Dalam konteks NU, perbandingan madzhab (muqaranatul madzahib) pada kajian zakat adalah keniscayaan untuk memilih pendapat yang paling unggul (rajih) berdasarkan dalil dan kemaslahatan publik.
Hal ini disampaikan Jamal Ma’mur Asmani pada kegiatan Madrasah Amil di Tamansari, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (17/3) sore.
Ia menyebut pendapat Imam Abu Hanifah tentang wajibnya zakat bagi seluruh hasil bumi, menarik dikembangkan. Hal ini penting dilakukan supaya kajian fiqih di NU semakin dekat dengan pendekatan maqasidus syariah (tujuan pemberlakukan syariat Islam), yaitu menjaga agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan.
“Pendapat pentingnya memasukkan manafi’ (kemanfaatan atau jasa) termasuk jenis mal (harta) harus dikaji dalam konteks zakat profesi,” ujar Kaprodi Manajemen Zakat dan Wakaf, IPMAFA Pati, Jawa Tengah.
Adapun pendapat Imam Malik tentang sabiilul khair atau wujuuhul khair (jalan-jalan kebaikan), kata Jamal, sebagai interpretasi sabilillah.
“Atau pendapat Imam Qaffal yang mengutip sebagian ulama dalam hal ini harus dikembangkan lebih aplikatif,” tambahnya.
Menurut penulis buku Fiqih Sosial Kiai Sahal, pengembangan konsep zakat ini dalam rangka agar semua jenis usaha, harta, dan profesi manusia yang komersial mengandung hak orang lain yang harus ditunaikan,
“Khususnya zakat, baik pribadi atau perusahaan. Semakin banyak sumber zakat, semakin besar potensi pendapatannya, sehingga mampu memberdayakan ekonomi umat menuju kemandirian dan kejayaan,” urainya.
Jamal menekankan dalam hal ini, lagi-lagi amil zakat menjadi kuncinya. Amil zakat haruslah sosok yang shidiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
“Punya integritas moral, kapasitas intelektual, kreatif, inovatif, gigih, pantang menyerah, dan totalitas dalam mengelola zakat demi menggapai ridla Allah Subhanahu wa Ta’ala,” katanya.
Ia menegaskan NU Care-LAZISNU harus melahirkan amil-amil zakat ideal ini.
“Demi kebangkitan zakat di NU, skrg dan masa depan,” pungkasnya. (Kendi Setiawan)
Sumber: NU Online