Kemaslahatan sebagai Nafas Kebijakan Publik

Oleh: Ah. Dalhar Muarif, M.E.Sy.*

Dewasa ini, Kabupaten Pati menjadi sorotan publik akibat kebijakan-kebijakan yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Salah satunya adalah kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) yang naik hingga 250% sesuai dengan Perbup No. 8 Tahun 2025 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah. Lonjakan yang drastis ini menimbulkan kegelisahan di masyarakat, terutama bagi kalangan menengah ke bawah yang terdampak langsung. Tidak hanya itu, wacana penerapan sekolah lima hari untuk SD dan SMP (mulai berlaku untuk tahun ajaran 2025–2026) juga menuai polemik. Sebagian masyarakat khawatir kebijakan tersebut akan mengurangi waktu anak-anak untuk pendidikan keagamaan nonformal seperti Madrasah Diniyah dan TPQ yang lazim dilaksanakan setelah sekolah.

Kedua kebijakan ini menunjukkan pentingnya pendekatan maslahah (kepentingan umum) dalam merumuskan kebijakan publik. Tanpa mempertimbangkan kemaslahatan rakyat secara menyeluruh, sebuah kebijakan justru bisa berbalik menjadi beban bagi masyarakat yang seharusnya dilayani dan dilindungi oleh pemerintah.

Dalam khazanah Islam, dikenal sejumlah kaidah usuliyyah (kaidah usul fikih) yang dapat menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan publik. Salah satunya adalah kaidah:

تَصَرُّفُ الإِمَام عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Yang berarti: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan.”

Kaidah ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dengan ungkapan lain:

مَنْزِلَةُ الإِمَام عَلَى الرَّعِيَّةِ بِمَنْزِلَةِ الوَلِيِّ مِنَ الْيَتِيمِ

Yang berarti: “Posisi pemimpin terhadap rakyatnya sama dengan posisi pengasuh anak yatim terhadap anak yatim asuhannya.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazha’ir)

Kaidah ini menegaskan bahwa setiap tindakan penguasa yang menyangkut kepentingan rakyat tidak boleh bertentangan dengan maslahah umum. Penyebutan “imam” dalam kaidah tersebut bukan hanya ditujukan kepada pemimpin tertinggi, tetapi juga mencakup semua orang yang memiliki otoritas seperti kepala desa, bupati, anggota parlemen, dan lain-lain. Merekalah pemegang amanah rakyat yang harus bekerja demi kemaslahatan rakyatnya.

Secara etimologis, kemaslahatan berasal dari kata ṣalāḥ yang berarti baik, manfaat, atau sesuai. Dalam konteks fikih, kemaslahatan (maslahah) merujuk pada segala sesuatu yang membawa manfaat dan menolak kerusakan (jalb al-manāfi‘ wa daf‘ al-mafāsid). Para ulama membagi maslahah menjadi tiga tingkat: Dharuriyyat (primer, berhubungan dengan hal-hal pokok), Hajiyyat (sekunder, berhubungan dengan kebutuhan manusia), dan Tahsiniyyat (tersier, sebagai pelengkap). Masing-masing berfungsi menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushulil Fiqh).

Berdasarkan kesesuaian dengan dukungan syara’, ulama ushul membagi maslahah menjadi tiga, yaitu Maslahah Mu’tabarah (yang didukung oleh dalil syara’), Maslahah Mulghah (yang bertentangan dengan syara’), dan Maslahah Mursalah (yang tidak ada dalil yang mendukung atau menolaknya). (Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul). Dalam konteks kebijakan publik, kemaslahatan harus menjadi tolok ukur utama. Sebuah kebijakan dianggap maslahah apabila memperkuat kelangsungan hidup masyarakat, menjaga hak-hak dasar mereka, serta meningkatkan kesejahteraan sosial secara menyeluruh.

