Hubungan Antar Etnis dari Kami Menjadi Kita
Oleh Gunawan Budi Susanto

Sampai hari ini, etnis Tionghoa masih acap menerima stigma: semata-mata makhluk ekonomi, yang cuma mengerti dan mencari uang, tanpa kesediaan berbagi. Muncul pula penilaian mereka cenderung menghalalkan segala cara dalam berniaga serta pelit. Apalagi sampai hari ini pun mereka masih selalu dianggap dan diperlakukan sebagai liyan, yang lain. Kenapa? Berikut perbincangan dengan peneliti dan pengamat multikulturalisme, Munawir Aziz MA.

Apa pendapat Anda tentang keberadaan, peran, dan sumbangsih etnis Tionghoa sejak dulu sampai sekarang di negeri ini?

Orang Tionghoa di Nusantara sudah hadir sejak beberapa abad lalu. Dalam catatan sejarawan, sekitar abad ke-12 sudah ada rombongan dari Tiongkok ke Majapahit. Itu bisa dicek dalam beberapa literatur sejarah.

Kemudian pada masa Zheng He (biasa disebut Cheng Ho atau Dampo Awang) yang berkunjung ke Nusantara pada abad XV menjadi catatan penting. Laksamana Zheng He tidak sekadar mengenalkan kebudayaan Dinasti Ming, tetapi juga menyebarkan misi kemanusiaan dan spiritual. Jejak Zheng He itu dapat ditemukan di beberapa titik, dari Aceh, Palembang, Jawa, sampai Indonesia bagian timur. Itu warisan sejarah luar biasa.

Selanjutnya, orang-orang Tionghoa juga membantu Pangeran Diponegoro ketika perang melawan Belanda. Meski akhirnya ada fitnah yang menyingkirkan peran orang Tionghoa dari lingkaran Diponegoro, peran Tan Ji Sing di Yogyakarta tidak pernah bisa dilupakan. Pada masa revolusi kemerdekaan, banyak sekali tokoh Tionghoa yang terlibat dalam pers, pergerakan, dan militer.

Di bidang militer, kisah John Lie juga luar biasa. Perjuangan heroiknya pantas menjadikan dia sebagai pahlawan negeri ini. Tentu saja gelar pahlawan bagi Jon Lie menjadi refleksi bahwa sebenarnya banyak orang Tionghoa yang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan.

Jika ada gesekan atau bahkan pertentangan tajam – seperti pernah terjadi penjarahan dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa — apa yang menjadi penyebab? Kenapa hal itu bisa berlangsung?

Sebenarnya gesekan itu dimulai dari siasat Belanda dalam memecah-belah antaretnis di negeri ini. Pada empat abad lampau, orang Tionghoa, Arab, dan Jawa dapat berinteraksi dalam ruang yang sama.

Hal itu tentu saja menyulitkan rezim kolonial untuk masuk ke dalam sistem politik orang Jawa. Kondisi yang sama juga terjadi di beberapa kawasan lain, misalnya di Maluku, Makassar, dan kawasan Sumatera. Di Jawa, jelas sekali, peristiwa Geger Pacinan menjadi contoh jernih. Bagaimana ribuan orang Tionghoa dibantai pada Oktober 1740.

Itulah yang kemudian menggerakkan orang Tionghoa, dengan bantuan beberapa tokoh pribumi yang dimotori Raden Mas Garendri, melawan Belanda. Perlawanan juga terjadi di pesisir Jawa, dari Cirebon, Semarang, Lasem, hingga Banyuwangi. Intinya, orang Tionghoa dan Jawa pada abad ke-18 bersatu.

Kemudian, pasca-Perang Diponegoro, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan politik pecah-belah. Dengan membuat kebijakan pas jalan, permukiman khusus untuk etnis (Kampung Pecinan, Kampung Arab, dan sebagainya). Kemudian, pemerintah kolonial Belanda juga menjadikan orang Tionghoa sebagai alat ekonomi, dengan menarik pajak, mengelola bisnis, yang kemudian menjadikan mereka dibenci oleh orang-orang pribumi Jawa. Akan tetapi, keuntungan tetap dipegang oleh pemerintah kolonial Belanda. Situasi itu berlanjut hingga Orde Baru, yang menjadikan orang Tionghoa sebagai sapi perah.

