Perguruan Tinggi Riset Berbasis Nilai-nilai Pesantren sebagai Paradigma Pendidikan Tinggi Islam[1]

ORASI ILMIAH

Abdul Ghaffar Rozin, M.Ed[2]

 Wisuda saat ini adalah sebuah momentum bersejarah. Inilah untuk pertama kalinya STAI Mathaliul Falah menghasilkan dan sekaligus mewisuda lulusan sejak berdiri 4 tahun lampau.  Sebuah proses hasil kerja sama semua pihak, kerja keras, dan disiplin para penggagas, pendiri, civitas akademik STAI Mathaliul Falah dan segenap pemangku kepentingan lainnya. Menjadi kewajiban kita bersama untuk mengucapkan rasa syukur kehadirat  Allah subhanah wa ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan fadhal-Nya sehingga STAI Mathaliul Falah bisa sampai pada tonggak pencapaian (milestone) pertama seperti saat ini.

Sebagai insan akademik, kita harus menerjemahkan rasa syukur tersebut dalam dua bentuk utama. Pertama, melakukan evaluasi diri sebagai upaya tak terpisahkan dari kultur perguruan tinggi riset[3].  Evaluasi harus selalu dilakukan secara periodik dan sistematik. Karena, hanya dengan evaluasi, kita bisa melihat sejauh mana tingkat keberhasilan sekaligus kekurangan kita, sebagai pijakan untuk menyusun rencana ke depan. Kedua, selalu berusaha untuk lebih baik dan lebih baik, terutama dalam penjaminan mutu dalam semua hal, baik administratif maupun akademik.

 

Para hadirin rahimakumullah

Keberadaan STAI Mathaliul Falah bukanlah sebuah entitas yang ahistoris, bukan pula sebuah inovasi yang  sama sekali baru. STAI Mathaliul Falah pada hakikatnya merupakan perpaduan aplikasi qaidah ushuliyyah; al-mukhafadhah ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-aslah. STAI Mathaliul Falah lebih merupakan paduan keberlanjutan dan penyesuaian (continuity and change), ketimbang menekankan pada salah satu aspek dari dua hal tersebut (discontinuity dan change), sehingga lebih merupakan transformasi pendidikan daripada reformasi pendidikan pesantren.  Oleh karena STAI Mathaliul Falah merupakan salah satu bentuk kelanjutan pendidikan pesantren yang telah berusia ratusan tahun, maka landasan aqidah, falsafah, etika dan nilai-nilainya tetaplah berbasis pada nilai dasar pesantren. Namun demikian, sebagai konsekuensi logis terjadinya berbagai perubahan dan pergeseran realitas kehidupan dalam semua dimensinya—sebagai bentuk respons strategis  agar pendidikan pesantren tetap memiliki relevansi sosial dan akademik, sekaligus agar etika pesantren menjadi falsafah hidup masyarakat umum—maka dibutuhkan transformasi akademik dan basis kelembagaan baru. Dalam konteks seperti inilah kelahiran STAI Mathaliul Falah hendaknya dimaknai.

Pertanyaannya selanjutnya, perubahan dan pergeseran seperti apakah yang dimaksud? Paling tidak dalam amatan dan penghampiran kami, secara kategoris terdapat dua perubahan lingkungan strategis, yakni internal dan eksternal. Secara internal, dapat dipisahkan lagi menjadi dua ranah. Pertama, ranah keislaman, di mana dunia keislaman di Indonesia menunjukkan dua gejala mengkhawatirkan, yakni tergerus dalam kontestasi (kooptasi)  politik kekuasaan dan radikalisasi di satu pihak, dan di sisi lain realitas kebangsaan yang masih dibalut beragam keterbelakangan sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Kedua, kejumudan pemikiran keislaman sehingga pengaruhnya dalam proses pembentukan sistem nilai (budaya, ekonomi, politik, sosial) tata kelembagaan (budaya, ekonomi, politik), dan etika sosial masyarakat (pijakan dalam perilaku sehari-hari) semakin lama semakin memudar.

Secara eksternal, kita dihadapkan dua keping mata uang globalisasi sekaligus. Pertama, peluang dan aspek serba mungkin (enabling aspect) dari perkembangan global saat ini. Sebagaimana diketahui, secara niscaya dan sistematik, tata politik dan ekonomi berkembang ke arah regionalisme sekaligus global governance[4]. Sebagai implikasi dari hal tersebut terjadi transformasi kelembagaan secara radikal yang merubah arsitektur ekonomi dan politik dunia.  Pada sisi lain peta konstelasi global juga mengalami perubahan secara dinamik. Dua pergerakan tersebut menciptakan berbagai peluang global seperti kerja sama di berbagai bidang yang berkembang luas[5].

