Moh. Mahfud MD[2]
Pimpinan Institut Pesantren Mathaliul Falah (IPMAFA), seperti tergambar dalam ToR yang dikirimkan kepada saya, mengajak kita mencari sebab dan mengurai benang kusut korupsi yang sekarang terjadi di Indonesia. Salah satu pertanyaan yang melandasi topik diskusi ini muncul dari apa yang pernah saya katakan di media massa bahwa perguruan tinggi telah gagal mendidik (membangun watak dan otak) meskipun tidak gagal dalam mengajar (transfer of knowledge untuk otak). Buktinya, sekitar 95% koruptor di Indonesia melibatkan lulusan perguruan tinggi atau pernah belajar di perguruan tinggi.
Di dalam ToR disebutkan juga bahwa Ketua DPR-RI Marzuki Ali ketika itu (2012) mengatakan hal yang sama bahwa korupsi-korupsi di Indonesia dilakukan oleh para lulusan perguruan tinggi. Panitia menyoal pernyataan saya tersebut sebagai hal yang mungkin perlu dipertanyakan, sebab meski mayoritas koruptor berasal dari lulusan perguruan tinggi tak selalu harus diartikan bahwa perguruan tinggi gagal mencetak intelektual atau perguruan tinggi tersebut menjadi pabrik koruptor. Pernyataan saya tersebut bisa benar dan bisa salah. Benarkah perguruan tinggi kita gagal dalam melaksanakan misinya untuk mendidik intelektual?
Masalahnya memang kompleks
Bagi saya jawabannya sederhana Pernyataan bahwa perguruan tinggi gagal melaksanakan pendidikan dan menjadi pabrik koruptor adalah salah . Saya memang tidak pernah menyimpulan melainkan hanya mengkonstatasikan bahwa perguruan tinggi gagal dalam melaksanakan misi pendidikan yang diembannya. Yang saya katakan jumlah pelaku korupsi yang paling besar adalah lulusan perguruan tinggi[2] sehingga perguruan tinggi menjadi tergugat dalam maraknya korupsi di negara kita dan dalam pandangan umum dinyatakan gagal mendidik. Yang saya dan Marzuki Ali kemukakan adalah fakta bahwa hampir semua pelaku korupsi adalah lulusan perguruan tinggi, bahkan perguruan tinggi yang hebat-hebat, sehingga muncul konstatasi bahwa perguruan tinggi telah gagal dalam mengemban misinya. Konstatasai dalam kegiatan keilmuan tentulah berbeda dengan kesimpulan.
Yang benar adalah bahwa maraknya korupsi kita sulit diurai karena menjadi fakta “benang kusut” seperti dijadikan frasa penting dalam judul Studium Generale ini. Penyebab korupsi bukan karena gagalnya perguruan tinggi semata melainkan disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait secara rumit dan sulit diurai. Gambarannya gampang saja. Jumlah terpidana korupsi di Indonesia sekarang ini sekitar 4.700 orang, sedangkan lulusan perguruan tinggi mencapai belasan juta orang.[3] Artinya, meskipun jika diprosentasi berdasar jumlah koruptor lulusan perguruan tinggi mengambil porsi terbesar tetapi jika dibandingkan dengan jumlah seluruh lulusannya maka jumlah lulusan perguruan tinggi yang korupsi sangatlah sedikit. Apalagi jika dikaitkan dengan fakta bahwa pejuang-pejuang anti korupsi dan penegak hukum yang berkomitmen melawan korupsi juga sagat banyak yang dari perguruan tinggi.
Jadi tidak mungkin kita mengatakan bahwa gagalnya perguruan tinggilah yang menyebabkan maraknya korupsi. Saya sering mengatakan bahwa gurita korupsi sulit diselesaikan karena babaleut, saling sandera, dan saling melindungi antar para koruptor daan antar bidang. Itu yang sering saya katakan sehingga saya pernah menawarkan jalan radikal yakni memutus hubungan dengan masa lalu. Gambarannya sederhana saja. Kalau ada yang mengatakan perguruan tinggi gagal, maka pihak perguruan tinggi akan mengatakan bahwa yang gagal adalah SMTA, tetapi SMTA pun akan mengatakan bahwa SMTA hanya menerima murid yang lulus SLTP sehingga yang gagal adalah SMTP. Jika dikatakan begitu pihak SMTP akan menjawab bahwa pihaknya hanya menerima lusan SD sehingga yang harus disalahkan adalah SD, tetapi pihak SD pun tak mau dituding begitu saja sehingga langsung mengatakan yang salah adalah keluarga dan pendidikan di rumah.
