Kontroversi Tempat Hiburan di Pati

Oleh Jamal Ma’mur Asmani

Jamal-makmurPenutupan kafe, salon, dan tempat hiburan lain, termasuk karaoke, berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan di Kabupaten Pati menimbulkan kontroversi.

Perda ini mengatur jarak tempat itu dengan permukiman dan fasilitas umum (tempat ibadah, rumah sakit, sekolah, dan perkantoran) sejauh 1 km. Selain itu memberi toleransi waktu 2 tahun kepada pengusaha tempat hiburan itu untuk melaksanakan perda tersebut. Tapi setelah masa toleransi itu berakhir, pengusaha karaoke justru mengajukan permohonan uji materi perda itu ke Mahkamah Agung (MA).

Bupati beserta aparat penegak hukum dengan dukunganNU, Muhammadiyah, dan sebagainya tetap akan menegakkan aturan tersebut. Pati sebenarnya juga Kota Santri karena memiliki banyak pesantren.

Di utara tersebar banyak pesantren dengan Kajen sebagai poros, di selatan dengan poros Trimulyo Kayen, di tengah dengan poros Raudlatul Ulum, di barat dengan poros Gembong, dan di timur dengan poros Lengkong.

Pati juga dikenal dengan jumlah lembaga pendidikan keagamaan terbesar di Jawa Tengah dengan banyak jumlah siswa-siswi. Banyaknya pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan menggambarkan religiositas masyarakat Pati.

Watak religius inilah yang melahirkan banyak tokoh nasional dari Pati, antara lain KH MA Sahal Mahfudh al-maghfurlah. Realitas inilah yang membuat umat Islam Kabupaten Pati keberatan dengan keberadaan tempat hiburan yang di dalamnya terdapat banyak kemungkaran.

Mengubah kemungkaran dengan kekuasaan menjadi tanggung jawab penguasa (eksekutif dan legislatif) dan aparat penegak hukum. Mengubah kemungkaran dengan lisan adalah tanggung jawab ilmuwan dan tokoh agama/ masyarakat, dan mengubah kemungkaran dengan hati adalah tanggung jawab masyarakat.

Tiga kekuatan ini bila digabung menjadi kekuatan besar yang sangat efektif untuk menghilangkan kemungkaran. Di Kabupaten Pati, sinergi dan kerja sama tiga elemen utama tersebut terjalin dengan baik dalam hal penertiban tempat hiburan yang disalahgunakan untuk pornografi dan pornoaksi yang mengarah ke hal-hal negatif.

Fondasi Kebangkitan

Menurut analisis Ade Armando (2002), AS bisa maju sebagai negara adidaya bukan karena free sex-nya melainkan karena budaya positifnya yang dibangun sejak dulu, yaitu menghargai waktu, disiplin, menghargai moral, dan kompetitif.

Menurut M Nuh (2013), negara-negara maju melesat meninggalkan negara berkembang dan terbelakang disebabkan golden culture, yaitu penelitian dan pengembangan yang dilakukan terus-menerus yang menentukan kemajuan bangsa, namun tak terlihat di mata publik.

Keberadaan Perda Penyelenggaraan Kepariwisataan yang didukung oleh eksekutif-legislatif, tokoh agama dan masyarakat, adalah dalam rangka menghindari pop culture yang mengancam masa depan Pati. Perda itu untuk menumbuhkan golden culture sebagai fondasi kebangkitan.

Pengusaha tempat hiburan seyogianya memahami latar belakang dan alasan penolakan masyarakat Pati yang religius terhadap keberadaan tempat hiburan. Keuntungan materi sebesar apa pun jika merusak moralitas bangsa akan menghancurkan keberkahan hidup.

Mungkin tempat hiburan yang identik dengan tempat transaksi seksual ini bisa ditoleransi di negara lain. Tapi untuk Indonesia, terlebih Pati, hal itu kontradiksi dengan budaya yang dilestarikan nenek moyang sejak zaman dulu.

Misalnya masyarakat Margorejo yang diwawacarai penulis merasa gerah dengan status sebagai ”desa karaoke”. Pasalnya ketika berkunjung ke rumah saudara, mereka dicibir dengan stigma negatif tersebut. Jika Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini bisa menutup lokalisasi Gang Dolly, Bupati Haryanto pasti bisa menutup kafe dan tempat hiburan lain yang disalahgunakan untuk hal negatif.

Menjadi tanggung jawab kepala daerah untuk konsisten menegakkan perda dan tidak goyah terhadap godaan, ancaman, dan sejenisnya. (10)

— Dr Jamal Ma’mur Asmani, warga Pati