Narasi Strategi Adaptasi Petani dan Ancaman Masa Depan NU

Dimyati1Kalau hari ini saya bertanya kepada anda (orang NU): “Pak, anaknya mau kuliah ambil jurusan apa?” Jawaban anda barang  kali: “Ambil jurusan arsitek dik”…. “Kedokteran dik….” dan seterusnya. Lalu kalau saya bertanya lagi: “Apa alasannya? Kok tidak dipondokkan saja? Kok tidak di jurusan agama saja?” Sekali lagi jawaban anda: “Biar cepet kerja…. Biar tidak nganggur… biar tidak miskin seperti bapaknya..!!”  Haqqul yaqin lamunan saya ini hampir pasti benar….!! Kenapa? Mari diskusikan dengan santai dalam sebuah frame fenomena sawah. Jangan lupa sabil ngopi ya…”

*******

Menurut berbagai sumber, luas lahan pertanian padi di Indonesia hanya 13,5 juta hektar dengan produktivitas sekitar 6 ton per/hektare. Dari sisi kepemilikan lahan, data tahun 2014 menunjukkan, rata-rata luas kepemilikan lahan petani di Indonesia sekitar 0,3 hektar (ha), masih jauh dari ukuran ideal 2 ha.[1] Ukuran ideal ini dapat dihitung berdasarkan perbandingan tingkat produktifitas lahan dengan rata-rata konsumsi dan pendapatan petani setiap bulannya. Rata-rata konsumsi beras masyarakat di Indonesia mencapai 130 kilogram per/kapita per/tahun,  dua kali lipat lebih rata-rata konsumsi beras dunia yang hanya 60 kilogram per/kapita per/tahun.[2] Sementara dengan kepemilikan luas lahan tersebut, rata-rata pendapatan petani, adalah Rp.500 ribu per bulan.[3] Angka ini bahkan kurang dari setengah Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Kabupaten (UMK).

Kondisi tersebut memberikan gambaran tentang batas kemampuan survive masyarakat pertani secara ekonomi, di tengah tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi. Mengandalkan produktifitas pertanian jelas tidak memungkinkan. Petani dituntut mencari pekerjaan alternatif yang lebih menjanjikan pendapatan dalam ukuran uang yang diperoleh secara regular dan lebih cepat. Sektor pekerjaan yang menjadi pilihan petani biasanya di bidang jasa dan perdagangan. Hal itulah yang menyebabkan jumlah petani dari tahun ke tahun menyusut. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2013, jumlah rumah tangga petani mengalami penurunan. Apabila dihitung dalam kurun waktu 2003 sampai 2013, Indonesia telah kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani. Dari yang semula 31,17 juta menjadi 26,13 juta. Selain itu, sebagian besar dari mereka, yakni sebanyak 55.33% dari total rumah tangga petani, atau sebanyak 14,25 juta rumah tangga, adalah petani gurem atau petani penggarap yang tidak memiliki lahan sendiri.[4]

Peralihan pekerjaan dari petani ke perdagangan dan jasa pada gilirannya mendorong arus urbanisasi dan acap kali dituding menjadi akar meningkatnya pengangguran kota dan problem-problem urban lainnya. Tetapi jelas masyarakat petani dalam kasus ini tidak dapat disalahkan. Urbanisasi adalah sebuah keniscayaan dari strategi adaptasi yang lekat pada masyarakat subsisten. Mereka terbiasa membuat pilihan-pilihan hanya demi mempertahankan hidup manakala dalam kondisi terdesak. Pilihan yang mereka buat tidak sepenuhnya rasional (meminjam istilah Max Weber), dalam arti mengejar profit setinggi-tingginya, sebab pada dasarnya wacana profit tidak pernah benar-benar terpatri dalam kesadaran  kultur petani. Masyarakat petani memiliki prinsip safety first, dan lebih terobsesi untuk menjaga harmoni ikatan sosial melalui pemeliharaan tradisi dan nilai-nilai yang mereka yakini. Hal-hal yang berlawanan dengan itu secara naluriah akan dihindari.

 

****

Apa hubungannya dengan masa depan Nahdlatul ‘Ulama (NU)?   Ini sebenarnya bukan semata-mata karena mayoritas warga NU adalah kalangan petani yang hidup di pedesaan dan berprofesi sebagai petani dengan lahan terbatas. Jika disimulasikan, penguasaan lahan tersebut akan terus menyusut. Disamping karena sulitnya ekstensifikasi lahan yang semakin sulit, haganya semakin mahal, juga disebabkan oleh alih fungsi lahan yang diprioritaskan untuk kebutuhan tempat tinggal. Apalagi biasanya lahan diperoleh melalui mekanisme pewarisan sehingga harus dibagi menjadi beberapa irisan yang semakin sempit (fragmentasi). Bahwa fakta tersebut tidak dapat ditolak, tetapi ancaman yang lebih mendasar sebenarnya adalah perubahan kultural yang disebabkan oleh fenomena fragmentasi lahan di atas. Peralihan dari petani menjadi pedagang bukan  sekedar perubahan profesi, tetapi juga peluruhan identitas yang diikuti dengan kultur sosial. Taruhlah misal, tradisi komunal yang menjadi kekuatan NU perlahan tapi pasti akan tercerabut didorong oleh persinggungan dengan perilaku baru sebagai pedagang yang profit oriented, bersaing secara bebas dan keras, tentu saja individual.

Ancaman lebih serius terletak pada perubahan orientasi masyarakat (warga NU) dalam memilih pendidikan untuk anak-anak mereka yang pada gilirannya berimbas juga pada institusi pendidikan NU, khususnya madrasah dan pesantren. Ketertindasan ekonomi warga NU menanamkan persepsi bahwa pekerjaan itu penting. Oleh karena itu pendidikan anak harus diarahkan sebagai persiapan untuk menjadi tenaga terampil, setidaknya siap kerja, ketimbang menjadi ‘alim. Hal ini mengancam prinsip tafaqquh fid din (belajar untuk mendalami ilmu agama) yang sebelumnya menjadi motif utama dalam pendidikan. Sebagai gantinya pilihan diarahkan pada pendidikan vokasi atau yang membekali skill teknis. Demikian juga minat pada keilmuan-keilmuan murni, apalagi agama, sedikit demi sedikit akan menurun. Jika sudah demikian, tantangan terberat menghadang institusi pendidikan seperti madrasah dan pesantren yang sedari awal tidak dipersiapkan untuk bekal-bekal teknis tersebut. Tanpa kesadaran terhadap ancaman ini yang diikuti dengan inovasi dan kreatifitas, NU dan institusi pendidikan NU tinggal menunggu waktu untuk ditinggalkan umatnya sendiri.

Bukankan (fragmentasi) sawah adalah sebuah ancaman bagi NU? Wallahu a’lam.

[1] http://agrofarm.co.id/read/pertanian/747/luas-kepemilikan-lahan-petani-indonesia-kalah-dengan-thailand/#.WJA6yVN97IU

[2]

[3] Media Indonesia, 24 Desember 2013.

[4] Santo Rosita Dewi, “Persoalan Lahan Pertanian di Indonesia”, dalam https://www.academia.edu/5611980/Persoalan_Lahan_Pertanian_di_Indonesia