Pengambil kebijakan pendidikan pun akan berkilah bahwa pendidikan tidak bermutu karena fasilitas yang disediakan oleh negara sangat terbatas. Gedung-gedung dan infra struktur tidak memadai sehingga pendidikan di pelosok-pelosok terutama di luar Jawa tak bisa diselenggarakan dengan baik. Maka yang bisa disalahkan kementerian PU karena lambat membangun infra struktur. Tetapi Kementerian PU pun mengatakan, itu terjadi karena kesalahan Bappenas, sedangkan Bappenas mengatakan pihaknya tak berdaya karena keterbatasan dana dari Kementerian Keuangan.
Kementerian keuangan bisa menjawab lagi bahwa penerimaan negara sangat terbatas, birokrasi boros, apalagi banyak pengemplang pajak yang menggila dan banyak korupsi di mana-mana. Oleh sebab itu yang harus disalahkan adalah penegak hukum karena tak berdaya menghadapi para koruptor. Polisi, jaksa, dan yang lain-lain mengatakan bahwa anggaran terlalu kecil untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Kemudian yang disalahkan adalah kementerian agama karena gagal menjaga moralitas dan religiositas masyarakat. Kementerian agama mengatakan bahwa bukan hanya pihaknya yang salah melainkan lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Dewan Gereja, MAWI, bahkan juga pondok pesantren gagal membangun masyarakat yang anti korupsi.
Kalau ditarik-tarik terus dicari ujung dan pangkalnya takkan pernah bisa ditemukan, siapa yang paling bertanggungjawab atas situasi ini. Bahkan bisa menjadi seperti dagelan, karena kemudian ada yang menuding bahwa yang salah adalah para pemimpin negara, tetapi para pemimpin negara mengatakan bahwa yang salah adalah rakyat yang memilihnya. Kan rakyat yang memilih, masak yang dipilih yang disalahkan. Akhirnya, dengan pasrah dikatakan, Tuhan yang salah karena Dia sajalah yang membimbing rakyat untuk memilih pemimpinnya.
Alhasil, masalah korupsi di negara kita ini tidak bisa diurai mana ujung dan mana pangkalnya karena sudah benar-benar seperti benang kusut. Dengan demikian kesimpulan yang paling tepat adalah bahwa bukan hanya disebabkan oleh gagalnya perguruan tinggi melainkan terjadi dalam hubungan kausalitas antar bidang, guritanya berliuk-liuk dari atas ke bawah dan dari kanan ke kiri atau sebaliknya, saling mengunci, saling sandera, saling berebutan, dan saling mengancam. Marilah kita lihat akibat-akibatnya dulu dalam gambaran kuantitatif.
Masifikasi dan Akibat Korupsi di negara kita
Berdasar survai Transparency Internasitional (TII) yang berpusat di Berlin pada tahun 2011 ada lima negara terbersih dari korupsi yaitu New Zealand, Denmark, Finlandia, Swedia, Sengapura. Ada pun Indonesia (2011) berada pada ranking ke 100 dari 182 negara yang disurvai. Pada tahun 2014 negara terbersih adalah Denmark, New Zealand, Finlandia, Swedia, Swiss, sedangkan yang terkorup adalah Somalia, Korut, Sudan, Afganistan, Sudan Selatan. Indonesia (2014) menempati ranking ke 107 dari 175 negara yang disurvai
Corruption Persception Index (CPI) dalam rentangan 1-10 tercatat bahwa pada akhir era Orde Baru CPI kita adalah 2,4. Setelah reformasi pergerkannya masih sangat lambat dan tak pernah mencapai indeks 4 sekali pun. Tepatnya hanya 2,8 (tahun 2010), 3,0 (tahun 2011), 3,4 (tahun 2014), dan 3,6 (tahun 2015). Data tentang CPI sejalan dengan data tentang index gini ratio (kesenjangan ekonomi) yang justeru semakin melebar yakni 0,200 (sebelum reformasi) menjadi 0,288 (2002), 0,340 (2005), 0,345 (2006), 0,390 (2012), 0,410 (2013), 0,420 (2015), sedangkan pada 2016 ini belum waktunya dihitung secara komulatif karena kalendernya sedang berjalan.
