Momentum ibadah haji pada bulan syawal-dzulqa’dah-dzulhijjah mengingatkan umat Islam terhadap ritual klasik yang dilakukan Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail. Haji memberikan pelajaran umat Islam untuk mengapresiasi warisan para pendahulu yang sarat makna. Nabi dan para Nabi sebelumnya digambarkan seorang aktor-aktor yang membangun rumah, mulai dari pondasi, batu bata, tiang, dan seterusnya. Ada prinsip pentahapan dan kontinuitas dalam perjuangan. Tidak mungkin sesuatu yang besar langsung besar, namun dimulai dari kecil yang dilakukan secara konsisten dan kontinu sepanjang masa.
Ihram dengan memakai pakean putih mengajarkan pentingnya niat yang tulus karena Allah, bukan motif duniawi yang fana. Ketulusan sangat penting dalam membangun relasi, vertikal maupun horisontal. Ketulusan lahir dari kejujuran sebagai lambang pribadi yang mempunyai tanggung jawab tinggi dalam mengemban tugas. Karakter inilah yang menyebabkan timbulnya kepercayaan sedikit demi sedikit yang akan melejitkan karir seseorang. Ketulusan didapatkan dari hati yang selalu mengingat Allah (dzikrullah) yang melahirkan ketundukan total sebagai abdullah (hamba Allah).
Ihram ini dibatasi oleh miqat zamani (waktu) dan makani (tempat) sebagai lambang bahwa mengingat Allah membutuhkan waktu dan tempat yang kondusif, bukan di sembarang tempat dan waktu, apalagi tempat-tempat kemaksiatan dan waktu yang tidak dimanfaatkan untuk kebajikan. Pembatasan ini adalah perintah kepada umat Islam untuk membatasi kegiatan yang dilakukan pada tempat-tempat yang baik dan menjadikan waktu-waktu yang tersedia penuh makna, baik ilmu, dunia, dan relasi, yang semuanya ada dalam naungan ridla Allah SWT.
Wuquf di padang arafah yang diikuti oleh seluruh umat Islam dunia menunjukkan pentingnya muhasabatun nafsi (introspeksi diri). Muhasabah ini dibutuhkan oleh setiap manusia, lembaga, negara, dan organisasi manapun jika ingin meraih kesuksesan besar. Muhasabah ini dikenal dengan teori evaluasi, yaitu menilai segala sesuatu yang telah dilakukan, apakah sudah tepat, atau perlu diperbaiki orang, sistem, atau strateginya. Muhasabah yang dilandasi kejujuran akan melahirkan ide-ide kreatif-solutif bagi dinamika personal dan institusional. Inovasi demi inovasi lahir dari kegiatan muhasabah ini. Sulit menemukan kecermelangan yang dilakukan tanpa muhasabah, karena segala sesuatu yang tidak dievaluasi akan usang, tidak menarik, dan ditinggalkan orang. Stagnasi dan degradasi dalam segala aspek akan mewarnai person atau institusi yang menyepelekan aspek muhasabah ini.
Thawaf yang dilakukan tujuh kali mengelilingi ka’bah memberikan pelajaran kepada umat Islam untuk memperkuat kekuatan yang dimilikinya terus menerus supaya mampu menghadapi kompetisi ketat, apalagi di era globalisasi sekarang ini yang meniscayakan kompetisi ketat dan kejam. Umat Islam sekarang ini dikepung oleh berbagai kekuatan yang ingin melumpuhkannya dari segala sisi, ideologi, pemikiran, ekonomi, budaya, teknologi, pendidikan, dan politik global. Negara-negara Islam yang ingin memperkuat militernya, seperti Iran akan dihabisi dengan segala cara supaya tidak muncul sebagai kekuatan baru yang mengancam mereka. Melawan hegemoni mereka, umat Islam tidak boleh tinggal diam, bermalas-malasan, dan menyerahkan nasib kepada musuh. Jalan satu-satunya adalah menyisingkan lengan baju dan mengerahkan segala kemampuan untuk mengembangkan segala aspek, ideologi, pemikiran, pendidikan, ekonomi, teknologi, kebudayaan, dan politik. Kader-kader potensial, khususnya kaum muda, harus dimanfaatkan untuk realisasi agenda besar ini. Kader-kader senior harus berperan sebagai motivator, dinamisator, dan fasilitator pengembangan aspek-aspek strategis ini. Dalam konteks ini dibutuhkan perencanaan yang matang untuk menentukan target jangka pendek, menengah, dan panjang.
