TAHUN Baru 2016 menjadi tantangan sendiri bagi bangsa Indonesia. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang resmi berlaku pada 2016 tidak memberikan opsi lain kecuali siap, siap, dan siap.
Bangsa ini harus menjadi inovator- inovator teknologi yang mampu mengubah wajah bangsa, tidak puas menjadi adaptor-adaptor teknologi, bahkan ironis jika hanya pasrah menjadi konsumen-konsumen teknologi.
Gede Prama dalam bukunya Inovasi atau Mati memberikan gambaran jelas bahwa hidup di era globalisasi jika ingin tetap survivedan bahkan menjadi pemenang, maka kunci utamanya adalah inovasi : kebaruan baik konten, produk, metode, manajemen, mupun instrumennya. Inovasi lahir dari budaya penelitian dan pengembangan yang dilakukan terus menerus.
Negara-negara maju menurut Prof M Nuh (2012), melesat meninggalkan negara-negara berkembang karena golden culture, yaitu penelitian dan inovasi terus menerus, bukan karena pop culture, seperti maraknya dunia hiburan.
Ironisnya, yang ditiru bangsa berkembang dan terbelakang dari negara maju adalah pop culture yang identik dengan free sex, miras, dan narkoba, bukan golden culture.
Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar dunia. Oleh sebab itu, seyogianya nilai-nilai Islam menjadi spirit utama pergerakan bangsa ini, khususnya bagi penduduk muslimnya untuk mengukir prestasi. Dalam Islam, orang yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik dari kemarin.
Orang yang prestasinya hari ini sama dengan kemarin adalah orang yang rugi, karena tidak ada peningkatan kualitas. Adapun orang yang prestasinya hari ini lebih jelek dari kemarin adalah orang yang celaka karena mengalami degradasi dan dekadensi.
Menurut Prof Muhammad (2014), dalam Islam, spirit continuous improvement (terus mengembangkan diri) selalu ditekankan karena keunggulan lahir bukan dari kuantitas, tapi kualitas.
Banyak kelompok minoritas mampu mengalahkan mayoritas karena kualitasnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi generasi terbaik yang kuat di bidang akidah, ekonomi, relasi, politik, budaya, dan keilmuan. Dalam Alquran Surat al-Muíminun, Allah menjelaskan ciri-ciri orang mukmin yang beruntung.
Pertama, orang mukmin yang khusyuk dalam shalat. Ciri pertama ini adalah simbol urgensi spiritualitas dalam diri orang mukmin. Spiritualitas ditandai dengan kedekatan seseorang kepada Tuhan secara berkualitas.
Kekeringan spiritualitas berdampak kepada kebebasan tanpa batas yang merusak kemanusiaan, karena tidak ada keseimbangan antara materialitas dan spiritualitas.
Kedua, orang yang waktunya produktif dengan menghindari hal-hal yang tidak ada manfaatnya, baik ucapan atau perbuatan. Ketiga, orang-orang mukmin yang membayar zakat. Ciri ketiga ini menunjukkan pentingnya peduli kepada orang lain, khususnya mereka yang membutuhkan, seperti fakir-miskin, anak yatim, para pengungsi, dan anak jalanan.
Tidak boleh terkena penyakit apatisme sosial, egois, dan mengedepankan ego personal yang sangat bertentangan dengan prinsip saling membantu dalam kebaikan dan takwa. Zakat hanya simbol kewajiban utama, karena di bawahnya ada sedekah, infak, dan wakaf untuk kemaslahatan sosial secara lebih luas.
Keempat adalah orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali kepada istri dan budak yang dimiliki. Menjaga moralitas luhur adalah keniscayaan. Karir yang tinggi akan hancur dalam sekejab oleh tindakan amoral yang dilakukan seseorang.
Kelima, orang-orang yang mampu menjalankan amanah (kepercayaan) dan janjinya. Menurut Anthony Giddens, bangsa Indonesia dengan penduduk muslim terbesar dunia sudah seyogianya meningkatkan kompetensinya di berbagai bidang kehidupan supaya mampu menjadi sector leader, tidak hanya menjadi sector follower.
Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, dan negara-negara ASEAN lainnya akan terus memacu diri dengan berbagai keunggulan.
Dalam konteks ini, aspek pendidikan menjadi prioritas karena pendidikan adalah investasi masa depan yang sangat menentukan daya saing bangsa. (Penulis wakil ketua PCNU Pati, ketua Prodi Manajemen Zakat Wakaf Institut Pesantren Mathaliíul Falah Pati/H15-64)
Sumber: Suara Merdeka