Sepertinya, banyak umat muslim di Indonesia yang menyambut datangnya bulan Ramadhan tahun ini dengan kegembiraan tapi juga diliputi kecemasan. Gembira karena memasuki bulan agung yang diwajibkan melakukan puasa dan semua amal ibadah akan dilipatgandakan pahalanya. Cemas karena melihat realita kehidupan bahwa kebutuhan di bulan Ramadhan akan meningkat drastis dari pada bulan sebelumnya.
Puasa adalah suatu ibadah sirr (tersamar) yang hanya si pelaku dan Allah SWT sajalah yang tahu. Sehingga tidak salah jika Allah sendirilah yang akan mendedikasikan pahalanya menurut kehendakNya tanpa menentukan bentuk pahala yang terukur. Sebagaimana yang termaktub dalam salah satu hadis qudsi “ puasa adalah bagiku dan aku sendiri yang akan memberikan pahalanya”.
Kewajiban puasa hakekatnya adalah sebuah proses evaluasi diri agar kita mampu mengontrol nafsu kita. Sebagai mahluk sempurna yang dikarunia akal, hati dan nafsu, manusia diberi kebebasan menentukan nasibnya sendiri. Namun kebahagiaan tidak akan terengkuh jika hanya menuruti keinginan hawa nafsu saja. Maka pada bulan Ramadhan inilah kita berpuasa agar segala keinginan nafsu yang liar harus bisa kita kontrol bahkan untuk hal sebelumnya adalah mubah seperti makan dan minum. Puasa juga tidak boleh menjadikan kita kehilangan semangat untuk beribadah dan bekerja.
Puasa adalah ibadah yang sudah ada sejak sebelum zaman Nabi Muhammad. Allah SWT telah menginformasikan hal itu dalam Al Qur’an. Tujuan utama diwajibkannya ibadah puasa adalah kita bisa mencapai derajat bertaqwa. Suatu pencapaian tertinggi kita dalam mengarungi kehidupan di dunia ini untuk menggapai kebahagiaan abadi di akhirat nanti.
Namun ada paradoks yang timbul ketika kita memasuki bulan Ramadhan. Bulan puasa di mana kita tidak diperbolehkan makan dan minum pada siang hari. Akan tetapi menjadikan tingkat konsumsi kita menjadi melonjak. Berbagai data menunjukan bahwa tingkat permintaan akan barang-barang kebutuhan menjadi meningkat sepuluh sampai duapuluh persen seiring masuknya bulan Ramadhan.
Pemerintahpun ketika memasuki bulan Ramadhan harus mengantisipasinya dengan menjaga stabilitas harga dan ketersediaan barang–barang yang dibutuhkan walaupun permintaan meningkat karena pada masa ini adalah masa rawan gejolak sosial politik.
Lalu logikanya bagaimana? Ketika nafsu dan keinginan kita yang seharusnya dikekang namun yang terjadi adalah metamorfosa nafsu menjadi lebih liar dari biasanya. Apakah ada yang salah dengan puasa kita?
Ternyata puasa yang rutin kita tunaikan tiap bulan puasa belum bisa menjadikan kita manusia yang qonaah (bisa menerima) dan sabar. Ritual meninggalkan makam minum dan hal-hal lain yang membatalkan puasa masih hanya menjadi pembalut luar ibadah puasa kita saja.
Puasa masih sebatas menahan lapar dan dahaga tanpa sampai menyentuh substansi dan esensi yang terdalam dalam puasa. Bagaimana sebenarnya puasa adalah ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara kita yang masih kekurangan makanan. Puasa adalah kendali nafsu yang yang harus dikekang sepanjang waktu agar tidak menjerumuskan kita kepada hal-hal yang merugikan.
Namun realita yang terjadi adalah sebaliknya. Perasaan “balas dendamlah” yang merasuk ketika kita menjalankan puasa. Balas dendam untuk menuruti segala keinginan mata, mulut dan perut akan makanan dan minuman yang enak begitu kita berbuka setelah seharian tidak diberi apa-apa.
Semua hal ini bisa terjadi karena kedangkalan kita di dalam memahamai makna puasa dari kacamata puasa fiqh saja. Puasa masih kita pahami sebagai ritual tidak makan dan minum saja pada siang hari. Bagaimana puasa bisa menggodok jiwa dan hati kita lebih lapang dan mempunyai kepedulian sosial yang tinggi jika yang menggelayut di pikiran hanya menu berbuka. Bagaimana puasa bisa menumbuhkan kepedulian sosial jika kita masih memikirkan kepentingan sendiri.
Serbuan kaum kapitalis
Realita inilah yang ditangkap kaum kapitalis sebagi sebuah peluang. Bulan Ramadhan adalah masa-masa panen mereka. Tingkat permintaan yang tinggi baik itu dalam bulan Ramadhan maupun menjelang lebaran menjadikan kita hanya sebagai budak atas produk mereka. Kita dibuat terlena dengan menjadikan puasa adalah alasan untuk sedikit menyalurkan keinginan kita atas produk-produk mereka.
Dengan gencar mereka membidik semua segmen untuk promosi. Segala media dipergunakan dalam rangka memperlancar target mereka. Orientasinya jelas agar tingkat konsumsi kita meningkat tajam dengan embel-embel memaknai dan menyemarakkan puasa Ramadhan.
Semua media mulai televisi, radio, media online hingga koran berlomba menampilkan segala nuansa religi dalam bulan ini. Para selebritispun tak lupa untuk ikut “memaknai” Ramadhan dengan berpakaian yang Islami. Namun semua itu tidak bisa dilepaskan dari profit oriented sebagai profesional.
Nah, disinilah sebenarnya kita mendapat ujian yang sebenarnya dalam Ramadhan. Dapatkah Ramadhan menjadi benteng kita di dalam menahan nafsu agar jangan sampai ketika bulan suci ini nafsu malah menjadi semakin liar dengan adanya serbuan kaum kapitalis.
Renungan kita adalah apakah Ramadhan akan selalu berlangsung secara monoton sepanjang waktu. Kita hanya menjalankan puasa namun juga sekaligus menuruti nafsu kita? Tidakkah kita ingin suatu ramdhan yang tidak hanya ikut bergembira dengan hura-hura saja. Sudah sepatutnya puasa menjadi penebal iman dan takwa kita menuju manusia yang kamil baik secara vertikal dan horisontal yang mempunyai kepedulian sosial yang tinggi.
Oleh: Arif Chasannudin M.Pd,
Sekretaris Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam – Institut Pesantren Mathali’ul Falah Pati
(KPI IPMAFA)