kemurkaan Allah jika seorang anak berani durhaka kepada orang tua. Sebaliknya, kepada orang tua, Nabi memerintahkan untuk menyayangi anak-anaknya dan melarang melakukan kekerasan terhadap mereka dengan cara apapun, karena anak adalah aroma surga yang dikirim oleh Allah kepada mereka. Oleh karenanya Nabi juga mengancam orang tua yang menelantarkan anak-anaknya dengan api neraka dan siksa yang pedih.
Kepada para suami, Nabi mewasiatkan untuk menyayangi istrinya dengan sebaik-baiknya dan menggaulinya dengan lembut. Sebaliknya, kepada para istri, Nabi berpesan bahwa suamimu adalah laksana tuhanmu. Andai diperbolehkan manusia bersujud kepada manusia, maka orang pertama yang berhak disujudi istri adalah suaminya. Kepada para pemimpin Nabi berpesan bahwa kebijakan seorang pemimpin hendaklah disesuaikan dengan kemaslahatan umatnya. Tetapi kepada rakyat, Nabi menjelaskan melalui wahyu yang diperolehnya bahwa ketaatan kepada pemimpin sama wajibnya dengan ketaatan pada Tuhan dan rasulnya.
Penjelasan diatas menggambarkan adanya perbedaan nilai yang diberikan oleh Nabi pada dua posisi yang berbeda. Harmoni adalah ketika kita mampu menangkap nilai tersebut sesuai dengan porsinya masing-masing. Yang salah adalah ketika satu pihak mencuri nilai pihak lain untuk menghakimi pihak terkait. Yang rusak adalah ketika terjadi penjarahan nilai dengan mengatasnamakan ketakwaan dan penegakan sunnah Nabi. Inilah awal terjadinya disharmoni.
Harmoni Sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan
Keteraturan atau harmoni yang terwujud akibat penerapan nilai yang sesuai porsinya menyebabkan tumbuhnya rasa keadilan dan ketenangan hati dari masing-masing pihak. Karena mereka mengerti apa yang harus dilakukan sekaligus mendapatkan penghargaan dan perlakuan yang manusiawi dari pihak lain. Oleh karena itu, pada dasarnya, keadilan hakiki atau keadilan kualitatif haruslah memperhatikan nilai-nilai dasar mu’amalah yang telah diberikan oleh Nabi. Dengan itu kita bisa menyaksikan kehidupan yang harmonis dan adil dalam semua lini. Saya bisa membayangkan andai seorang anak paham nilai-nilai untuk menghormati orang tua, maka betapa sayangnya orang tua kepada anaknya. Demikian pula sebaliknya, betapa hormatnya seorang anak kepada orang tua ketika mereka selalu disayang oleh orang tua mereka. Betapa mesranya hubungan suami-istri ketika suami selalu memperlakukan istrinya dengan lembut dan istri juga menyayangi suami dengan sepenuh hati. Demikian pula pihak-pihak yang lain.
Sayangnya, yang terjadi hari ini kita masih sering mendapatkan pembajakan akhlak atau nilai satu pihak atas pihak yang lain. Hadis yang ditujukan untuk istri dipakai oleh suami, akibatnya suami menjadi orang yang berperilaku kasar dan memaksa istrinya untuk tunduk laksana hamba kepada tuhannya. Di pihak lain kita dapati hadis yang menjelaskan nilai untuk murid dipakai oleh guru. Sehingga guru menjadi pendidik yang dictator dan mengancam anak-anak didiknya tidak mendapatkan keberkahan ilmu jika ia tidak mentaatinya. Atau sebaliknya, hadis yang ditujukan kepada guru dipakai oleh murid. Sehingga kita temukan banyak kasus seorang guru yang dipenjara karena diadukan oleh muridnya atas perilaku ‘tarbiyah’ yang ia tegakkan.
Fakta-fakta diatas menunjukkan bahwa masyarakat kita masih belum mampu menangkap pesan keadilan yang diberikan oleh Nabi melalui hadis-hadisnya. Mereka masih salah dalam menempatkan akhlak dan nilai yang diteladankan oleh Nabi. Nah, inilah tanggung jawab kita bersama sebagai pendidik untuk meneladankan kepada masyarakat tentang bagaimana menerapkan garis besar nilai-nilai keadilan yang telah diajarkan oleh Nabi. Agar ke depan terwujud harmoni kehidupan yang kita idamkan bersama dalam naungan keadilan yang hakiki. Wallahu a’lam bisshawab.