Pendidikan Tinggi Pesantren dalam Lanskap Pendidikan Tinggi Indonesia

Catatan dari Forum Diskusi Dosen di IPMAFA, 21 Juli 2025
Oleh: Kamilia Hamidah, MA.*

Suatu keberuntungan, IPMAFA bisa belajar langsung bersama Prof. Ronald A. Lukens-Bull, yang sejak tahun 1992 menjadi “saksi hidup” bagaimana pesantren berevolusi dari waktu ke waktu. Salah satu buku beliau, Islamic Higher Education in Indonesia: Continuity and Conflicts, telah menjadi rujukan penting untuk memahami bagaimana lembaga-lembaga Islam Indonesia bergerak maju tanpa kehilangan akar tradisinya.

Forum ini dibuka dengan pertanyaan pemantik—kebetulan saya ketiban sampur untuk memandu forum:
“Prof. Ronald, berdasarkan penelitian yang Prof lakukan sejak 1992, bagaimana Anda melihat evolusi pesantren dari institusi tradisional menjadi pendidikan tinggi modern? Apa pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman negara-negara Muslim lain dalam mengintegrasikan pendidikan Islam tradisional dengan sistem pendidikan tinggi modern? Anda juga menyaksikan transformasi IAIN menjadi UIN yang cenderung menggeser fokus kajian Islam tradisional. Nah, bagaimana perguruan tinggi pesantren dapat menghindari jebakan pragmatisme yang sama?”

Forum ini semakin intens dalam meneropong lebih mendalam bagaimana transformasi pendidikan tinggi Islam di Indonesia menghadapi dilema kompleks antara mempertahankan tradisi keilmuan pesantren dan tuntutan modernisasi akademik. Diskusi dengan Prof. Ronald Lukens-Bull, antropolog pendidikan Islam terkemuka, mengungkap berbagai tantangan yang dihadapi pendidikan tinggi pesantren dalam membangun identitas akademik yang berbeda dari Universitas Islam Negeri (UIN). Fenomena ini menjadi semakin relevan ketika melihat bagaimana transformasi IAIN menjadi UIN telah menggeser fokus dari kajian Islam tradisional menuju pragmatisme pasar pendidikan.

Pengalaman transformasi IAIN menjadi UIN memberikan pelajaran berharga bagi pengembangan pendidikan tinggi pesantren. Pada tahun 1994, sudah muncul kesadaran bahwa IAIN–UIN tidak lagi mampu mengkaderisasi ulama sebagaimana mestinya. Transformasi ini tidak hanya mengubah struktur kelembagaan, tetapi juga memaksa adopsi epistemologi ilmu sosial Barat melalui standar publikasi Scopus yang berbeda dengan epistemologi pesantren. Akibatnya, makalah-makalah dari UIN sulit diterima dalam jurnal internasional karena ketidaksesuaian paradigma keilmuan ini. Kondisi inilah yang mendorong munculnya pendidikan tinggi yang berasal dari tradisi pesantren seperti pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly sebagai alternatif untuk memproduksi ulama yang berkualitas, dengan tetap mempertahankan tradisi keilmuan pesantren.

Pendidikan tinggi pesantren memiliki keunggulan kompetitif yang unik dalam kajian kitab kuning dan kitab Jawi yang tidak dimiliki oleh UIN. Penelitian tentang bagaimana kitab-kitab Arab bertransformasi ketika masuk dalam konteks Jawa menawarkan peluang scholarship yang belum banyak dieksplorasi. Kajian ini mencakup analisis perbedaan antara kitab asli Arab dengan kitab kuning yang telah mengalami kontekstualisasi Jawa, serta bagaimana proses transformasi ini memengaruhi pemahaman dan interpretasi ajaran Islam di Nusantara. Penelitian kitab Jawi juga membuka peluang kolaborasi regional yang menarik, mengingat tradisi ini juga berkembang di Malaysia dan Thailand. Pertanyaan tentang bagaimana kitab Jawi dapat dibaca dan dipahami oleh masyarakat Asia Tenggara secara luas menjadi area penelitian yang memiliki nilai strategis tinggi.