Kedua, tantangan dan dampak negatif dari globalisasi. Integrasi ekonomi nasional dalam kapitalisme global, masuknya Indonesia dalam berbagai institusi supranegara, trend penyeragaman kultur, tidak selalu bermakna positif, namun juga berdampak negatif bagi kedaulatan nasional dan kesejahteraan serta martabat masyarakat.

Itulah secara ringkas anatomi problem kontemporer yang saat ini dihadapi dunia pesantren. STAI Mathaliul Falah di samping berpijak pada nilai-nilai luhur pesantren, juga dirancang untuk dapat turut menjawab berbagai persoalan di atas. Pertanyaan penting selanjutnya yang layak dikemukakan  adalah, apa arti dan makna Perguruan Tinggi Riset Berbasis Nilai-Nilai Pesantren, yang menjadi landasan paradigma STAI Mathaliul Falah, yang diyakini mampu menjawab problematika tersebut? Apa yang membedakannya  dengan perguruan tinggi riset lainnya?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita menengok sejenak dua konteks perguruan tinggi riset, sehingga kita bisa melihat dengan jelas posisi STAI Mathaliul Falah dalam konstelasi antar-perguruan tinggi riset. Dua konteks yang dimaksud adalah konteks nasional dan konteks internasional.

 

PERGURUAN TINGGI RISET DALAM DUA KONTEKS

Dalam dunia pendidikan tinggi di tanah air, kecenderungan di atas direspons dengan berbagai pemikiran dan kebijakan. Salah satunya adalah menggeser  paradigma pendidikan tinggi dari perguruan tinggi berbasis pengajaran (teaching university) menjadi perguruan tinggi berbasis riset (research university)[6]. Implikasi dari pergeseran orientasi ini adalah terjadinya perubahan konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi yang awalnya menempatkan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat sebagai tiga matra yang sejajar—yang seringkali tidak terhubung dan tidak terkait.

Dengan research university, maka tiga matra tersebut tidak  lagi sejajar, namun menempatkan aspek riset sebagai jantung dan pijakan kegiatan dua matra lainnya.  Research university, secara sederhana dimaknai sebagai research based education and community services (pendidikan dan  pengabdian pada masyarakat berbasis pada riset), yang bertumpu pada penguatan kultur dan atmosfer riset dalam proses kegiatan pembelajaran dan pengabdian masyarakat[7].   Hanya saja, sebagian besar perguruan tinggi  di Indonesia masih berpacu dalam jalur perguruan tinggi sebagai “tempat pengajaran pengetahuan universal”.

Secara garis besar perguruan tinggi dapat dibedakan menjadi  dua kategori, yakni perguruan tinggi yang telah mengalami keruntuhan dan kemunduran eksistensial oleh proses kejumudan dan kerusakan internal akibat tidak berkembangnya penelitian.  Secara legal-formal, perguruan tinggi ini masih menunjukkan geliat eksistensinya, namun sepenuhnya bercorak extremely pragmatic character[8].  Ketiadaan riset yang serius dan tidak berkembangnya tradisi riset yang kuat dalam perguruan tinggi tersebut menyebabkan ruh akademik dalam lingkungan kampus gagal membentuk tradisi dan mazhab keilmuan yang berwibawa.  Kategori kedua adalah perguruan tinggi yang bersifat timeless oleh kuatnya tradisi penelitian, yang disebut dengan idealistic character.

Jika dilihat konteks secara lebih menyeluruh, kemunculan paradigma research university tidak terlepas dari kontestasi antar-perguruan tinggi yang dalam skema Nannerl O. Keohane (1999; dalam Anwari, 2006) disebut sebagai highly competitive. Daya saing perguruan tinggi sepenuhnya diletakkan dalam landasan market-driven rather than oriented by political-fiat.

Dengan melihat paparan di atas, dapat secara jelas dilihat bahwa  dalam konteks nasional, paradigma perguruan tinggi riset sesungguhnya masih dalam proses mencari makna (in search of meaning). Subtansialisasi pergu  ruan tinggi riset masih sebatas meletakkan riset sebagai landasan pembelajaran dan pengabdian, akan tetapi makna dan hakekat riset yang dimaksud belum sepenuhnya terjawab secara paradigmatik.

