Oleh: Jamal Ma’mur Asmani[2]
Fatwa di era globalisasi dengan kompleksitas problem yang ada tidak bisa disamakan dengan fatwa era klasik. Revolusi informasi dan komunikasi yang berjalan dengan cepat yang menjadi ciri utama globalisasi mengharuskan seorang mufti untuk cepat merespons masalah yang terjadi dengan melakukan analisis komfrehensif, merancang dan merumuskan draf fatwa, dan menetapkan fatwa dengan mempertimbangkan kemaslahatan substansial (maslahah muhaqqaqah) yang ditimbulkan. Di sinilah pentingnya menggagas metode fatwa inovatif yang diharapkan mampu memberikan fatwa solutif dan kontekstual. Menurut KH. Ma’ruf Amin, fatwa harus berpijak kepada teks dan kemaslahatan. Fatwa tidak boleh hanya berpijak kepada teks secara rigid karena al-jumud ala al-manqulati dlalalun fi al-din wa jahlun bi maqashidi ulama al-salaf, mengambil teks secara rigid adalah kesesatan dalam agama dan bodoh terhadap tujuan ulama masa lalu. Fatwa juga tidak boleh bersifat permisif, yakni memperbolehkan segala hal (liberal) dengan dalil mempermudah (tasahuli).[3] Moderasi teks dan konteks menjadi metode ideal sebuah fatwa menurut KH. Ma’ruf Amin supaya fatwa mampu merespons persoalan yang terjadi.
Menurut M. Jusuf Kalla, dalam mu’amalat, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, berarti hukumnya halal. Mu’amalat yang diharamkan adalah mu’amalat yang ada unsur riba, spekulasi, dan judi. Ekonomi Islam terdiri dari tiga aspek, yaitu bisnis (99%), keuangan, dan investasi. Supaya ekonomi Islam berkembang, dibutuhkan dua langkah. Pertama, menggaet para pengusaha sebagai partner utama lembaga keuangan syariah. Kedua, menerapkan sistem ekonomi yang maju supaya bisnis pengusaha maju. Pengusaha tidak melihat formalitas sistemnya, tapi kualitas sistemnya apakah bisa memajukan dunia usaha atau tidak. Hukum pengusaha adalah lebih baik, lebih cepat, dan lebih murah. Oleh sebab itu, hukum syariah di bidang ekonomi harus kompetitif, tidak hanya menggantungkan hukum formalnya, tapi harus menampilkan sistem yang lebih berkualitas. Ekonomi Islam juga harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan bumi nusantara, sehingga tidak ada kesan bahwa ekonomi syariah adalah ekonomi Timur Tengah, seperti proses masuknya Islam di Indonesia yang menggunakan strategi kebudayaan lokal sehingga bisa diterima masyarakat Indonesia dan akhirnya dikenal dengan nama Islam Nusantara, bukan Islam Timur Tengah.[4] Peluang ekonomi syariah di masa depan sangat besar. Negara ke depan akan serius mengembangkan pariwisata syariah, fashion show syariah, dan multi media syariah, sehingga ekonomi Islam seyogianya bergerak ke sana dengan perencanaan dan realisasi yang profesional.[5] Ekonomi Islam harus mampu mewarnai pembangunan bangsa ini dengan peran-peran yang besar di berbagai aspek kehidupan. Sejarah ekonomi Islam telah melalui proses yang sangat panjang sejak tahun 1991 dengan pendirian Bank Mu’amalat, tahun 2000 dengan adanya Bursa Islamic Index, dan ke depan akan banyak inovasi yang lahir. Maka ke depan, ekonomi Islam harus lebih didayagunakan.[6]
Negara, termasuk di dalamnya OJK (Otoritas Jasa Keuangan) mendorong anak bangsa ini berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional. Asas equity participation dalam konteks menanam saham sangat ditekankan. OJK sudah merintis ada program ventura sebagai akses pembiayaan bagi pengusaha pemula. Dengan ventura, seorang yang baru lulus sarjana juga bisa menanam saham dengan modal 100 ribu saja. Gerakan 1 juta investor ini terus diupayakan, termasuk dengan kampanye investasi online.[7] Beberapa perkembangan terakhir ekonomi syariah di atas menjadi kabar gembira bagi penggiat ekonomi syariah untuk serius mengembangkan potensinya di berbagai bidang supaya mampu market leader di masa depan. Dalam konteks fatwa, maka perkembangan di atas harus disikapi secara dinamis dan responsif untuk melahirkan fatwa yang inovatif.