Pengembangan penelitian exegesis, khususnya tafsir pegon, dapat menjadi salah satu distingsi akademik yang dapat dikembangkan pendidikan tinggi pesantren maupun Ma’had Aly. Turats yang berbahasa pegon menawarkan kekayaan keilmuan yang belum tergarap maksimal dalam dunia akademik modern. Penelitian ini dapat menjadi keunggulan yang membedakan pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly dari lembaga pendidikan tinggi Islam lainnya. Penggunaan bahasa pegon dalam penulisan skripsi bisa menjadi distingsi ilmiah yang menarik, meskipun membutuhkan infrastruktur perpustakaan dan sumber daya manusia yang memadai untuk mendukungnya. Fokus pada kajian exegesis, perbandingan teologi, dan kajian klasik Islam dapat memberikan kontribusi akademik yang signifikan, terutama dalam membandingkan perkembangan teologi dalam berbagai tradisi Islam yang berkembang di Nusantara.

Forum ini memunculkan dialog yang intens dengan para tamu undangan yang hadir, bersama-sama membedah kenyataan bahwa pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly menghadapi tantangan struktural yang serius dalam upaya membangun distingsi akademiknya. Salah satu dilema utama adalah mayoritas tenaga pengajar merupakan lulusan UIN, yang menciptakan paradoks di mana lembaga yang ingin membangun distingsi dari UIN justru mengandalkan sumber daya manusia produk UIN. Polarisasi riset menjadi penting untuk menghindari pengambilan jatah penelitian yang sama dengan UIN, namun implementasinya terkendala oleh latar belakang pendidikan tenaga pengajar yang cenderung mengadopsi metodologi dan paradigma UIN. Infrastruktur perpustakaan dan lingkungan akademik pendidikan pesantren atau Ma’had Aly juga belum memadai untuk mendukung penelitian berkualitas tinggi, terutama untuk penelitian kitab kuning dan kajian klasik Islam yang membutuhkan koleksi naskah dan referensi yang lengkap.

Selain itu, regulasi dan standarisasi menjadi tantangan tambahan ketika pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly sering kali harus mengacu pada standar yang ditetapkan untuk UIN. Hal ini menciptakan dilema antara keinginan membangun distingsi dengan tuntutan memenuhi standar yang ditetapkan untuk pendidikan tinggi keagamaan secara umum. Kekhawatiran terhadap ragam bentuk satuan pendidikan keagamaan yang berpotensi menciptakan persaingan antarlembaga juga perlu diantisipasi, meskipun di sisi lain dapat membuka peluang spesialisasi yang lebih tajam bagi setiap lembaga.

Prof. Lukens-Bull menekankan pentingnya pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly menjadi produsen pengetahuan, bukan hanya konsumen. Padahal, menurut beliau, merujuk kajiannya terhadap Snouck Hurgronje, sejarah menunjukkan bahwa pada abad ke-19 hampir semua pemimpin (mursyid) thariqah di Haramain adalah ulama Jawi—sebutan untuk ulama Asia Tenggara. Ini menunjukkan potensi intelektual Nusantara yang perlu dibangkitkan kembali melalui pengembangan scholarship yang otentik. Untuk menjadi produsen pengetahuan, pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly harus mampu menulis dan mencetak dalam bahasa yang dapat dibaca banyak orang, di antaranya bahasa Inggris. Selama ini, keterbatasan pada bahasa Indonesia menjadi kendala untuk mencapai audiens internasional yang lebih luas. Oleh karena itu, pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah internasional menjadi agenda jangka panjang yang penting, terlebih lagi permasalahan dalam bahasa Indonesia adalah telah tercampur dengan bahasa serapan. Jika ingin menjadikannya sebagai bahasa internasional, maka harus kembali ke bentuk asal. Beliau mencontohkan kata “karcis dan tiket”.

Forum ini juga membahas tentang isu standarisasi publikasi Scopus yang menjadi perdebatan menarik. Hegemoni standar publikasi Scopus dianggap sebagai bentuk penjajahan intelektual, padahal ada banyak indeks selain Scopus yang dapat digunakan. Indonesia memilih Scopus karena pengaruh pengambil kebijakan yang umumnya berlatar belakang pendidikan umum dan kurang memahami distingsi dalam kajian agama. Antropologi agama memiliki perbedaan mendasar dengan ilmu sosial umum, terutama dalam hal tidak menyentuh aspek normatif. Sementara dalam ilmu Islam, aspek normatif justru menjadi kekuatan utama yang sulit diakomodasi dalam standar publikasi Scopus. Pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly perlu mengembangkan alternatif standar publikasi yang sesuai dengan epistemologi pesantren tanpa terjebak dalam budaya akademik UIN yang terpaksa mengadopsi standar Barat.

