Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia

Oleh: Siswanto, M.A*

“Pendidikan bukanlah menabur benih pada dirimu, melainkan menumbuhkan benih-benih yang ada dalam dirimu.”
Jalaluddin Rumi

Pendidikan adalah benih harapan bagi masyarakat dan bagi manusia itu sendiri, karena pendidikan merupakan instrumen kunci untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, manakala masyarakat dilanda kegelapan, keterbelakangan, keterpurukan, kekacauan, dan tidak tahu cara mengatasinya, maka sandaran pamungkasnya adalah pendidikan.

Dan bila benih itu mendapatkan pengairan, penerangan, dan perawatan jiwa yang baik, maka akan tumbuh kembang menjadi pohon pengetahuan, kebijaksanaan, dan peradaban berbudi luhur. Itulah satu-satunya kekayaan yang dimiliki manusia yang tidak bisa lenyap. Bahkan, kematian tidak bisa mematikan pohon pengetahuan yang kita tumbuhkan. Justru pohon tersebut akan beranak-pinak dan melahirkan benih-benih baru yang menyuburkan serta memakmurkan negeri.

Itulah gaya hidup yang tidak haus karena hujan dan tidak lekang karena panas. Oleh karenanya, kekayaan sejati suatu negeri bukanlah kekayaan alamnya, melainkan kekayaan pengetahuan dan kebijaksanaan dalam jiwa bangsa, hasil dari budidaya pendidikan.

Hal ini sebagaimana dijelaskan Ki Hadjar Dewantara, bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk membentuk karakter, budi pekerti, daya, karsa, beradab, dan menumbuhkan manusia merdeka yang berbudaya.

Maka, dalam hal ini, pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan (mikro-kosmos dan makro-kosmos) sepanjang hidup. Dalam mempelajari dan mengembangkan kehidupan ini, manusia diperantarai sekaligus membentuk kebudayaan, yakni sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama sebagai hasil daya pikir, daya rasa, daya karsa, dan daya raga bersama yang membentuk lingkungan sosial, yang memengaruhi cara manusia berperilaku dan memaknai dunianya.

Dalam pemahamannya, manusia adalah perwujudan khusus atau diferensiasi dari alam. Sebagai perwujudan khusus dari jagad besar, manusia harus berusaha untuk menyatukan diri dengan aturan alam yang agung. Akan tetapi, berbeda dengan respon otomatis yang naluriah dari tumbuhan dan hewan terhadap tuntunan alam, manusia dapat menentukan pilihan dan memiliki peranan aktif serta kreatif di dalam alam.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, inilah sifat-sifat kekhalifahan-ketuhanan yang menimbulkan gagasan tentang kehalusan adab, kesusilaan, dan kebudayaan. Singkat kata, manusia adalah makhluk yang berkebudayaan dan berkeadaban.

Dalam proses belajar menjadi manusia sebagai makhluk berkebudayaan, setiap individu memiliki tiga potensi besar sebagai kreator kebudayaan, yang disebut sebagai tiga dimensi kemanusiaan, yakni:

  • Cipta (akal atau pikiran) yang menghasilkan pengetahuan, pendidikan, dan filsafat;

  • Rasa (perasaan) yang melahirkan keindahan, nilai-nilai luhur, seni, tradisi, keharmonisan sosial, semangat kebangsaan, keadilan, serta religiositas;

  • Karsa (kemauan) yang mendorong tindakan.

Dengan demikian, maksud pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada setiap anak. “Kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak tersebut tiada lain adalah segala kekuatan di dalam hidup batin dan lahir. Sedangkan tugas pendidiknya, menurutnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, dan dapat memperbaiki lakunya.”

*Siswanto, M.A., Dosen Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam IPMAFA