Seorang mufti atau ulama mempunyai tugas agung. Pertama, menjelaskan kepada public bahwa perbankan syariah adalah aplikasi dari fiqh muamalah maliyah yang menjelaskan bagaimana manusia berhubungan dengan harta, ekonomi, bisnis, dan keuangan. Kedua, mengembalikan masyarakat kepada fitrah alam dan usaha syariah, khususnya dalam pertanian, perdagangan, investasi dan perkebunan yang jauh dari budaya riba atau bunga. Ketiga, meluruskan fitrah bisnis yang rusak yang dijalankan tanpa etika dan norma hokum. Keempat, menyelamatkan perekonomian bangsa dengan pengembangan sosialisasi perbankan syariah. Ketika bank-bank mengalami negative spread atau keuntungan minus akibat bunga yang dibayar lebih tinggi dari bunga yang di dapat, maka perbankan syariah tidak mengenal negative spread karena berbasis keadilan dan profit sharing. Dalam konteks ini, seorang ulama harus menyerap aspirasi dan kebutuhan finansial umat untuk dirumuskan bersama manajemen perbankan syariah dan melakukan sosialisasi haril rumusan produk tersebut kepada publik secara obyektif.[8] Tugas besar di atas harus diemban oleh mufti dengan sungguh-sungguh sebagai manifestasi dari jihad kontemporer di bidang ekonomi yang sangat menentukan kebangkitan umat di bidang yang lain.
Beberapa kaidah fatwa inovatif
Melahirkan fatwa inovatif dibutuhkan pondasi yang kokoh. Salah satu pondasi yang kokoh adalah beberapa kaidah fikih yang krusial dikembangkan pemahaman dan cakupannya. Di antara kaidah fikih tersebut adalah:
Pertama, ma la yudraku kulluhu la yutraku julluhu, kulluhu, ba’dluhu, apa yang tidak ditemukan semuanya tidak boleh ditinggalkan terbesarnya, seluruhnya, sebagiannya. Seperti dalam kasus zakat harta yang sudah mencapai satu nishab, tapi sebagian hartanya ada pada orang lain. Maka, harta yang ada itulah yang wajib dikeluarkan zakatnya terlebih dahulu.[9]
Kedua, al-‘ibratu fil ma’ani la fi al-mabani, parameter utama adalah substansi, bukan bangunan formalitasnya. Jika ada perbedaan antara maksud dan lafadz yang diucapkan si pembuat akad, maka yang menjadi pegangan adalah maksudnya selama dapat diketahui. Jika ada orang memberi barang dengan syarat pembayaran barang tersebut, maka akad tersebut adalah akad jual beli, bukan akad pemberian.[10]
Ketiga, yassiru wala tu’assiru, permudahlah dan jangan mempersulit. Syariat Islam diturunkan untuk mempermudah dan meringankan (taisir wa takhfif), bukan memperberat dan memperulit (tasydid wa ta’shir). Syariat Islam bertujuan menghilangkan kesulitan (raf’u al-haraj) sebagaimana dijelaskan al-Qur’an dan sunnah. Orang alim menurut Imm Tsauri adalah orang yang menjaga keringanan dan kemudahan pada hamba Allah sebagai syarat agama dan ilmunya dipercaya.[11]
Keempat, ‘adamu al-‘ashabiyyah fi al-madzahib, tidak ada fanatisme dalam bermadzhab. Bebas dari fanatisme madzhab sangat penting. Implikasi dari kaidah ini adalah seseorang tidak boleh berpegangan kepada pemikiran seseorang tanpa dalil yang kuat yang selamat pertentangan. Di samping itu, seseorang haru mampu melakukan tarjih di antara pendapat yang berbeda dan bertentangan dengan melihat kekuatan naqal dan akal untuk memilih pendapat yang lebih dekat dengan nash syara’, lebih dekat dengan tujuan syara’, dan lebih utama menegakkan kemaslahatan makhluk. Bagi orang yang mempunyai kemampuan memahami bahasa arab, memahami tujuan syariat secara universal, dan mengkaji karya tafsir, hadis, dan perbandingan madzhab, maka tidak sulit melakukan tarjih ini. Selain itu, ia harus mampu melakukan ijtihad juz’i, artinya melakukan ijtihad dalam satu kasus, meskipun belum ulama terdahulu yang memberikan hukum. Hal ini dilakukan dengan memasukkannya di bawah keumuman nash yang tetap, diqiyaskan dengan masalah yang serupa, atau memasukkan ke dalam istihsan atau maslahah mursalah atau yang lain. Pendapat bolehnya ijtihad juz’i adalah pendapat shahih yang disepakati oleh ulama muqaqqiq.[12]