Memburuknya situasi korupsi yang bisa dilihat dari paralelitas CPI dan index gini ratio itu diperkuat oleh fakta pengelolaan tambang d Indonesia sampai sekitar lebih 87 % dikuasasi perusahaan dan sdaham-saham asing. Begitu juga tax ratio kita tak pernah beranjak dari kisaran 11-12% dari GDP, jauh di bawah negara-negara jiran yang bisa menjangkau kisaran 15-16% dari GDP. Dengan hanya tax ratio yang seperti itu pun penerimaan kita dari pajak sudah memenuhi lebih dari 75% APBN kita. Bayangkan jika tax ration kita bisa mencapai 15% seperti negara-nmehata tetangga.
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional Arif Budimanta, seperti dikutip Harian Kompas, 13 September 2016, menyebutkan bahwa ada situasi yang mengkhawatirkan karena sekarang ini pembayaran bunga utang terus membengkak. Dikatakannya bahwa angggaran pembayaran bunga pada APBNP 2011 adalah sebesar 106,58 trilliun atau 8 persen dari total anggaran negara yang berati juga mencapai 8 kali lipat anggaran untuk fungsi kesehatan yang hanya 17,5 trilliun dan berarti 21 kali lipat dari belanja pemerintah utk perlindungan sosial yang 4,6 trilliun. Keadaan ini menjadi lebih buruk karena pada RAPBN Tahun 2017 meningkat 2 kali lipat dari 2011, menjadi 221,41 trilliun atau 11 % dari belanja negara yang berarti tiga kali lipat dari anggaran pembangunan desa.
Potret Persepsi publik tentang Korupsi Kini
Mari kita lihat pula data jajak pendapat yang dijadikan headline Harian Kompas tanggal 13 September 2016 yang lalu. Secara umum masayarakat menilai bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi sangat mengkhawatirkan dan mengancam eksistensi negara. Atas pertanyaan apakah hukuman terhadap koruptor sudah memberi efek jera ternyata 92,2% menyatakan belum, hanya 6,5% yang menyatakan sudah, dan 1,3% menyatakan tidak tahu. Atas pertanyaan, bagaimana perkembangan praktik korupsi di Indonesia ternyata juga sebanyak 65,3% menyatakan korupsi makin parah, 18,4% menyatakan sama saja, dan hanya 14,9% yang menjawab makin berkurang serta 1,4% yang menyatakan tidak tahu.
Penjatuhan vonis pengadilan terhadap koruptor dalam kaitan dengan usaha pengembalian kekayaan negara juga sangat tidak memuaskan. Sebanyak 71,8% menyatakan vonis-vonis pengadilan tidak berhasil mengembalikan kekayaan negara yang telah dirampok oleh para koruptor, 24% mengatakan berhasil sebagaian, dan yang menyatakan berhasil seluruhnya hanya 0,5% disusul oleh yang tidak tahu sebanyak 3,7%. Adapun ketika ditanya setuju atau tidakkah terhadap pemberian remisi para koruptor ternyata sebesar 88,2% menyatakan tidak setuju, dan hanya 10,8% yang setuju sedangkan yang 1% menyatakan tidak tahu.
