Refleksi: WISUDA SARJANA II STAIMAFA 2013

DimyatiOleh : Ahmad Dimyati, M.Ag

Salah satu problem krusial yang dihadapi oleh sarjana di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) adalah minimnya kreatifitas dan daya juang untuk berkompetisi. Hal ini ditunjukkan oleh orientasi sebagian besar lulusan PTAI masih berkeinginan menjadi Pegawai Negeri SIPIL (PNS) atau diterima sebagai pekerja formal pada sektor-sektor pekerjaan tertentu. Padahal kemampuan pemerintah dan swasta dalam menyediakan lapangan kerja formal tidak pernah sebanding dengan jumlah lulusan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi, khususnya PTAI.  Keterbatasan ini menjadikan angka pengangguran terdidik dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

Data resmi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) per 6 Mei 20013 menunjukkan bahwa penduduk bekerjaberdasarkan tingkat pendidikan tertinggi adalah sebagai berikut: pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi yaitu sebanyak 54,6 juta orang (47,90 persen), sedangkan penduduk bekerja dengan pendidikan diploma sebanyak 3,2 juta orang (2,82 persen) dan penduduk bekerja dengan pendidikan universitas hanya sebanyak 7,9 juta orang (6,96 persen) (sumber: Berita Resmi Statistik No. 35/05/Th. XVI, 6 Mei 2013). Minimnya sumbangan sarjana terhadap angka tenaga kerja (hanya 6,96 persen) menunjukkan bahwa daya saing mereka relatif rendah. Selain itu data di atas juga menunjukkan bahwa jumlah daya serap dunia kerja tidak sebanding dengan laju pertambahan lulusan Perguruan Tinggi setiap tahunnya.

Oleh karena itu, hal yang paling penting dan mendesak untuk segera persiapkan oleh oleh lulusan Perguruan Tinggi, khususnya STAI Mathali’ul Falah (STAIMAFA) agar tidak hanya sekedar menjadi “pencari kerja” (job seekers). Amanat  Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 58, secara gamblang menegaskan bahwa fungsi dan peran Perguruan Tinggi adalah sebagai: (1) wadah pembelajaran Mahasiswa dan Masyarakat; (2) wadah pendidikan calon pemimpin bangsa; (3) pusat pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; (4) pusat kajian kebajikan dan kekuatan moral untuk mencari dan menemukan kebenaran; dan (5) pusat pengembangan peradaban bangsa. Hal ini sejalan dengan visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia, yaitu “mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 12 besar dunia di tahun 2025 dan 8 besar dunia pada tahun 2045 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif dan berkelanjutan”

Sejauh ini STAIMAFA telah berupaya semaksimal mungkin merealisasikan amanat Undang-undang dan visi di atas melalui penetapan visi “menjadi perguruan tinggi riset berbasis nilai-nilai pesantren tahun 2025” serta perumusan kurikulum dan berbagai program yang telah dilaksanakan. Titik tekan yang menjadi perhatian STAIMAFA adalah mencetak generasi yang memiliki jiwa kepemimpinan (leadership), mandiri, transformatif, menguasai IPTEK serta memiliki wawasan luas dan standar moralitas yang tinggi. Tantangan yang dihadapi oleh lulusan  STAIMAFA adalah bagaimana mentransformasikan visi yang telah ditetapkan di atas menjadi visi kolektif (collective vision) dan menjadi pedoman dalam mengurai problem yang (akan) dihadapi.

Beberapa kemampuan yang harus dikembangkan oleh lulusan STAIMAFA antara lain: (1) Kompetensi keilmuan, ilmu, ketrampilan serta wawasan yang diperoleh selama menempuh pendidikan di kampus; (2) Sensitivitas dalam menghadapi keragaman di tengah-tengah masyarakat; (3) “Kecerdasaan” dalam membangun relasi positif dengan berbagai kalangan dan latar belakang; (4) Jiwa kepemimpinan agar dapat membuat perubahan di tengah-tengah masyarakat; serta (5) Identitas sebagai manusia berakhlaq dalam kondisi dan peran apapun yang kelak akan dihadapinya ketika telah terjun di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, lulusan STAIMAFA diharapkan selalu menjadi pilar utama dalam menyebarkan nilai-nilai shalih akram yang menjadi dasar berfikir, bertindak dan berperilaku sivitas akademika STAIMAFA.

Dengan bekal kemampuan-kemampuan tersebut, diharapkan lulusan STAIMAFA akan berdiaspora dan menjalankan peran masing-masing tanpa harus dibatasi oleh waktu, tempat serta sekat-sekat tertentu, sehingga pada akhirnya menjadi motor penggerak perubahan nasional ke-arah yang lebih baik lagi.