Bagaimana gambaran kehidupan etnis Tionghoa masa lalu dalam harmoni di masyarakat kita?

Sejarah Zheng He pada abad ke-15, kisah Oei Ing Kiat di Lasem pada Perang Kuning, dan pejuang-pejuang Tionghoa pada masa kemerdekaan dapat menjadi ingatan publik. Tentang harmoni, bisa ditengok di Cirebon dan Lasem. Di Cirebon masih ada jejak orang-orang Tionghoa bersanding erat dengan orang Jawa dan Arab. Di Lasem lebih menarik, yakni permukiman orang Tionghoa menyatu dengan orang Jawa. Mereka bisa berkomunikasi secara setara, baik di bidang keagamaan maupun keseharian.

Apa pula kontribusi mereka dalam kebudayaan kita?

Kontribusi orang Tionghoa luar bisa, jika kita mau jujur dengan kebudayaan Nusantara. Banyak dari kebudayaan Nusantara dan Jawa yang terpengaruh oleh kebudayaan Tionghoa, baik kebudayaan sebagai produk maupun sistem pengetahuan.

Contohnya, di pesisir Jawa banyak sekali kontribusi budaya Tionghoa yang kemudian diadopsi budaya Jawa. Dari pola permukiman sampai cita rasa masakan.

Di bidang apa saja?

Kuliner, arsitektur, kesenian, fesyen, bela diri, militer, sistem politik, dan banyak hal yang lain.

Bagaimana menghidup-hidupkan semangat dan penghargaan terhadap kemajemukan, dengan etnis Tionghoa sebagai bagian tak terpisahkan?

Saya kira harmoni itu dimulai dari cara pandang, dimulai dari konsep berpikir kita. Tentu yang paling penting adalah mengikis prasangka. Sudah saatnya kita saling mengenal, saling belajar dan berkolaborasi untuk menciptakan karya. Maka yang penting adalah membuka pikiran kita bahwa kita adalah saudara. Peristiwa 1998 yang menelan banyak korban orang Tionghoa juga terjadi karena ada image dan wacana, yang memisahkan antaretnis, kami dan mereka. Bukan sebagai kita.

Adakah contoh pada masa lalu yang bisa dijadikan acuan?

Kisah Perang Kuning di pesisir Jawa, terutama di Lasem, Rembang, dan Juwana, itu kan jadi contoh penting. Bagaimana Oei Ing Kiat, Tan Kee Wie, Raden Panji Margono, dan Kiai Baidlawi bersatu padu melawan penjajah Belanda. Kita bisa mengambil semangatnya, bahwa perlu ada tujuan bersama. Misalnya, sekarang ini tujuan kita adalah belajar bersama, berkolaborasi dalam bidang pendidikan, kesenian, dan ekonomi.

Dari sejarah yang jauh lagi, ada pendapat yang menyatakan sebagian Walisongo itu Tionghoa.  Walau pendapat itu masih menjadi perdebatan kalangan sejarawan, setidaknya kita tahu sudah ada interaksi pada masa Walisongo dengan orang-orang Tionghoa. Artefak di Masjid Mantingan Jepara, Masjid Agung Demak, dan Menara Kudus menjadi penanda ada sentuhan kebudayaan Tionghoa pada masa itu.

Bagaimana seyogianya menyikapi perkara tersebut?

Niat baik akan melempangkan jalan menuju perdamaian dan harmoni. Jika tanpa niat baik untuk berbagi, susah terjadi. Yang ada hanyalah eksklusi. Forum-forum bersama yang mempertemukan warga lintas etnis perlu diselenggarakan secara rutin. Itulah yang menguatkan ikatan persahabatan dan persaudaraan. (51)

Sumber: Suara Merdeka Online, 15 Februari 2015