Tentang hukuman bagi koruptor kelas kakap, seperti dinyatakan oleh 71% responden, yang tepat adalah denda, penjara, kerja sosial, dan pemiskinan. Adapun 9,6% menyatakan cukup denda, penjara, dan kerja sosial, 15,6% menjawab denda dan penjara, dan 3,8% menyatakan tidak tahu. Menjadi masalah juga karena rata-rata vonis pengadilan tipokor terhadap koruptor pada semester pertama sangat rendah dan cenderung menurun yakni 2 tahun 11 bulan (2013), 2 tahun 9 bulan (2014), 2 tahun 1 bulan (2015), dan 2 tahun 1 bulan (2016).
Ada pun jumlah Terdakwa tindak pidana korupsi yang diputus secara hukum pada semester I ternyata juga tidak menggembirakan. Pada 2013 diputus Bebas sebanyak 8; dipidana <1-4 tahun sebanyak 93; dipidana 4-10 tahun sebanyak 13; dipidana >10 tahun sebanyak 1 dan tak terindentifikasi 0, (Jumlah 115). Pada tahun 2014 diputus bebas sebanyak 19; dihukum <1-4 tahun sebanyak 195; dihukum antara 4-10 tahun sebanyak 43 ; dihukum >10 tahun sebanyak 4; tak teridentifikasi 0, (Jumlah 261). Pada tahun 2015 diputus bebas sebanyak 38; dihukum <1-4 tahun sebanyak 163; dihukum 4-10 tahun sebanyak 24; dihukum >10 tahun sebanyak 3; tak teridentifikasi sebanyak 2, (Jumlah 230). Dan pada 2016 diputus bebas sebanyak 46; dihukum <1-4 tahun sebanyak 275; dihukum 4-10 tahun sebanyak 37; dihukum >10 tahun sebanyak 7; Tak teridentifikasi sebanyak 19, (Jumlah 384)
Pelemahan Gerakan Anti Korupsi
Harian Kompas, 13 September 2016, juga mengidentifikasi adanya 5 upaya atau gejala pelemahan terhadap pemberantasan korupsi belakangan ini. Pertama, rata-rata hukuman untuk koruptor makin singkat. Kedua, parpol sebagai produsen pejabat publik tak sungkan menjadikan mantan napi sebagai pengurus parpol. Ketiga, mantan napi bisa langsung mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Keempat, Kemenkum-HAM mau merevisi PP 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tatacara Pelaknsanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Kelima, upaya merevisi UU KPK.
Khusus tentang upaya pelemahan KPK pada awal 2016 memang kita digegerkan oleh munculnya revisi UU untuk menguatkan KPK tetapi isinya justeru bertendensi melumpuhkan KPK, yakni, diharuskannya ada izin untuk menyadap, dibentuknya Dewan Pengawas yang bisa membelenggu KPK, dan dihapuskannya ketentuan larangan mengeluarkan SP3. Sejauh pengahapusan larangan dikeluarkannya SP3 mungkin bisa dipertimbangkan, terutama jika orang sudah meninggal atau sudah terlalu lama orang dijadikan tersangka tetapi dua alat buktinya tidak bisa dirampungkan. Tetapi penghilangan kewenangan menyadap atau mengharuskan adanya izin untuk menyadap tentu bisa dipandang sebagai upaya pelemahan terhadap KPK sebab tentulah ada risiko bocor dan tidak ada gunanya jika penyadapan harus meminta izin lebih dulu.
Padahal selama ini tidak satu pun terjadi kesalahan atau insiden dalam pelaksanaan penyadapan oleh KPK, tidak ada orang yang tahu siapa saja yang disadap, dan tidak satu pun orang yang disadap dan kemudian dioperasi dengan tangkap tangan (OTT) itu salah, semua bisa dibuktikan dan dihukum di pengadilan tipikor. Penyadapan seperti yang berlaku selama ini justeru menjadi alat ampuh KPK dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dewan Pengawas yang diproyeksikan mengendalikan secara preventif langkah-langkah KPK juga bisa melemahkan KPK sehingga tidak perlu diadakan, tetapi Dewan Kehormatan yang sudah ada bisa diteruskan dengan kewenangan-kewenangan represifnya.
