RAMADAN adalah bulan penuh berkah. Di dalamnya Allah menurunkan rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan itq minannar (bebas dari neraka) bagi orang yang memanfaatkan bulan suci ini dengan amal-amal yang baik. Amal-amal tersebut meliputi tiga hal. Pertama, menjaga anggota badan dari makan sesuatu yang haram. Rizki yang halal menjadi syarat mutlak kesalehan seseorang.
Ketika berbuka puasa, jangan sampai makan dan minum yang berasal dari rizki yang haram. Kedua, menghindarkan diri dari sesuatu yang dilarang. Mulut jangan digunakan untuk berdusta, mencela, dan menggunjing orang lain. Ketiga, meningkatkan kualitas diri dengan kegiatan yang positif, seperti shalat wajib, tarawih, witir dan tahajjud berjamaah, tadarrus Alquran, mengaji ilmu agama, sedekah, infaq, zakat, dan lain-lain. T
iga kegiatan ini akan membangun karakter positif, yaitu mentalitas yang dekat dengan sifat-sifat ketuhanan dan jauh dari sifat-sifat setan. Menjalani Ramadan dengan kegiatan positif membutuhkan komunitas yang punya komitmen tinggi terhadap spiritualitas, intelektualitas, dan integritas.
Pesantren dalam konteks ini menjadi pilihan terbaik untuk realisasi tujuan positif di atas karena di pesantren terbangun komunitas yang punya komitmen tinggi terhadap spiritualitas, intelektualitas, dan integritas. Di pesantren, selama 24 jam terisi kegiatan-kegiatan spiritual dan keilmuan yang mampu membangun integritas moral dan meningkatkan spirit keilmuan dan solidaritas sosial.
Di pesantren menurut A Mustain Syafii (2003), pendidikan lebih diutamakan dengan keteladanan sebagai unsur utama. Santri tidak hanya diajari teori ilmu pengetahuan, tapi juga praktik ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahun ini, kalender kegiatan sekolah di bulan Ramadan adalah libur panjang, sehingga lebih efektif jika dimanfaatkan anak didik untuk belajar di pesantren.
Kenakalan remaja yang massif dan eskalatif sekarang ini, mengkhawatirkan semua kalangan. Dalam konteks ini, Ramadan di pesantren diharapkan mampu dimanfaatkan untuk internalisasi nilai, pembangunan karakter, penambahan wawasan agama, meneguhkan nasionalisme, dan menambah spirit kemandirian anak didik. Menurut M Ridlwan Nasir (2010), perpaduan sekolah dan pesantren adalah bentuk pendidikan ideal.
Sekolah mengajari orang pandai, sedangkan pesantren mengajari orang baik. Pandai adalah gabungan antara tabligh (komunikatif) dan fathanah (intelegensi), sedangkan baik adalah gabungan antara shidq (kejujuran) dan amanah (akuntabilitas).
Dengan pandai dan baik itulah, seseorang mampu melakukan transformasi sosial secara massif di seluruh sektor kehidupan sebagaimana diperankan baginda Nabi Besar Muhammad Saw. Transformasi sosial dalam bentuk imaratul ardl (meramaikan bumi) adalah tugas kedua manusia selain ibadatullah (menyembah Allah) (Sahal Mahfudh, 1994).
Supaya Ramadan di pesantren berjalan efektif, maka dibutuhkan kurikulum yang jelas yang disesuaikan dengan kemampuan anak didik, mulai tingkat sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) atau kejuruan (SMK).
Pesantren juga dituntut untuk berbenah. Pertama, kebersihan, kenyamanan dan kedisiplinan pesantren harus ditingkatkan. Pesantren lain yang layak dijadikan model adalah pesantren Balekambang Jepara yang diasuh Kiai Ma’mun. Kedua, menerapkan model pembelajaran yang menyenangkan. Dalam teori pendidikan ada model Paikem (pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan). Salah satu buktinya adalah metode Amtsilati ala KH Taufiq Hakim.
Dengan metode syiiran, anak belajar secara alami, tidak merasa tertekan, tapi betul-betul menikmati, sehingga secara bertahap anak mampu menghafal Alfiyyah dan menerapkannya dalam struktur kalimat. Ketiga, menerapkan manajemen professional dan akuntabel. Dalam konteks ini, transparansi menjadi sangat penting. Selain itu, manajemen yang diterapkan harus berorientasi total kepada realisasi keunggulan yang ditargetkan.
Total quality management harus diterapkan pesantren untuk melahirkan santri-santri yang berkualitas tinggi dengan karya-karya hebat yang dikagumi dunia, seperti KH Mahfudh At-Tarmasi Pacitan, KH Nawawi al-Bantani, KH Yasin bin Isa al- Fadani, dan KH MASahal Mahfudh al-Kajeni.(50)
—Jamal Ma’mur Asmani, peneliti Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial IPMAFA Pati, pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI NU) Jawa Tengah
Sumber: Suara Merdeka