Mempertahankan nilai-nilai dasar pesantren menjadi krusial dalam pengembangan pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly. Salah satu nilai dasar pesantren yang perlu dipertahankan adalah tradisi kritik. Pesantren memiliki sejarah panjang sebagai lembaga yang mengkritik penguasa. Bahkan, dalam konteks sejarah, Perang Jawa berlangsung selama lima tahun karena Pangeran Diponegoro, seorang santri, berperan penting melawan kolonialisme Belanda. Belanda dalam sejarahnya bahkan dengan sengaja melarang ningrat masuk pondok dan masjid, serta menciptakan sistem pendidikan Belanda khusus untuk kaum ningrat sebagai strategi memecah kekuatan pemerintah tradisional dan pesantren. Apakah pemisahan pendidikan yang mulai dilakukan itu bertujuan untuk mendegradasi ulama-ulama Nusantara? Ini tentunya perlu dikaji lebih mendalam. Nilai kritik ini perlu dijaga agar pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly tidak kehilangan ruh pesantrennya dalam menghadapi tekanan modernisasi.

Beliau juga memberikan masukan bahwa kajian tentang transformasi nilai-nilai pesantren sejak era 1990-an perlu dikaji lebih mendalam untuk memahami arah pengembangan pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly ke depan. Dalam perjalanannya, menurut Prof. Ronald, salah satu perubahan signifikan adalah keterlibatan kiai dalam politik yang kini dilakukan secara terbuka, berbeda dengan masa Orde Baru di mana dukungan politik tidak diekspos secara terang-terangan. Perubahan ini, termasuk masuknya pendidikan non-agama dalam kurikulum pesantren, menunjukkan adaptasi pesantren terhadap perubahan zaman. Namun pertanyaan apakah ini menunjukkan pergeseran nilai atau sekadar adaptasi strategis perlu diteliti lebih lanjut untuk memastikan pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly tidak kehilangan identitas fundamentalnya.

Prof. Ronald juga menegaskan bahwa peran ulama perempuan menjadi aspek penting dalam proyeksi masa depan pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly. Perlunya memperbanyak ulama perempuan dan khatib perempuan menunjukkan peluang pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly untuk mengambil peran penting dalam mengkaderisasi ulama perempuan yang kompeten. Hal ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat akan pemimpin agama perempuan yang mampu memberikan kontribusi signifikan dalam dakwah dan pendidikan Islam, terutama dalam konteks pendidikan pesantren yang secara tradisional juga mengenal figur nyai sebagai pemimpin spiritual.

Menutup catatan ini, forum diskusi dengan Prof. Ronald A. Lukens-Bull meninggalkan kita pada sebuah kesadaran bahwa pendidikan tinggi pesantren dan Ma’had Aly tidak sekadar menghadapi pilihan antara tradisi dan modernitas, melainkan tantangan untuk meredefinisi makna kemajuan dalam konteks keilmuan Islam yang otentik. Sejarah telah membuktikan bahwa ketika ulama Nusantara mampu menjadi produsen pengetahuan, mereka tidak hanya diakui secara lokal, tetapi memimpin dunia Islam hingga ke jantung Haramain. Kini, di tengah hegemoni standarisasi global yang sering kali tidak selaras dengan epistemologi pesantren, kita diingatkan bahwa distingsi sejati lahir bukan dari mengejar pengakuan eksternal, melainkan dari kedalaman scholarship yang berakar pada khazanah intelektual pesantren yang kaya namun belum tergarap maksimal. Ini menjadi momentum untuk membuktikan bahwa tradisi dan kemajuan bukanlah dikotomi, melainkan sintesis yang dapat melahirkan peradaban Islam yang genuine dan globally relevant.
Wallahu a’lam bish-shawab.

*Kamilia Hamidah, MA, Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam IPMAFA