Solusi yang ditawarkan
Dari uraian dan data di atas tampak jelas bahwa penyebab korupsi tidaklah tunggal melainkan banyak faktor yang sulit diurai ujung pangkalnya. Yang pasti situasinya memang sudah seperti benang kusut yang sangat sulit diselesaikan karena adanya saling keterkaitan sebab, saling keterkaitan pelaku, terlibatnya penegak hukum, saling kunci, dan sebagainya. Oleh sebab itu untuk mengatasianya perlu dipetakan ke dalam langkah-langkah jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek.
Untuk jangka panjang pemberantasan korupsi memang harus dilakukan secara holistik antar bidang seperti diselipkannya dalam pendidikan dalam semua jenjang, pembinaan agama, peningkatan profesionalisme pendidikan hukum, kesejahteraan pegawai, pengawasan, dan sebagainya. Untuk jangka menengah kita harus semakin menguatkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai penindak dengan segala kewenangan khususnya seperti yang di dikemukakan di atas. KPK harus tetap diberi kewenangan dengan segala keleluasaannya untuk menyadap para pejabat karena selama ini justeru kewenangan itulah yang mengefektifkan KPK.
Adapun untuk jangka pendek saya berpendapat bahwa kita harus memutus benang kusut itu melalui tindakan radikal. Kita harus berani memutus hubungan kasus dan belenggu dari masa lalu. Kita, mungkin, perlu berhenti mengungkit-ungkit kasus masa lalu yang ditinggalkan oleh zaman Orde Baru atau zaman sesudahnya yang selama ini menjadi simpul untuk saling menyandera dan saling mengunci. Kita bisa memutus hubungan dengan masa lalu dengan memilih dua dua jalan secra berani yakni Lustrasi (Amputasi) dan Pemutihan (Ampunan) secara terbatas.
Dengan Lustrasi berarti kita harus menyeleksi ulang pejabat politik dan pejabat penegak hukum dengan memberhentikan berdasar UU atas mereka yang “dianggap” bermasalah dan menggantinya dengan pejabat-pejabat baru yang dianggap bersih. Melalui Lustrasi kita bisa menentukan pejabat dalam bidang apa dan dalam level apa yang harus kita larang atau kita biolehkan menduduki jabatan publik dan penegakan hukum bahkan juga politik. Artinya kita menyeleksinya kembali untuk kemudian mengawasinya secara ketat dengan ancaman hukuman yang ketat.
Dengan pemutihan dimaksudkan bahwa pelaku-pelaku korupsi masa lalu tak perlu dipersoalkan, diputihkan, diberi ampun dengan tebusan tertentu seperti yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengeluarkan UU Tax Amnesty. Pemutihan ini perlu dilakukan dengan asumsi bahwa kita tidak mungkin bisa menyelsaikan kasus-kasus tersebut karena selain sulit dilacak juga sering menghambat penyelesaian kasus-kasus lain karena menjadi terkunci. Dengan berdebat melulu tentang kasus-kasus lama kita menjadi tidak awas terhadap bermunculannya kasus-kasus baru.
Oleh sebab itu kita bisa memutihkan kasus lama untuk melangkah ke depan tanpa terbelenggu. Tetapi setelah pemutihan, pelaku korupsi harus dihukum seberat-beratnya seperti yang dilakukan di beberapa negara, terutama China yang dengan gagah menjatuhkan dan mengeksekusi hukuman mati bagi para koruptor. Beranikah kita memilih salah satu dari dua hal yang sangat berat dihadapi ini?
[1] Guru Besar Hukum Tata Negara, Ketua Umum Asosiasi Pengajar HTN-HAN, Ketua Mahkamah Konstitusi RI 2008-2013.
[2] Hasil survai yang dilansir oleh Media Indonesia dan dibahas dalam Bedah Editorialnya tanggal 20 Januari 2016 menyebut 83% pelaku korupsi adalah lulusan perguruan tinggi.
[3] Menurut Laporan BPS yang dilansir pada bulan Agustus 2015 sarjana kita yang menganggur saja jumlahnyan 7,56 juta orang. Dalam laporan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pengembangan (OECD) seperti yang dilansir oleh BBC tanggal 12 Juli 2016 Indonesia menjadi negara kelima terbesar jumlah sarjananya di dunia.