Kelima, dar’u al-mafasid wa jalb al-mashalih, menolak kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan. Misalnya, perbankan syariah mengalami likuiditas yang disebabkan oleh perbedaan jangka waktu antara penerimaan dan penanaman dana atau kelebihan likuiditas yang terjadi karena dana yang dihimpun belum dapat disalurkan kepada pihak yang membutuhkan. Dalam hal ini, demi peningkatan efisiensi dana, maka bank melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang membutuhkan pasar uang antar bank (PUAS) berdasarkan prinsip syariah. Adanya instrument PUAS adalah wujud kaidah ini.[13]
Keenam, al-ashlu fi al-‘ibadah al-tahrim illama dalla al-dalilu ‘ala ibahatiha, wa al-ashlu fi al-mu’amalati al-ibahah illa ma dalla al-dalilu ala tahrimiha, hokum asal ibadah adalah haram kecuali yang diperbolehkan, sedangkan hukum asal mu’amalat adalah boleh kecuali yang dilarang.
Berdasarkan kaidah ini, maka simpanan giro diperbolehkan dengan dasar prinsip mudlarabah dan wadiah. Demikian juga dengan hukum tabungan, deposito, dan lain selama tidak ada unsur gharar dan ketidakjelasan yang sifatnya untung-untungan, seperti judi atau tidak mengandung riba.[14]
Ketujuh, al-masyaqqatu tajlib al-taisir, kesulitan mendatangkan kemudahan. Berdasarkan kaidah ini, maka pada jual beli istishna’ yang dilakukan LKS umumnya bersifat pararel, yaitu sebuah bentuk akad istishna’ antara nasabah dengan LKS, kemudian LKS memerlukan phak lain sebagai shani’ (pembuat) pada obyek yang sama untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah, karena LKS kesulitan membuat atau menyiapkan barang yang menjadi tanggungjawabnya kepada nasabah.[15]
Kedelapan, kullu qardlin jarra manfaatan fahuwa riba, setiap utang-piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang/muqridl) adalah riba. Contohnya adalah LKS, di samping sebagai lembaga komersial, harus juga berperan sebagai lembaga social yang mampu meningkatkan perekonomian umat secara maksimal dalam bentuk misalnya qardl, yaitu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan nasabah harus mengembalikan dana yang diterima kepada LKS pada waktu yang disepakati. Di sini LKS tidak boleh mengambil keuntunagn/ bunga, tapi nasabah boleh dibebankan biaya administrasi.[16]
Kesembilan, al-‘adatu muhakkamah, kebiasaan dijadikan sumber hokum, al-tsabitu bil ‘urfi ka al-tsabiti bi al-syar’i, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan sama dengan sesuatu yang ditetapkan berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syara’). Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku yang membawa manfaat, selama tidak bertentangan dengan syara, seperti jual beli, sewa menyewa, kerjasama pemilik sawah dengan penggarapnya, dan lain-lain adalah dasar hokum, sehingga ketika terjadi perselisihan, maka solusinya dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku. Sedangkan kebiasaan yang bertentangan dengan syara’, seperti suap menyuap, disajikannya minum-minuman keras dan sarana perjudian dalam pesta, dan lain-lain, maka tidak boleh dijadikan dasar hokum.[17]
Kesepuluh, ainama wujidat al-maslahah fatsamma hukmullah, di mana ada kemaslahatan, maka di sana terdapat hukum Allah. Misalnya dalam system pencatatan dan pelaporan akuntansi keuangan. Dalam system pencatatan dikenal prinsip akuntansi yang mengharuskan pengakuan biaya dan pendapatan pada saat terjadinya (cash basis), dan prinsip akuntansi yang memperbolehkan pengakuan iaya dan pendapatan didistribusikan pada beberapa periode (accrual basis), maka kedua system tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan dan pada dasarnya boleh digunakan untuk kebutuhan distribusi hasil usaha dalam LKS karena mendatangkan kemaslahatan.[18]
Kaidah-kaidah lain bisa terus dikembangkan agar mampu merespons tantangan ekonomi syariah yang semakin kompetitif dan produktif.
