TAHUN baru Hijriah 1438 yang jatuh pada ahad, 2 Oktober 2016 bermakna penting bagi perjalanan umat Islam. Ia menjadi awal kebangkitan Islam yang menginspirasi inovasi dan kreativitas sepanjang masa.
Hijrah Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah menjadi simbol optimisme, keyakinan diri, keahlian mengatur strategi, dan semangat pantang menyerah yang sangat dibutuhkan dalam perjuangan untuk meraih kesuksesan dan kegemilangan.
Nabi Muhammad mampu menjadi magnet penduduk Madinah dengan semangat toleransi, pluralitas, dan sosialnya yang tidak tertandingi.
Moralitas luhur ini meluluhlantahkan kekuatan-kekuatan primordial-sektarian penduduk Madinah yang tercabik-cabik oleh permusuhan antar suku yang tidak berkesudahan.
Kedatangan Nabi memberikan semangat baru karena kemampuan beliau memenej konflik, menyatukan berbagai faksi, dan melakukan kolaborasi sinergis antar berbagai sekte.
Piagam Madinah menjadi bukti kelihaian Nabi mengolah berbagai konflik menjadi semangat bekerja sama antara berbagai sekte untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, dan kesejahteraan bersama.
Akhirnya Islam diterima di Medinah sebagai berkah faktual yang hasilnya betulbetul dirasakan masyarakat sebagai oase di tengah konflik berkepanjangan yang memakan banyak korban.
Nabi Muhammad tampil sebagai sosok pemimpin yang mempersatukan, memberikan perlindungan, mengupayakan kesejahteraan, dan memajukan berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam bidang keilmuan, sosial, peradaban, dan ekonomi kerakyatan. Ia dicintai umatnya dan dijadikan teladan dalam sikap, perkataan dan perbuatan.
Toleransi
Manusia mempunyai potensi besar melakukan konflik. Kompetisi untuk merebutkan status sosial sering berujung pertikaian, ketegangan, dan kerawanan.
Menurut Achmad Gunaryo (2010), penerimaan terhadap konflik sebagai bagian dari hidup tampaknya bukanlah pilihan melainkan keharusan. Dipahami demikian, maka akan sia-sia menolak konflik.
Menolak konflik adalah menolak sunnatullah. Manusia harus mau hidup dalam atau berdampingan dengan konflik. Salah satu cara menyikapi konflik adalah mengembangkan budaya toleransi.
Dalam toleransi dihindari hal-hal yang memicu munculnya konflik, dimunculkan persamaan-persamaan yang sifatnya universal yang bisa diterima semua kalangan, dan diberikan keteladanan dalam pembumiannya.
Toleransi atau tenggang rasa akan sukses jika masing-masing individu menghargai kesepakatan-kesepakatan yang sudah ditetapkan dalam konteks kepentingan universal.
Mereka bisa menahan diri dan mencari jalan terbaik dalam memecahkan persoalan, tidak terbawa konflik kepentingan dan perebutan kekuasaan personal yang merugikan kepentingan sosial universal.
Keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan adalah hal-hal yang sifatnya universal lintas sektoral. Semua orang membutuhkan dan menginginkannya.
Semua orang ingin agama, kekuasaan, dan status sosialnya menjamin pembumiannya sehingga ada kontribusi nyata dalam kehidupan sosial. Jangan kebalikannya, agama, kekuasaan, dan status sosial menjadi penyebab lahirnya ketidakadilan, kekerasan, dan pertikaian.
Kalau itu terjadi akan menjadi titik tolak delegitimasi agama, kekuasaan, dan status sosial. Momentum tahun baru hijriyah 1438 menjadi momentum efektif untuk membumikan toleransi sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad Saw.
Kemampuan untuk hidup berdampingan dengan kelompok dan agama lain harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya secara individual, tapi juga secara sosial dan institusional.
Pemahaman agama yang intoleran terhadap sebagian ayat dalam Alquran dan hadits Nabi harus ditafsirkan dalam kerangka ayat-ayat dan hadis-hadis universal yang mendorong manusia untuk menghargai kemanusiaan, perbedaan, hak-hak asasi manusia, kerja sama, tolong menolong, dan berkompetisi dalam kebaikan (fastabiq alkhairat).
Dalam kerangka pemikiran inilah kita memahami ajaran dakwah yang bersifat ekspansionis. Masing-masing agama mempunyai ajaran ekspansionis, namun hal itu jangan dimaknai sebagai pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk suatu agama.
Ajaran tersebut seyogianya dimaknai sebagai motivasi kepada pemeluk agama untuk mendemonstrasikan keagungan moral dan keindahan perilaku kepada orang lain, sehingga orang lain apresiasi, respek, dan akhirnya tertarik terhadap agama yang diikuti. Keteladanan menjadi kunci utama dalam keberhasilan dakwah.
Jika umat Islam dalam dakwahnya kepada kelompok lain mengedepankan keteladanan dalam bertutur sapa, berinteraksi, bekerja sama, dan memberdayakan kaum miskin-papa, maka akan terjadi eskalasi dan massifikasi kebaikan yang menjadi esensi ajaran agama, bukan adu fisik, klaim, emosi, perang, agitasi, konflik, intrik, dan hal-hal negatif lainnya yang merusak persaudaraan dan kerukunan.
Toleransi yang dipraktikkan umat Islam akan menjadi rahmat bagi diri mereka sendiri dan orang lain lintas sektoral. Tidak ada rasa saling curiga, dan rekayasa yang menjurus kepada timbulnya fitnah, agitasi, iri hati, dan lain sebagainya yang mencabikcabik harmoni dan kohesi sosial.
Keimanan seseorang sebagaimana sering disampaikan Nurcholis Madjid adalah hak prerogatif Allah, bukan wilayah manusia, sehingga interaksi harmonis dengan agama lain bukan menjadi penyebab keimanan seseorang, justru akan mengokohkan keimanan seseorang, karena bisa membuktikan kebenaran imannya kepada agama lain.
Umat Islam sudah waktunya tampil dalam percaturan dunia dengan aksi-aksi sosial simpatik yang mendatangkan kesejahteraan ekonomi, kemajuan pendidikan, keagungan moral, kohesivitas dan solidaritas sosial, dan meminimalisir potensi konflik, intrik, agitasi, dan segmentasi sosial. Dengan itulah Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam. (*Penulis adalah Ketua Program Studi Zakat Wakaf IPMAFA Pati, aktivis NU Pati/H15-86)
Sumber: Suara Merdeka