Oleh: Dr. Sahal Mahfudh, M.Pd.*
Alhamdulillah, pagi ini saya bisa berjalan kaki di lingkungan kampus IPMAFA Pati – Institut Pesantren Mathali’ul Falah. Meskipun hanya sebentar, dari tempat parkir menuju ruang kerja saya di belakang, Gedung Pascasarjana IPMAFA, suasananya tetap menyegarkan. Udara pagi masih bersih, pohon-pohon tinggi di sisi jalan menyambut dengan keteduhannya. Saya pun sempat mengambil gambar secara selfie—sebuah momen sederhana, namun penuh makna.
Saya teringat satu kisah tentang berjalan kaki, yang terjadi di luar kampus. Kala itu saya pergi bersama beberapa teman dosen. Mereka hendak mengantarkan saya sampai depan rumah. Tapi saya menolak. Cukup turunkan saya di gang besar saja. Saya ingin berjalan kaki.
Maka saya pun berjalan sejauh dua kilometer dari Gang Payang menuju Siman Tambahsari. Sepanjang perjalanan, beberapa pengendara motor melambatkan kendaraannya dan menawari saya tumpangan. Mereka menyangka saya tidak ada yang menjemput atau tidak punya kendaraan. Ada yang tampak iba. Padahal saya hanya ingin menikmati waktu, menapaki bumi, dan menyatu dengan irama langkah saya sendiri—sambil, tentu saja, menanam ayat-ayat di setiap bumi yang saya pijak.
Di Negeri yang Terburu-Buru
Di negeri yang semakin terburu-buru ini, berjalan kaki menjadi sesuatu yang asing. Ia sering dipersepsikan sebagai “pilihan terakhir”—karena kendaraan rusak, ongkos habis, atau tidak ada alternatif lain. Seolah-olah, berjalan kaki hanya dilakukan karena terpaksa. Padahal, jalan kaki bukan hanya soal berpindah tempat. Ia adalah pilihan hidup yang sarat makna, yang menghubungkan kita dengan tubuh, dengan bumi, dan dengan kesadaran diri.
Jalan Kaki: Potret Mobilitas dan Budaya
Menurut riset Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) tahun 2021, kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung masih minim fasilitas ramah pejalan kaki. Trotoar sempit, tidak aman, dan sering diserobot pedagang kaki lima atau parkir liar. Padahal, sekitar 30% penduduk Indonesia mengandalkan jalan kaki sebagai moda utama menuju tempat kerja atau sekolah—terutama di wilayah pedesaan dan pinggiran kota.
Namun, secara budaya, kita belum menempatkan jalan kaki sebagai gaya hidup atau bentuk kecerdasan ekologis. Di banyak lingkungan sosial, pejalan kaki masih dianggap sebagai “orang yang tidak mampu”, “tidak punya kendaraan,” atau bahkan sebagai simbol ketidakberdayaan. Inilah stigma yang harus kita luruskan.
Manfaat Jalan Kaki yang Sering Dilupakan
Berjalan kaki secara rutin sebenarnya menyimpan banyak manfaat:
-
Kesehatan Fisik
WHO mencatat bahwa berjalan kaki 30 menit sehari dapat menurunkan risiko penyakit jantung hingga 19%. Selain itu, ia membantu menjaga berat badan, memperkuat otot dan tulang, serta menjaga kesehatan sendi. -
Kesehatan Mental
Jalan kaki merangsang produksi endorfin dan serotonin—dua zat kimia otak yang meningkatkan suasana hati dan mengurangi stres. Langkah demi langkah menjadi ruang sunyi untuk merenung, berpikir, bahkan berdoa dalam diam. -
Koneksi Sosial dan Spiritual
Jalan kaki membuka kemungkinan bertemu orang, menyapa tetangga, mengamati kehidupan sekitar. Ia menghubungkan bumi dan langit. Dalam sunyinya, kita belajar bahwa kita kecil—namun merupakan bagian dari sesuatu yang besar.
Kampus dan Budaya Jalan Kaki
Berjalan kaki adalah bentuk perlawanan lembut terhadap dunia yang serba cepat. Ia adalah seni memperlambat. Ketika dunia menuntut kita terus berlari, jalan kaki menjadi semacam zikir. Langkah demi langkah mengingatkan kita pada hakikat hidup, dan mengajarkan kita untuk menghayati detik-detik yang kerap terlewat begitu saja.
Saya percaya, kampus seperti IPMAFA—yang dibangun dengan ruh pesantren dan nilai-nilai spiritual—layak menjadi ruang yang menghidupkan budaya jalan kaki. Karena pejalan kaki bukan sekadar sedang berpindah tempat, tetapi sedang melatih jiwa: untuk bersabar, untuk awas, dan untuk bersyukur.
*Dr. Sahal Mahfudh, M.Pd., Dosen Pascasarjana IPMAFA