Para aktivis Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial (PUSAT FISI) kembali berdiskusi mengelaborasi fiqh sosial dan pemikiran Kyai Ali Yafie dengan bukunya “Menggagas Fiqh Sosial” (Senin, 17/4/2017). Dalam diskusi putaran ketiga ini tema yang dibahas menyoroti “Sejarah Perkembangan Fiqh di Indonesia”.
Dalam konteks fqih di Indonesia, tidak akan telepas dari pembahasan masuk-berkembangnya Islam dan pesantren. Menurut KH. Abdurrahman Wahid (2010:221-231), tradisi keilmuan di pesantren bersumber dari dua gelombang, 1) gelombang Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13M dengan corak “Fiqh Sufistik” yang sangat memprioritaskan sufisme dalam pengamalan dan kehidupan. 2) ketika para ulama nusantara mulai menimba ilmu di semenanjung Arabia khusunya Hijaz pada abad ke-19 M yang merupakan cakrawala baru dimana Islam dipelajari secara tuntas dalam ilmu intinya (Fiqh, Tasawuf, Akidah), dan ilmu bantunya (sastra Arab, Mantiq, dll).
Kedua gelombang ini menjadi embrio yang mempengaruhi pola ber-fiqh umat muslim di Indonesia. Hal ini berdasarkan fakta bahwa pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan keislaman yang sudah menyebar hampir di semua daerah di Indonesia. Ada yang ber-fiqh dengan pola tekstual, dan di satu sisi juga ada yang berpola kontekstual.
Kyai Sahal Mahfudh dan Kyai Ali Yafie mengkritik Pola ber-fiqh yang sangat tekstual, rigid, dan eksklusif yang memprioritaskan pandangan akhirat secara absolut, dan mengesampingkan kepentingan duniawi yang dipraktekkan oleh sebagaian golongan umat Islam di Indonesia. Seharunsya keduanya dipandang dengan ukuran yang seimbang demi mencapai kemaslahatan dan sa’adatuddaraini atau kebahagiaan dunia akhirat.
Maka, pembacaan turots, pendalaman keilmuan islam, harus dilakukan secara menyeluruh. Selain itu, mobilisasi dan pergaulan dengan berbagai kalangan akan membantu dalam mencapai keterbukaan pemikiran serta bijaksana dalam menyikapi perbedaan.