Oleh Sholahuddin
Juli lalu, bertepatan dengan awal tahun ajaran baru, pemerintah memberlakukan Kurikulum 2013. Dengan kurikulum yang baru itu, diharapkan muncul ”generasi emas” yang unggal dan inovatif, serta memiliki karakter yang baik, toleran, rukun dan cinta damai.
Perubahan kurikulum, di mana pun, sebetulnya hampir sama, selalu membutuhkan penyesuaian pola pikir para pemangku kepentingan (stake holders). Yayasan, kepala sekolah, guru satuan pendidikan dan pengawas sekolah perlu memahami perubahan kurikulum itu. Demikian pula yang terjadi pada Kurikulum 2013 ini, mungkin akan sukses bila ada perubahan paradigma, atau lebih tepatnya mindset para guru dalam proses pembelajaran.
Hal itu mengingat substansi perubahan dari Kurikulum 2006 (KTSP) ke Kurikulum 2013 ini adalah perubahan proses pembelajaran, dari pola pembelajaran ala bank, yaitu guru menulis di papan tulis dan murid mencatat di buku serta guru menerangkan sedangkan murid mendengarkan, menjadi proses pembelajaran yang lebih mengedepankan murid melakukan pengamatan, bertanya, mengeksplorasi, mencoba, dan mengekspresikannya.
Proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif tersebut hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah. Mereka tidak lagi memiliki pemikiran bahwa mengajar harus di dalam kelas dan menghadap ke papan tulis. Mengajar bisa dilakukan di perpustakaan, kebun, tanah lapang, atau juga di sungai.
Media pembelajaran pun tidak harus buku, alat peraga, atau komputer. Tanam-tanaman dan pohon di kebun, sungai, dan sejenisnya juga dapat menjadi media pembelajaran. Karena sudah berpuluh tahun mengajar, mengubah mindset guru, bukanlah perkara gampang. Kemdikbud perlu bekerja ekstra untuk benar-benar menyosialisasikan Kurikulum 2013 dan melakukan training ke sekolah-sekolah yang telah siap mengimplementasikan Kurikulum 2013.
Pelatihan yang dilakukan hanya selama seminggu bagi guru-guru di sekolah eks RSBI tidaklah cukup, karena menurut hemat saya, perubahan mindset tidaklah bisa diubah dengan instan. Perubahan harus didorong secara terus menerus dengan memotivasi guru untuk melakukan pembelajaran dengan model fasilitator dan bukan gaya bank.
Memang perubahan di mana-mana akan menimbulkan ketidakpastian, dan oleh karena itu, ketidakpastian itu perlu untuk segera dikaji dan dibenahi oleh berbagai pihak guna penyempurnaan Kurikulum 2013 ini.
Beberapa Kendala
Di samping problem perubahan mindset guru, dari amatan saya di lapangan, ada beberapa kendala teknis yang akan dihadapi dalam implementasi Kurikulum 2013 ini. Pertama, dengan dihapusnya mata pelajaran TIK di SMP, berimplikasi besar pada para pengampu matapelajaran TIK yang berlatarbelakang TIK. Bagi guru yang mempunyai kompetensi IPA atau Matematika bisa disalurkan ke peminatan IPA atau Matematika, tetapi bagi yang murni TIK, maka bagaimana dengan nasib mereka?
Adakah kebijakan yang bisa mendukung konversi guru ini? Dalam konteks ini, guru bisa jadi korban. Dan perebutan jam mengajar bagi guru sertifikasi pun tidak terelakkan.
Kedua, problem peminatan di tingkat SMA yang dilakukan mulai kelas X, hal ini tentunya akan menimbulkan kerja manajerial yang ekstra keras dari pihak sekolah. Terutama bila murid baru terkonsentrasi mengambil peminatan IPA, misalnya. Para kepala sekolah di SMA harus cermat sekali dalam menampung minat para calon murid agar tidak sering terjadi perpindahan minat. Hal itu mengingat murid boleh pindah minat. Tapi yang sering terjadi, perpindahan minat murid akan menyulitkan pengelolaan sekolah.
Saya mengusulkan, sosialisasi peminatan sudah dimulai sejak kelas III SMP, sehingga para siswa tidak kebingungan ketika masuk kelas X SMA. Ketika lulus SMP, murid sudah memiliki gambaran mengenai jurusan/minat yang akan diambil saat masuk SMA. Para siswa bisa menjadikan nilai ujian nasional SMP sebagai bahan kajian untuk memilih peminatan di SMA.
Ketiga, problem penambahan jam yang terjadi hampir di setiap jenjang pendidikan, mulai SD, SMP, hingga SMA. Sebagai contoh, pendidikan agama di SD kelas I-III dari dua menjadi empat jam seminggu, yang diikuti dengan perumusan kompetensi dasar (KD) yang seimbang dengan jumlah jamnya, sehingga yang terjadi tetap mengejar materi, bukan proses pembelajarannya yang dibenahi. Padahal, yang diharapkan adalah elaborasi yang lebih leluasa dari guru mata pelajaran, sehingga mereka bisa melakukan proses pembelajaran dengan lebih leluasa. (24)
—Sholahuddin MA, guru Madrasah Aliyah Matholi’ul Huda, Bugel, Kedung, Jepara.