ULAMAadalah ahli waris para nabi dalam konteks pengembangan ilmu dan dakwah Islam, bukan dalam konteks kekayaan dan keduniaan. Ulama menjadi pelita umat di dunia dan akhirat.
Menurut KH Ali Maíshum dari Yogyakarta, ulama dibagi menjadi dua. Pertama, ulama yang hanya mampu membaca, memahami, mengamalkan, dan mengajarkan kitabkitab standar dalam bidang fikih, akhlak, tafsir, hadis, tauhid dan tasawuf. Kedua, ulama yang mampu melakukan proses istinbathul ahkam (menggali dan menetapkan hukum berdasarkan dalil) untuk merespons kasus-kasus baru yang terus bermunculan tanpa henti.
Ulama tipe kedua ini selain mempunyai kompetensi seperti ulama pertama, juga menguasai ilmu untuk melakukan istinbathul ahkam. Ulama tipe kedua inilah yang sangat dibutuhkan untuk merespons perkembangan dunia yang berjalan dengan sangat cepat pada berbagai bidang kehidupan, seperti dalam bidang medis, informasi, ekonomi, teknologi, dan politik. Dengan kehadiran ulama-ulama tipe kedua, masalah-masalah yang terus berkembang mampu direspons secara cepat, kontekstual, aplikatif, dan solutif. Dalam hal ini, Prof Dr AQodri Azizy mewacanakan pentingnya ijtihad berbasis sains modern.
Salah satu model ijtihadnya adalah memberikan penafsiran aktif dan progresif. Aktif adalah memberikan jawaban hukum yang mampumemberikaninspirasidanpet
Pertama, ijtihad ikhtiyari intiqaíi, yaitu memilih pendapat ulama-ulama zaman dulu yang masih relevan dengan perkembangan zaman. Kedua, ijtihad insyaíi ibdaíi, yaitu melahirkan pendapat-pendapat baru untuk merespons perkembangan zaman karena tidak dijumpai pendapat ulama terdahulu atau dijumpai tapi tidak relevan. Salah satu produk istinbathul ahkam adalah fatwa KH Hasyim Asyíari, pendiri NU tentang resolusi jihad yang mewajibkan umat Islam mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan pada 22 Oktober 1945. Selain itu juga pemikiran KH Abdul Wahab Hazbullah tentang hubbul wathan minal iman (cinta Tanah Air termasuk pertanda iman).
Ada juga pemikiran KH MA Sahal Mahfudh tentang urgensi keluarga berencana (KB), pemikiran KH AMaíruf Amin tentang ekonomi syariah, pemikiran KH Maimun Zubair tentang pentingnya menjaga empat pilar bangsa, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Atau pemikiran KH AMustofa Bisri tentang saleh ritual dan saleh sosial, dan pemikiran KH Said Aqil Siradj tentang tasawuf sosial. Produk istinbathul ahkam ini ternyata mampu mengokohkan semangat keislaman dan kebangsaan sekaligus.
Melahirkan ulama-ulama seperti di atas menjadi keniscayaan sejarah supaya perjalanan bangsa yang majemuk ini tetap harmonis dan dinamis. Tidak mungkin bangsa ini mampu menggapai kejayaan jika persatuan dan kesatuan nasional terganggu. Menurut Prof Dr M Quraish Shihab (2007), dalam Alquran, tujuan akhir seseorang mengembangkan ilmu adalah adanya rasa khasyyatullah (takut kepada Allah). Ilmu apa pun yang dikaji seseorang tanpa ada dikotomi ilmu agama atau ilmu umum, jika mampu mengantarkan seseorang kepada khasyyatullah, maka dia disebut ulama.
Ilmu yang berkah memang ilmu yang membawa pemiliknya menuju khasyyatullah, bukan ilmu yang membuat orangnya sombong, gila jabatan dan kekuasaan. Orang yang banyak ilmu tapi semakin jauh dari Allah, berarti ilmunya tidak berkah dan jika ia tidak segera mendekatkan diri kepada Allah, justru ilmunya bisa mencelakakannya di dunia dan akhirat. Kompetensi sosial seorang ulama diwujudkan dalam bentuk kontribusi besarnya bagi pemberdayaan umat sesuai bidang masingmasing.
Seorang ulama harus meneruskan perjuangan Nabi dalam memberdayakan umat di bidang pendidikan, ekonomi, dan kebudayaan. Ulama tidak boleh hanya duduk di singgasana keilmuan tapi harus menjadi aktivis pemberdayaan umat, sehingga kemanfaatannya menjadi masif. Hal itu sesuai sabda Nabi bahwa manusia terbaik adalah manusia yang mampu memberikan kemanfaatan bagi orang lain.
Saat ini sinyalemen terjadinya krisis ulama semakin kuat. Semua elemen bangsa harus bergerak bersama untuk meregenerasi ulama. Kaderkader muda yang mempunyai kompetensi, baik keilmuan, spiritual, maupun sosial, harus diberikan wahana aktualisasi diri secara maksimal supaya mampu merespons persoalan sosial yang muncul dengan bernas.
Jangan sampai potensi besar mereka terkubur dalam lintasan sejarah, sehingga mereka tidak mampu memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa. Kader-kader senior seyogianya menyerahkan estafet keilmuan dan kepemimpinan kepada kader- kader yunior dengan tetap memberikan bimbingan intensif supaya mereka tetap di jalur yang benar dalam rangka membumikan Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam. (H15-14)
—Penulis adalah penulis buku Biografi Intelektual KH MA Sahal Mahfudh, Wakil Ketua PCNU Pati