Momentum Kebangkitan Tashwirul Afkar

TAK terasa Nahdlatul Ulama (NU) sudah berusia 94 tahun. Lahir pada 16 Rajab 1344 H sampai 16 Rajab 1438 H, NU sudah memberikan prestasi besar bagi bangsa ini di segala aspek kehidupan, khususnya pendidikan dan pemberdayaan ekonomi umat.

Momentum harlah NU ke-94 ini harus dimanfaatkan seluruh elemen NU untuk membangkitkan spirit tashwirul afkar. Tahswirul Afkar adalah kelompok diskusi yang digagas KH Abdul Wahab Hazbullah di Surabaya yang mampu mempertemukan seluruh elemen umat Islam, baik yang tradisional maupun yang modern.

Spirit utama tashwirul afkar adalah dinamisasi pemikiran dan diseminasi gagasan ke ruang publik sehingga terjadi dialektika keilmuan yang produktif. Banyak indikator kebangkitan tahswirul afkar.

Pertama, berdirinya Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) di berbagai wilayah di Indonesia, misalnya UNU Pekalongan, UNU Jakarta, UNU Surabaya, dan UNU Yogyakarta. Hebatnya, UNU yang berdiri di banyak wilayah ini banyak yang mempunyai program studi umum, bukan agama, misalnya teknik, kedokteran, dan komputer.

Program studi nonagama ini akan memperkaya sumber daya manusia NU, sehingga tidak didominasi oleh ilmuwan agama. Lahirnya cendekiawan-cendekiawan muda yang multidisiplin ini akan mengantarkan NU ke gerbang kebangkitan di segala aspek kehidupan.

Menurut Anwar Ibrahim (2008), ilmuwan yang dibutuhkan dunia adalah mutafannin, yaitu orang yang menguasai hampir seluruh bidang keilmuan sehingga bisa mengkombinasi secara sinergis dan menjadi kekuatan dahsyat dalam mengubah dunia.

Figur seperti inilah yang ada dalam sejarah Islam zaman dulu, seperti Ibn Khaldun, Ibn Sina, Fakhruddin Ar-Razi, Ibn Rusyd, Al-Ghazali, Al-Kindi, dan Al-Farabi.

Ilmuwan-ilmuwan inilah yang mampu melahirkan terobosan-terobosan besar dalam bidang sains dan teknologi. UNU ini akan melahirkan kaderkader NU yang hebat.

Nurcholis Madjid (2003) sudah memprediksi ledakan ilmuwan dari rahim NU akibat banyaknya kader-kader NU yang menimba ilmu di perguruan tinggi, dalam dan luar negeri.

Menurut Cak Nur, NU mempunyai modal melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar yang mampu menggabungkan otentisitas dan modernitas karena NU konsisten mengkaji warisan pemikiran masa lalu yang ada dalam kitab kuning dan mengkaji pemikiran modern sehingga terjadi kombinasi sinergis. Kedua, berdirinya Maíhad Ali di pesantren-pesantren se-Indonesia.

Ada sebanyak 13 Maíhad Ali yang diakui kementerian agama dan mayoritas adalah Maíhad Ali berbasis NU, seperti Maíhad Ali Maslakul Huda Kajen Pati, Maíhad Ali Al-Anwar Sarang Rembang, dan Maíhad Ali Sukorejo Situbondo.

Maíhad Ali ini menjadi wahana revitalisasi keilmuan tradisional dalam merespons tantangan kontemporer.

Dibekali

Para santri tidak hanya dibekali penguasaan materi secara mendalam, tapi juga pengembangan metodologi sehingga mampu menghasilkan pemikiranpemikiran baru yang bernas dan kontekstual sebagai solusi dari persoalan-persoalan kontemporer di era globalisasi. Ketiga, berdirinya pusat studi yang berkembang di rahim NU.

Secara formal, NU mempunyai Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) yang bertugas melakukan kaderisasi intensif dan kontinu di seluruh wilayah di Indonesia dengan pengembangan wawasan berpikir dan membuka cakrawala pemikiran baru supaya mampu merespons isu-isu kontemporer dengan khazanah pemikirannya sendiri.

Secara kultural, di rahim NU berdiri berbagai pusat studi, seperti Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial (PUSATFISI) di Institut Pesantren Mathaliíul Falah (IPMAFAPATI), Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, dan Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA) Semarang.

Menurut Amin Abdullah (1999), pusat studi mempunyai nilai strategis dalam melahirkan keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh lembaga lain.

Pusat studi yang dikelola dengan professional akan melahirkan pakar-pakar yang menguasai satu bidang secara mendalam yang dibuktikan dengan karyakarya monumental.

Tiga indikator kebangkitan tashwirul afkar ini menjadi titik balik kebangkitan NU di seluruh aspek kehidupan. Sumber daya manusia yang melimpah dan berkualitas harus didistribusikan NU untuk mengelola aspekaspek yang menjadi titik sentral kehidupan NU, seperti pemberdayaan ekonomi umat.

Lembaga-lembaga struktural NU yang berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi, seperti Lembaga Amil Zakat Infak Sedekah (Lazisnu) seyogyanya diisi orang-orang yang mempunyai integritas, kredibilitas, dan kapabilitas profesional sehingga mampu menggerakkan potensi zakat, infak dan sedekah yang sangat besar dari warga NU untuk mempercepat program pengentasan kemiskinan.

Selain itu, lembaga perekonomian NU juga harus diisi pengusaha pengusaha kreatif, inovatif, dan produktif sehingga mereka akan mendirikan pusat-pusat industri yang mampu menampung lapangan kerja dan aktif mengadakan pelatihan kewirausahaan dan membimbing kelas ekonomi warga NU yang berada di bawah untuk bangkit berwirausaha untuk menggapai kemandirian ekonomi.

(*Penulis adalah ketua Program Studi Manajemen Zakat Wakaf IPMAFA Pati, Wakil Ketua PCNU Pati/H15-61)

Sumber: Suara Merdeka