Alur Metode Fatwa Inovatif
Alur metode fatwa inovatif adalah sebagai berikut:
- Menangkap dan memahami problem serius yang terjadi di berbagai aspek, khususnya di perbankan syariah dan ekonomi Islam pada umumnya.
- Memberikan tawaran solusi dari problem serius dengan memperhatikan norma agama yang dimulai dari : maqasidus syariah, teks al-Qur’an dan hadis, qawaid ushuliyyah dan fiqhiyyah, aqwal al-ulama, dan qaul jadid jika diperlukan.
- Jika teks normatif tidak membolehkan tawaran solusi yang diberikan, maka harus dikaji dan diteliti secara matang dengan cara membuang aspek-aspek yang menjadikannya haram/ dilarang dan memasukkan hal-hal yang diperbolehkan dengan tetap mengaju kepada peningkatan ekonomi umat.[19]
- Menyusun rancangan pengembangan ekonomi syariah dalam bentuk rancangan undang-undang supaya masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional).
- Memanfaatkan peluang dengan cepat untuk mengembangkan ekonomi syariah sesuai dengan rancangan undang-undang yang sudah disahkan menjadi undang-undang. Jangan sampai rancangan yang dibuat dan sudah menjadi undang-undang dimanfaatkan oleh pihak lain yang kurang bertanggungjawab bagi eksistensi dan dinamisasi ekonomi syariah.
Aplikasi Fatwa Inovatif dalam Perbankan Syariah
Adiwarman Karim menyampaikan beberapa gagasan untuk meningkatkan peran perbankan syariah. Pertama, problem likuiditas syariah yang tidak mampu membiayai infra struktur diselesaikan dengan cara: a. dana-dana sukuk pemerintah ditempatkan di perbankan syariah. b. perbankan syariah menerbitkan sukuk haji yang dibeli sukuk haji. Kedua, problem batas maksimal pemberian keuangan bagi perbankan syariah (BSM hana 62 T) diselesaikan dengan cara: a. OJK dan BI menerbitkan regulasi supaya dana haji dijadikan sebagai tirtu yang bisa dijadikan modal jangka panjang. b. menerbitkan sukuk ordinasi. Ketiga, mengembangkan produk-produk finansial baru, seperti sukuk dan kombinasi produk-produk baru yang lain supaya jenisnya beragam dan diterbitkan secara berkala dan kontinu.[20]
Merespons tarawan pemikiran Adiwarman di atas, fatwa harus benar-benar mampu memahami problem riil yang dialami perbankan syariah dan membuat fatwa yang melegitimasi langkah-langkah yang dilakukan sebagai legitimasi agama yang sangat besar pengaruhnya bagi bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam. Asalkan tidak terjebak dalam riba, judi, dan spekulasi, maka akad seharusnya diperbolehkan, bahkan didorong untuk dilakukan supaya ekonomi syariah menjadi motor penggerak kemajuan ekonomi nasional dan dunia. Fatwa dalam konteks ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber legitimasi agama, tapi juga sebagai motivator dan inspirator ekonomi nasional dan dunia.
