Pergulatan Keilmuan dan Keteladanan Kiai Sahal Mahfudh

Oleh: Siswanto, M.A*

Pergulatan keilmuan tidak pernah berhenti. Ia adalah proses panjang dan berkesinambungan, yang tidak akan pernah selesai selama manusia masih hidup dan terus mencari makna dari keberadaan dirinya.

Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya’ Ulumuddin mengutip sebuah pendapat dari Abu al-Aswad yang mengatakan: “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia daripada ilmu.” Ungkapan ini bukan sekadar pernyataan normatif, tetapi menjadi fondasi penting dalam membangun peradaban. Belajar, dalam pengertian yang utuh, adalah proses meningkatkan potensi intelektual, spiritual, dan sosial secara berkelanjutan sepanjang hayat.

Dalam konteks ini, sosok KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, atau yang lebih akrab disapa Kiai Sahal, menjadi salah satu teladan agung dalam dunia keilmuan Islam di Indonesia. Beliau bukan hanya dikenal sebagai seorang ulama besar, tetapi juga sebagai figur yang menanamkan nilai hubbul ‘ilmi — cinta terhadap ilmu — dalam setiap aspek kehidupannya. Cinta terhadap ilmu ini tidak berhenti pada tataran konsep, tetapi benar-benar diwujudkan dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Bahkan menurut penuturan Kiai Mu’adz Tohir, yang pernah diminta Kiai Sahal untuk mengampu mata pelajaran psikologi — bidang yang awalnya dianggap di luar kompetensinya. Saat merasa ragu dan menyatakan bahwa itu bukan bidang ilmunya, Kiai Sahal dengan tegas menasihatinya, “Kalau kamu tidak mau belajar dan mengamalkannya, kamu tidak akan bisa. Dan di situlah letak kebodohanmu.” Dawuh ini bukan sekadar teguran, melainkan dorongan kuat agar terus belajar dan membuka diri pada pengetahuan baru.

Kisah tersebut menunjukkan bahwa bagi Kiai Sahal, belajar tidak terbatas pada satu bidang atau ruang lingkup tertentu. Beliau mendorong siapa pun untuk menggali ilmu dari berbagai sumber: membaca buku, mengamati fenomena sosial, hingga berdialog dengan realitas yang ada di sekitarnya.

Kiai Mu’adz bahkan menyebut bahwa sosok seperti Kiai Sahal sangat langka, dan untuk menemukan ulama dengan kedalaman dan keluasan ilmu seperti beliau, mungkin butuh waktu dua ratus tahun lagi. Kiai Mu’adz juga mengingatkan sosok ulama Syekh Ahmad Mutamakkin muncul sampai di era Kiai Sahal, siklusnya dua ratus tahun lagi. Begitupun juga kalau ada ulama lahir yang keilmuannya setara Kiai Sahal, juga butuh waktu dua ratus tahun lagi.

Oleh karena itu, Kiai Sahal adalah figur yang tidak hanya menguasai ilmu fikih dan ushul fikih secara mendalam, tetapi juga seorang pembelajar sejati. Kendati telah mencapai derajat keilmuan yang tinggi, beliau tidak pernah merasa cukup atau puas dengan apa yang telah diketahuinya. Bahkan ketika hendak mengajar, beliau tetap menyempatkan diri untuk membaca dan memperdalam materi terlebih dahulu. Sikap ini menunjukkan betapa besar rasa tanggung jawabnya terhadap ilmu dan terhadap murid-muridnya. Ia mengajarkan bahwa mengajar bukanlah sekadar menyampaikan informasi, melainkan sebuah proses yang terus berkembang dan memerlukan keseriusan serta pembaruan.

Lebih dari itu, Kiai Sahal juga menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di luar disiplin keislaman. Beliau tidak menutup diri dari dinamika ilmu sosial, ekonomi, bahkan juga politik. Hal ini menunjukkan bahwa baginya, ilmu bukanlah sesuatu yang eksklusif atau terbatas pada satu bidang saja. Justru, integrasi antara ilmu agama dan ilmu sosial menjadi kunci penting dalam menjawab tantangan zaman.

Dalam banyak tulisan dan ceramahnya, Kiai Sahal sering menekankan pentingnya membumikan ajaran agama agar relevan dengan konteks sosial kemasyarakatan yang terus berubah.

Dengan begitu, keteladanan Kiai Sahal tidak hanya terletak pada keluasan ilmunya, tetapi juga pada etos keilmuannya: kerendahan hati dalam belajar, keterbukaan terhadap ilmu lain, dan semangat terus-menerus untuk memperbarui pemahaman. Di tengah arus zaman yang cepat berubah, semangat dan sikap beliau menjadi pelajaran berharga bagi siapa saja yang ingin menjadikan ilmu sebagai jalan hidup. Karena pada akhirnya, cinta terhadap ilmu bukan hanya soal membaca dan menghafal, tetapi soal bagaimana menjadikan ilmu sebagai cahaya dalam menjalani kehidupan.

*Siswanto, M.A., Dosen Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam IPMAFA