Oleh Jamal Ma’mur Asmani
DALAM kajian fikih wakaf ada persoalan menarik dan pernah ditanyakan teman kepada penulis. Persoalan tersebut adalah taghyirul waqfi (mengubah wakaf). Seorang teman bertanya, bagaimana hukumnya jika waqif (orang yang mewakafkan) mengubah wakaf tanahnya yang asalnya untuk kuburan diubah jadi lembaga pendidikan.
Pasalnya, sudah lima tahun tanah diwakafkan untuk kuburan tapi mendapat penolakan keras dari masyarakat sekitar.
Jika dipaksakan akan kontraproduktif terhadap tujuan wakaf. Dalam konteks ini fikih menjawab. Dalam keadaan normal, mengubah wakaf tidak diperbolehkan karena menyalahi ketentuan yang ditetapkan waqif .
Hal itu mengingat sifatnya mengikat dan otoritatif sehingga harus dipatuhi. Perubahan wakaf yang dilarang adalah yang menghilangkan nama alokasi wakaf yang telah ditetapkan waqif saat akad wakaf.
Misalnya, tanah yang diwakafkan untuk masjid, kemudian diubah menjadi mushala, madrasah, dan lain-lain. Perubahan seperti ini tidak diperbolehkan karena secara prinsip bertentangan dengan ketentuan waqif.
Perubahan yang ditoleransi dalam wakaf menurut Imam As-Subki adalah perubahan yang memenuhi tiga syarat: Pertama, perubahannya sedikit, tidak mengubah status nama wakaf.
Kedua, tidak menghilangkan fisik sesuatu yang diwakafkan. Ketiga, ada kemaslahatan yang didapatkan (Nihayatuz Zain Syarh Qurratul Ain, h.311).
Diperbolehkan
Bagaimana dalam keadaan tidak normal (darurat)? Fikih mempunyai solusi. Jika dalam keadaan darurat maka perubahan wakaf diperbolehkan.
Misalnya, lahan yang diwakafkan untuk pembangunan pesantren salaf (tradisional), namun dipastikan jika dibangun pesantren salaf tidak ada santrinya dan pesantren tersebut akan terbengkalai.
Dalam konteks ini maka boleh mengubah lahan tersebut menjadi pesantren modern, sekolah formal, dan yayasan.
Argumentasi yang diajukan adalah jika waqif tahu bahwa pesantren salaf tidak ada santrinya maka pasti waqif setuju mengubah alokasi wakaf supaya wakafnya tidak terbengkalai, tapi tetap bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Pandangan mazhab Hambali dalam hal ini lebih fleksibel, yaitu diperbolehkannya mengubah bentuk alokasi wakaf jika ada kemaslahatan.
Misalnya, wakaf perumahan bisa diubah menjadi pertokoan jika ada kemaslahatan (PP Lirboyo Kediri, Metodologi Fiqh Muíamalah, 2013:348-349). Pandangan para ulama di atas menjadi wawasan yang berharga bagi umat Islam supaya tidak berpikir kaku, tapi berpikir inklusif-kontekstual untuk kemaslahatan umat.
Di sisi lain, kajian ini sudah memberikan pelajaran kepada waqif supaya ketika mewakafkan tanahnya benar-benar melihat potensi terbesar yang ada di masyarakat, sehingga bisa memprediksi masa depan tanah wakaf.
Jika waqif tidak mengetahui prospek dan prediksi masa depan masyarakat, maka bisa bertanya kepada ahlinya sehingga ada wawasan yang cukup untuk menentukan alokasi wakaf supaya produktif dan terhindar dari kesia-siaan. Waqif juga bisa berdiskusi panjang dan dalam kepada calon nadhir wakaf yang akan diserahi untuk mengelola tanah wakaf tersebut.
Nadhir wakaf akan memberikan penjelasan dan peta potensi umat yang menjadi dasar si waqif dalam menentukan alokasi tanah wakafnya. Meskipun perubahan wakaf dalam keadaan darurat diperbolehkan, seyogianya nadhir wakaf tidak gegabah melakukannya.
Nadhir wakaf harus terlebih dahulu meningkatkan kapasitasnya untuk mengelola wakaf sesuai alokasi pertama yang disyaratkan wakif. Kreativitas dan inovasi harus terus ditingkatkan supaya alokasi wakaf tetap terus eksis dan mampu membawa perubahan positif-konstruktif bagi masyarakat luas.
Soliditas tim internal, sinergi dengan berbagai pihak, dan terus mengembangkan sayap adalah tugas nadhir dalam rangka memakmurkan wakaf sesuai syarat yang ditetapkan waqif. Perubahan wakaf adalah jalan terakhir jika usaha maksimal sudah tidak menemukan hasil.
Nadhir wakaf harus mampu membangun tim kerja yang solid, kreatif dan profesional supaya mampu membaca perubahan demi perubahan yang terjadi di masyarakat, kemudian mendiskusikan berbagai langkah antisipasi sebagai solusi dari perubahan tersebut.
Hal ini harus dilakukan karena hidup di era yang hiperkompetitif sekarang ini membutuhkan wawasan luas, kecermatan, dan daya analisis yang memadai sehingga mampu melahirkan pemikiran-pemikiran bernas dan solutif bagi kemajuan wakaf di Indonesia. (H15-14)
— Penulis adalah Ketua Program Studi Manajemen Zakat Wakaf Ipmafa Pati, penulis buku Zakat Solusi Mengatasi Kemiskinan Umat
Sumber: Suara Merdeka