Penutup
Metode fatwa inovatif di atas hanyalah lontaran pemikiran yang harus dikembangkan dan dimatangkan supaya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan bisa menjawab tantangan stagnasi ekonomi syariah di negeri ini supaya ekonomi syariah di negeri ini bisa menjadi the next leader of Islamic economy. Mufti dan calon mufti harus benar-benar memahai denyut nadi perekonomian nasional dan dunia dengan berbagai kompleksitas problemnya, kemudian ikut berpartisipasi untuk menyelesaikan problem tersebut dengan fatwa-fatwa inovatif yang mampu membangkitkan semangat ekonomi syariah di berbagai sector, baik di bidang bisnis, lembaga keuangan dan investasi.
Mufti, selain menguasai fiqh mu’amalat, juga harus menguasai perekonomian modern yang aplikatif, sehingga cepat menangkap problem yang ada dan meresponnya dengan khazanah keilmuan Islam yang memadai. Semangat belajar seorang mufti harus terus ditingkatkan sehingga tidak jemu mengikuti perkembangan informasi dan pemikiran kontemporer yang ada. Semangat inilah yang akan melahirkan inovasi pemikiran sebagai terobosan penting dalam dunia ekonomi yang bersifat hiperkompetitif. Secara institusional, hal ini memang bisa dijembatani dengan ijtihad jama’i dengan mendatangkan seluruh pakar lintas disiplin ilmu. Meskipun demikian, jika masing-masing person dalam ijtihad jama’i tidak proaktif mengembangkan potensinya atau welcome terhadap wawasan dari disiplin ilmu yang berbeda, maka ijtihad jama’i tidak bisa berjalan dengan baik. Semangat belajar tinggi tetap diperlukan.
[1] Goresan pena dalam diskusi CSIF (The Center of Syariah Banking Fatwa) Staimafa, Kamis, 4 Juni 2015
[2] Peneliti CSIF Staimafa
[3] Disampaikan dalam penutupan Seminar Ekonomi Islam dan Muktamar III IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) di Gd. Dhanapala, Kementerian Keuangan RI, 30 April 2015
[4] Disampaikan dalam pembukaan Seminar Ekonomi Islam dan Muktamar III IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) di Gd. Dhanapala, Kementerian Keuangan RI, 30 April 2015
[5] Menteri Perencanaan dan Bappenas, disampaikan dalam Seminar Ekonomi Islam dan Muktamar III IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) di Gd. Dhanapala, Kementerian Keuangan RI, 30 April 2015
[6] Bambang Brojonegoro, Ketua Umum IAEI dan Menkeu, disampaikan dalam pembukaan Seminar Ekonomi Islam dan Muktamar III IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) di Gd. Dhanapala, Kementerian Keuangan RI, 30 April 2015
[7] Muliaman D. Hadad, disampaikan dalam pembukaan Seminar Ekonomi Islam dan Muktamar III IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) di Gd. Dhanapala, Kementerian Keuangan RI, 30 April 2015
[8] M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2010, cet. 16, h. 237-239
[9] Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, h. 144-145
[10] Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, h. 134
[11] Yusuf al-Qaradlawi, Fatawa Mu’ashirah, Juz 1, Kuwait: Dar al-Qalam, 2005, cet. 11, h. 11-13
[12] Yusuf al-Qaradlawi, Fatawa Mu’ashirah, Juz 1, h. 10-11
[13] Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, h. 133-134
[14] Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, h. 128
[15] Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, hlm. 131
[16] Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, h. 130
[17] Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, h. 132
[18] Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, h. 129
[19] Pengalaman penulis ketika mengikuti bahtsul masail MWCNU Trangkil tentang hukum BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) terjadi perdebatan panjang karena dalam prakteknya ada unsur spekulasinya, yaitu pembayaran premi setiap bulan, dan ada unsur sosialnya, yaitu meringankan beban masyarakat dalam berobat, khususnya bagi kalangan tidak mampu. Akhirnya diputuskan BPJS termasuk ta’min ijtima’i ta’awuni (asuransi sosial, bukan asuransi komersial) dan premi yang dibayarkan diniati sedekah kepada orang lain. Baca dalam buku Hasil Bahtsul Masail Ad-Diniyyah An-Nahdliyyah MWCNU Trangkil Pati tahun 2004-2015, Pati: MWCNU Trangkil, 2015, h. 74-79
[20] Disampaikan dalam Seminar Ekonomi Islam dan Muktamar III IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) di Gd. Dhanapala, Kementerian Keuangan RI, 30 April 2015