Sa’i dari shafa ke marwa menunjukkan pentingnya menaikkan kecepatan dalam realisasi agenda peningkatan kualitas umat. Era globalisasi ditandai dengan kecepatan yang sangat dahsyat. Satu detik terlambat otomatis kalah dalam persaingan. Waktu menjadi sangat berharga, dan ini menjadi kelemahan terbesar umat Islam. Wahbah Zuhaili (2009:9:331) menjelaskan kemunduran besar umat Islam di berbagai bidang karena memanfaatkan waktu pada hal-hal yang tidak produktif, justru kebanyakan digunakan untuk menonton televisi dan sejenisnya. Sementara di negara-negara maju, menurut Prof. Dr. Muhamamd Nuh (2012), kemajuan digerakkan oleh sekelompok elit cendekiawan yang serius melakukan penelitian tanpa henti untuk melahirkan penemuan-penemuan spektakuler yang menjadi energi kemajuan pengetahuan, teknologi, dan peradaban modern. Inilah yang harus disadari oleh umat Islam bagaimana memanfaatkan waktu secara kolektif untuk meningkatkan pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan cahaya wahyu agama.
Prosesi halq/ taqshir al-sya’ri (memotong rambut) menunjukkan pentingnya mengalahkan segala nafsu kebinatangan yang menggelincirkan manusia ke lubang kenistaan hidup. Dalam perjalanan menaiki tangga kehidupan menuju puncak kejayaan, manusia seringkali digoda oleh faktor internal, yaitu dirinya sendiri, dan faktor eksternal, yaitu lingkungan negatif-destruktif. Faktor eksternal tidak berpengaruh jika internal seseorang kokoh dan tidak goyah. Oleh sebab itu, pembangun mental dan karakter yang kokoh dan gigih menjadi prasyarat mencapai kesuksesan paripurna. Jihad akbar (perjuangan yang paling besar) menurut Nabi adalah jihad nafsu. Melawan nafsu yang selalu memerintahkan manusia kepada kejelekan (ammarah bis su’) dilakukan dengan cara pembersihan hati, pemenuhan pengetahuan yang membawa hikmah, pergaulan dan lingkungan yang Islami, dan sikap pengorbanan yang tulus sebagaimana Nabi Ibrahim yang tulus menyembelih putranya Ismail.
Ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. dan masjid Nabawi di Medinah menjadi pelengkap ritual ibadah haji yang mengajarkan pentingnya umat Islam mempunyai mental kepeloporan dalam segala hal sebagaimana dicontohkan baginda Nabi. Memelopori sesuatu yang bernilai besar di masa depan membutuhkan keberanian menghadapi segala rintangan dan kreativitas tinggi agar menarik dan diikuti umat. Ironisnya, mental kepeloporan ini seakan hilang dari realitas umat. Mereka lebih suka menjadi follower (pengikut), dari pada menjadi leader (pemimpin) yang merintis hal-hal baik yang bermanfaat bagi umat dalam segala aspek kehidupan. Kaidah ‘at-ta’sis aula minat ta’kid’, merintis lebih utama dari pada menguatkan, seyogianya memberikan inspirasi dan motivasi umat Islam untuk berani merintis program-program baru yang bermanfaat bagi umat, khususnya dalam aspek pengembangan ilmu, moral, ekonomi, budaya, dan pendidikan.
Ritual-ritual haji yang sarat makna di atas seyogianya menggugah kesadaran dan melecut semangat umat Islam, khususnya para jama’ah haji, untuk terpanggil memberikan kontribusi terbaiknya bagi pembangunan umat dan bangsa ini di masa depan dengan menjadi aktor yang kreatif dan penuh dedikasi.
*Peneliti Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial Institute IPMAFA Pati dan Pengurus RMI-NU Jawa Tengah