Sementara itu, dalam konteks internasional, research university secara jelas diletakkan dalam konteks menjawab kebutuhan pasar atau pencarian pasar baru. Riset tidak diletakkan dalam pemaknaan pencarian jawaban  terhadap problem-problem global, mulai dari kemiskinan, kejahatan global, narkotika dan obat-obatan, korupsi, human trafficking, kerusakan lingkungan, dan terbentuknya tata dunia baru yang berkeadilan dan berkesejahteraan.  Secara ringkas, dapat dikatakan riset lebih diabdikan pada kepentingan kapitalisme global[9].

Oleh karenanya,  dibutuhkan pencarian makna yang lebih mendalam, jero, jejeg, dan substansial terhadap paradigma perguruan tinggi riset. Dalam konteks inilah Paradigma STAI Mathaliul Falah sebagai perguruan tinggi riset berbasis nilai-nilai pesantren dimaknai dan dikonseptualisasikan.

 

PARADIGMA STAI MATHALIUL FALAH: PERGURUAN TINGGI RISET BERBASIS NILAI PESANTREN

Perkembangan masa depan yang bertumpu pada knowledge economy dan knowledge industry meniscayakan pendekatan terhadap persoalan yang ada juga berbasis pada ilmu dan pengetahuan. Hal ini dengan sendirinya riset menjadi jantung dalam setiap penyelesaian masalah. Tanpa riset, perguruan tinggi akan terjebak semata sebagai teaching university, yang cenderung sebatas mengulang-ulang (al-qira’ah al-mukarrirah). Padahal, pergeseran zaman menghendaki jawaban baru yang lebih komprehensif, yang hanya bisa diberikan melalui instrumen riset. Pada sisi lain, pembelajaran yang dilakukan perguruan tinggi dan pengabdian masyarakatnya membutuhkan penguatan relevansi sosial dan akademik. Hal ini, sekali lagi, membutuhkan riset sebagai landasannya. Sementara itu, tradisi pesantren yang berusia ratusan tahun membutuhkan saintifikasi dan atau kontekstualisasi agar tetap terus terjaga, relevan, dan responsif terhadap perkembangan zaman. Kebutuhan akan revitalisasi dan transformasi nilai ini juga membutuhkan riset.

Dengan demikian, STAI Mathaliul Falah melihat riset menjadi faktor kunci keberhasilan dan relevansi proses pembelajaran dan pengabdian masyarakat yang dilakukannya. STAI Mathaliul Falah menyadari bahwa tanpa riset perguruan tinggi akan semakin kehilangan peran strategisnya di tengah-tengah perkembangan masyarakat yang serba sepat dan kompleks. Oleh karenanya, sejak awal berdiri, STAI Mathaliul Falah telah bertekad menjadikan riset sebagai paradigma pengelolaannya, baik level akademik maupun non-akademik. Dengan menjadi perguruan tinggi riset, Tri Dharma Perguruan tinggi menjadi kesatuan tak terpisahkan dan saling mendukung (interconnectedness). Pertanyaan selanjutnya adalah; riset seperti apakah yang dimaknai oleh STAI Mathaliul Falah? Dalam bahasa yang lebih luas, pembelajaran, pengabdian, dan riset seperti apakah yang membedakannya dengan perguruan tinggi lainnya?

Hal inilah yang dimaksud dengan “berbasis nilai-nilai pesantren.” Nilai-nilai pesantren adalah kata kunci paradigma STAI Mathaliul Falah baik dalam ranah riset, pembelajaran, maupun pengabdian masyarakat. Untuk memahami secara lebih jelas “berbasis nilai-nilai pesantren” dapat dilihat dalam uraian singkat berikut ini. STAI Mathaliul Falah didirikan sebagai bagian untuk memperkuat pesantren sebagai salah satu kekuatan transformatif bangsa. Tantangan dan peluang baru yang muncul  membutuhkan respons berbasis pendidikan tinggi riset yang bertumpu pada akar nilai-nilai pesantren. Sebagai pijakan orientasi pengembangan dan panduan operasional, maka disusunlah paradigma keilmuan yang bertumpu pada riset dan nilai-nilai pesantren.  Paradigma STAI Mathaliul Falah, karenanya, bersumber dari nilai dan ajaran Ahlus sunnah wal-jamaah yang memandang nash (al-Qur’an, Hadits Shahih, Atsar Sahabat) sebagai sumber pengetahuan tertinggi, namun meletakkan penafsiran atas nash dalam wilayah relatif dan arena kontekstualisasi.

Oleh karenanya, paradigma keilmuan STAI Mathaliul Falah bersifat normatif sekaligus historis,  teoretis dan praksis, imanen dan transendental. Paradigma STAI Mathaliul Falah merupakan paradigma yang hidup, yang tidak melakukan pemisahan antara ilmu dan amal, yang menyatukan teori dan praksis, yang enggan dengan berbagai rupa ekstremisme epistemologis. Paradigma STAI Mathaliul Falah tidak berpijak pada pemisahan ontologis dunia-akherat, tidak memisahkan kesalehan individu dan sosial, serta tidak  meletakkan nilai-nilai agama semata-mata dalam ruang privat[10].