Sejarah Islam mencatat banyak kebijakan yang dibuat berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Salah satunya adalah kebijakan pengumpulan mushaf Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Meski Nabi Muhammad SAW tidak menetapkan pembukuan Al-Qur’an secara resmi dalam satu mushaf, Abu Bakar mengambil kebijakan itu demi menjaga kemurnian Al-Qur’an setelah banyak penghafal Al-Qur’an gugur dalam perang Yamamah. Contoh lain adalah kebijakan Umar bin Khattab yang menghentikan pembagian zakat kepada mualaf. Umar menilai bahwa pada masa itu, Islam sudah kuat dan tidak lagi membutuhkan dukungan politik dari para mualaf. Oleh karena itu, zakat lebih baik difokuskan kepada golongan fakir miskin yang benar-benar membutuhkan. Kebijakan tersebut didasarkan pada maslahah yang kontekstual, meskipun berbeda dari praktik di masa Nabi.

Kepemimpinan yang baik dalam Islam adalah kepemimpinan yang responsif terhadap aspirasi rakyat. Prinsip musyawarah (syūrā) menjadi pijakan dalam pengambilan keputusan. Pemimpin yang demokratis tidak hanya memegang kekuasaan, tetapi juga terbuka terhadap masukan, kritik, dan saran dari masyarakat. Dalam konteks negara modern, kepemimpinan demokratis memungkinkan masyarakat ikut serta dalam proses legislasi dan pengawasan terhadap kebijakan publik. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi keadilan, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam mengontrol jalannya pemerintahan.

Kondisi demokrasi seperti ini membuka peluang bagi tegaknya amar ma’ruf nahi munkar dan membudayakan doktrin saling mengingatkan satu sama lain. Tegaknya ajaran amar ma’ruf nahi munkar dan budaya saling mengingatkan memerlukan keberanian dan kesabaran di satu pihak, serta kebesaran hati dan jiwa di pihak lain. Tampilnya penguasa yang otoriter adalah akibat tidak adanya keberanian rakyat untuk memberikan nasihat kepada mereka. Memang, tampilnya pemimpin yang kuat dan berwibawa sangat diperlukan, tetapi bukan yang ditakuti dan dibenci, apalagi yang suka memaksakan kehendak serta anti kritik. (KH. Afifuddin Muhajir, Fikih Tata Negara)

Dalam konteks kebijakan kenaikan pajak, prinsip kemaslahatan harus menjadi salah satu pertimbangan utama. Kenaikan pajak memang dapat dibenarkan jika bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Namun, besarannya harus proporsional dan tidak memberatkan rakyat, terutama golongan ekonomi lemah. Jika kenaikan pajak dilakukan secara drastis tanpa sosialisasi yang memadai dan tidak disertai peningkatan pelayanan publik yang nyata, maka kebijakan tersebut kehilangan nilai kemaslahatannya. Dalam perspektif Islam, kebijakan fiskal seperti ini harus berpihak kepada keadilan sosial dan memperhatikan kemampuan riil masyarakat sebagai wujud dari al-‘adl (keadilan) dan rahmah (kasih sayang) dalam pemerintahan.

Kemaslahatan yang dimaksud bukan hanya maslahah ekonomi, tetapi juga maslahah sosial, pendidikan, spiritual, dan lingkungan. Setiap kebijakan harus ditimbang secara komprehensif agar manfaatnya meluas dan tidak menimbulkan madharat jangka panjang. Termasuk dalam hal ini adalah perlunya dialog yang kuat antara pengambil kebijakan dan rakyat sebagai pihak yang terdampak. Maka, pengambilan kebijakan publik tidak boleh dilakukan secara sepihak atau berdasarkan kalkulasi politik semata. Ia harus melewati pertimbangan maslahah, keterlibatan publik, serta landasan moral dan spiritual yang kuat. Di sinilah pentingnya pemimpin yang memiliki visi maslahah, bukan sekadar visi kekuasaan.

Wallahu a’lam

*Ah. Dalhar Muarif, M.E.Sy., Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IPMAFA.