Small is Beautiful: judul buku yang ditulis Schumpeter pada 1973. Seberapa indah? Beberapa waktu lalu, saya menelusuri jalan pantura, mengarah ke timur dari Kota Semarang. Berhenti melepas lelah di suatu tempat yang tidak asing bagi para peziarah: Masjid Agung Demak. Di masjid ini pula sembahyang maghrib dan isya’ saya ‘rangkum’.
Seuntai doa mengakhiri ritual saya malam itu. Sebuah tiang tepat di depan saya sungguh menarik perhatian. Seperti ketiga tiang lainnya turut menyangga masjid yang berusia 6 abad lebih itu (berdiri pada 1401). Konon dibuat dari serpihan (tatal) kayu yang disatukan, namun tidak kalah kokoh dengan penyangga lainnya. Keempat tiang yang dikenal dengan soko guru itu adalah simbol kemegahan. Teringat sebuah film yang dibintangi Dedi Mizwar (Sunan Kalijaga), yang diintroi gelora ‘bismillah, bismillah…’ saat masjid pertama di Jawa itu dibangun.
Saya tetap memikirkan tiang unik (soko tatal) itu, sembari membayangkan sosok aslinya yang sudah dimuseumkan karena dilalap waktu. Di dunia konstruksi, tatal-tatal seperti itu mungkin tak berguna. Apalagi bentuknya tak beraturan. Tidak untuk pintu, jendela atau yang lainnya. Entah, pikiran apa yang melandasi Sunan Kalijaga membuat tiang seperti itu. Konon karena kelalaian Sang Sunan melaksanakan tanggung jawab untuk membuat salah satu dari keempat tiang utama tepat waktu. Lepas itu semua, keindahan mengaura, menyelinapi setiap sisi kemegahan masjid itu.
Tak bermaksud untuk menghitung berapa kira-kira jumlah tatal yang menyusun tiang seperti itu. Hanya heran, kalau bukan kagum, mereka telah menyatu berabad-abad demi menegakkan sebuah bangunan yang orang menyebutnya baitullah (Rumah Tuhan). Tiang-tiang lainnya, mereka adalah ‘satu’, satu (tiang) kayu dari sebatang pohon. Bukan ‘menyatu’, dari ketercerai-beraian lalu menjadi satu. Mungkin sejarah ini mengajari para founding father kita dalam merumuskan Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Mungkin juga tidak.
Krisis ekonomi dua dekade lalu, yang mengantarkan kita ke era transisi demokrasi sekarang, membuktikan ‘keindahan’ yang ‘kecil-kecil’ itu –industri-industri kecil dan menengah. Saat industri-industri raksasa, utamanya sektor keuangan, ‘tutup buku’ untuk selamanya, mereka justru pasang dada sebagai penyelamat bangsa. Jauh setelahnya, dalam satu kesempatan, Presiden Obama pernah menyatakan kekagumannya: bangsa Indonesia ditegakkan oleh orang-orang yang tangguh. Pikir saya, terang saja, para wali sudah mengajarkan itu sejak lama.
Saya masih percaya “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” akan selalu relevan sampai kapanpun. Tetapi masih saja ada yang tak percaya dan menganggapnya absurd. Ketidakpercayaan ini melahirkan orok-orok permusuhan atas nama agama, suku dan apalagi kelompok politik dan ekonomi. Masyarakat masih mengenal struktur: patron-klien yang memperkuat sakralitas strata-strata. ‘Aku’ lebih tinggi atau rendah ketimbang ‘dia’. Perbedaan dan keanekaragaman yang tidak pernah bisa diurai.
Sebagai seseorang, semua dari kita di negeri ini adalah tatal-tatal yang menyangga Indonesia. Strata boleh dibiarkan tetap sakral, tetapi tidak harus menjadi ideologi perpecahan. Itu alasannya, mengapa Tunggal Ika: manunggal. Perbedaan menandai bangsa ini tidak saja unik, tetapi juga kaya. Sebaliknya, keunikan dan kekayaan itu menjadi nyata sebab perbedaan. Berbeda dan beranekaragam, yang ‘menyatu’ dan menyoko-gurui Indonesia, menyertai kesamaan-kesamaan: ‘satu’ bangsa, tanah air dan bahasa.
Sekali membalik badan sebelum meninggalkan masjid itu, sekali lagi saya mencermati kewibawaannya, dan lalu melanjutkan perjalanan.
Muhammad Fachrur Rozi, Dosen pada Prodi Perbankan Syariah IPMAFA