Sebagai konsekuensi paradigma tersebut, maka model kajian yang dikembangkan juga mengelak dari problematik dualisme basis keilmuan, universalisme pengetahuan, dan dikotomi ilmu agama-ilmu dunia. Model kajian STAI Mathaliul Falah pertama-tama tidaklah diorientasikan untuk menjawab problem dualisme, universalisme, dan ketegangan antara kebenaran nash, ilmu sosial humaniora, dan ilmu kealaman. Oleh karena akar masalahnya tidaklah pada dualisme, bahkan dualitas, di tiga ranah tersebut, namun terletak dalam cara pandang dualistik yang dikotomistik dan oposisi biner[11].

Dalam model kajian ini, tujuan riset, kajian, pencarian ilmu pengetahuan, pembelajaran, dan pengabdian masyarakat terkait erat dengan ‘pada apa yang dianggap penting bagi’ atau ‘apa yang dianggap luhur oleh’ nilai-nilai pesantren. Model berfikir ini juga bukan semata eksplorasi kelimuan tanpa tujuan; ilmu untuk ilmu, namun dipandu oleh tujuan-tujuan syar’i seperti memberantas kebodohan (liberasi-transformasi), meraih kebahagiaan dunia-akherat, perangkat amar-ma’ruf nahi-munkar, yang berpuncak pada teraihnya ridla Allah SWT.

 

NILAI-NILAI PESANTREN

Proses pendidikan panjang selama hampir satu abad di Mathaliul Falah telah menghasilkan formulasi khas nilai-nilai pesantren yang melekat dalam sosok pribadi yang dikenal dengan Shalih dan Akram yang kemudian terejawantahkan di dalam nilai ‘Sembilan plus Satu’. Landasan nilai khas pesantren inilah yang kemudian dicita-citakan dapat terinternalisasi pada diri civitas akademik STAI Mathaliul Falah. Secara lebih detail, nilai-nilai pesantren tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

 

Al Akram, yang diambil dari ayat ‘Inna akramakum ‘inda Allahi atqaakum’ (Al-Hujuraat, 13) diyakini sebagai bentuk ideal seorang muslim. Yakni seseorang yang mempunyai keshalehan transendental dalam hubungannya sebagai individu dengan Allah SWT. Muslim akram dipersonifikasikan melalui niat yang baik, keikhlasan dan menjadikan motivasi seluruh aktifitas hidupnya  hanya kepada Allah (lillahi ta’ala).

Sedangkan al-Shalih—dari ayat ‘…anna al ardl yaritsuha ibadiya as shalihuun’ (Al-Anbiya’, 105)—secara garis besar dapat diterjemahkan sebagai individu yang mempunyai kesalehan horisontal, mampu membaca tanda-tanda zaman dan sekaligus mampu mengelola kehidupan di muka bumi ini sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Prinsip ideal ini dijelaskan melalui sembilan nilai yang bersifat operasional dan satu nilai sebagai penyempurna:

 

  1. Al-Khirs (curiosity):  Al Khirs dimaknai sebagai kecintaan dan keingintahuan terhadap ilmu dan pengetahuan yang tinggi sehingga menjadi sehingga menjadi motivasi belajar yang tidak terkikis waktu dan usia.
  2. Al-Amanah (kejujuran), sifat dasar yang harus dimiliki setiap individu. Kejujuran di sini dimaknai pula sebagai sifat sportif sekaligus upaya menghindari persaingan yang saling menghancurkan.
  3. 3.      Al-Tawadldlu’ (humbleness), sifat sederhana dan kerendah-hatian dalam konteks hubungan sosial yang diejawantahkan dalam bentuk kesantunan dan kebersahajaan dalam bertutur dan bertindak. Sifat al-Tawadldlu’ ini pulalah yang melandasi rasa hormat seseorang kepada guru dan yang lebih tua tanpa mengurangi dialektika akademik yang dinamis.
  4. 4.       Al-Istiqamah (disiplin), baik dalam bentuk kepatuhan terhadap aturan, komitmen dan konsensus maupun bentuk yang lain seperti penghargaan terhadap waktu dan ketaatan memenuhi tanggung jawab yang diemban.
  5. 5.      Al-Uswah al-Hasanah (keteladanan), sebagai prinsip utama dalam kepemimpinan sifat ini dikembangkan menjadi bentuk komunikasi yang terbuka, demokratis, dapat menjadi role model bagi orang lain, siap memimpin sekaligus bersedia dipimpin.
  6. 6.       Al-Zuhd (tidak berorientasi pada materi),  orientasi hidup yang sulit tetapi sangat penting dalam konteks hubungan seseorang dan hal-hal yang bersifat kebendaan dan jabatan. Sifat ini tidak diartikan sebagai upaya untuk menjauhi materi dan jabatan, sebaliknya agar dapat memanfaatkan dua hal tersebut sebagai wasilah untuk pencapaian yang lebih tinggi, yakni ridla Allah SWT.
  7. 7.      Al-Kifah al-Mudawamah (Kejuangan), diartikan sebagai keberanian memulai sesuatu yang baru untuk kemajuan umat, bangsa dan agama tanpa pamrih pribadi sekaligus menanggung resiko yang mungkin dihadapi.
  8. 8.      Al-I’timad ala al-Nafs (kemandirian), sifat dimaknai upaya menghindari ketergantungan kepada pihak lain sehingga berpotensi mengganggu independensi sikap, prinsip dan pandangan hidup yang pada akhirnya mengurangi nilai-nilai lain di atas.
  9. 9.       Al-Tawashshuth (Moderat), yang dapat diterjemahkan sebagai upaya untuk mencari titik temu dari berbagai perbedaan paham dan pendapat, sekaligus tidak bertindak ekstrim dalam menyikapi segala sesuatu.
  10. 10.  Al-Barakah, sebagai pelengkap sekaligus penyempurna sembilan nilai sebelumnya. Hal terakhir ini adalah nilai yang ‘tak kasat mata’ namun terasa kehadirannya dan tercapai setelah nilai sebelumnya paripurna.

 

KESIMPULAN

Kepekaan sosial dan lingkungan memang  kurang mendapat perhatian. Berbagai himbauan pemerintah yang kandas mungkin dapat menjadi argumen bahwa ilmu pengetahuan saja tidaklah cukup untuk membentuk watak dan pribadi manusia seutuhnya, oleh karena itu konstruksi ilmu pengetahuan sudah tidak lagi relevan dengan terlalu banyak terpusat pada pengajaran dan penggelaran teori-teori. Pengalaman pendidikan di Indonesia sejak merdeka sampai saat ini adalah pelajaran berharga yang dapat dijadikan bahan refleksi diri.

Di lain pihak, ratusan tahun usia pesantren membawa makna ajaran dan nilai-nilai yang sedemikian kuat mengakar. Sudah saatnya pesantren melalui STAI Mathaliul Falah menawarkan paradigma pendidikan tinggi yang bersifat intelektual dan terintegrasi dengan internalisasi nilai-nilai moral, etika dan budaya yang mampu membingkai dampak negatif dari perkembangan peradaban modern yang liberal ini.

Oleh karena itu, menjadi perguruan tinggi riset berbasis nilai-nilai pesantren bukan slogan atau ikut-ikutan belaka. Namun pilihan tersebut sudah menjadi keharusan sejarah, walaupun sebagai konsekwensi seluruh civitas akademik mesti memiliki komitmen yang kuat dan motivasi yang tinggi untuk mewujudkannya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan ridla-Nya kepada kita semua dalam meniti perjuangan yang amat panjang ini. Amin.


[1] Disampaikan pada Sidang Terbuka dan Wisuda I STAI Mathaliul Falah, 1 Desember 2012.

[2] Dosen dan Ketua STAI Mathaliul Falah

[3] Thomas, Harold & Warner, David (ed). 1996.  Strategic Planning, Higher Education Management, Open University Press.

[4] Stiglitz, Joseph. 2002. Globalization and Its Discontents, Penguin Books.

[5] Beyman,J. Dan Dunkerley, D. (ed). 2000.  ‘Chapter 3: Global Culture’, Globalization: The Reader, Athlone Press,

[6] Healy, M. 2006. Linking Research and Teaching: Exploring Disciplinary Spaces and the Role of Inquiry-based Learning. McGraw-Hill Education

[7] UGM. 2006. Riset di Universitas Gadjah Mada, UGM Press.

[8] UGM. 2006. Riset di Universitas Gadjah Mada, UGM Press.

[9] Naidoo, R. 2006. Universities in the Marketplace: the Distortion of Teaching and Research. McGraw-Hill Education

[10] STAIMAFA. 2010. Paradigma Keilmuan STAI Mathaliul Falah. Staimafa Press

[11] STAIMAFA. 2010. Paradigma Keilmuan STAI Mathaliul Falah. Staimafa Press