Oleh Sholahuddin
“Penting bagi politikus santri untuk melaksanakan kebijakan politik berdasarkan kemaslahatan bersama, yang jauh dari praktik manipulatif dan koruptif”
BEBERAPA hari ke depan mungkin menjadi hari-hari yang makin melelahkan bagi elite Partai Demokrat (PD). Betapa tidak, nyayian Muhammad Nazaruddin makin menyudutkan mereka dan menjadikan citra partai pemenang pemilu itu bertambah merosot. Kongres di Sentul juga tidak begitu bergairah menanggapi nyanyian Nazaruddin. Imbauan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun agar kader yang tersangkut masalah untuk mundur juga direspons datar saja.
Salah satu tokoh yang dituduh Nazaruddin sebagai desainer korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games 2011 di Palembang dan Pusdiklat-Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor adalah sang ketua umum partai, Anas Urbaningrum. Tuduhan ini dapat dilihat secara live dari wawancara seorang citizen journalist dengan Nazaruddin lewat MetroTV.
Dalam wawancara tersebut, secara terang-benderang Nazaruddin membidik Anas yang disebutnya menggunakan dana APBN demi pemenangannya pada munas di Bandung 2010. Tuduhan itu juga dikuatkan oleh pengakuan sopir dan mantan staf Nazaruddin melalui dialog yang disiarkan oleh stasiun televisi tersebut.
Meskipun semua tudingan belum bisa dibuktikan 100%, hal itu jelas menurunkan kewibawaan sang ketua umum partai, termasuk partainya, dan ketua dewan pembinanya.
Kewibawaan Anas dan partainya makin hari digerogoti oleh Nazaruddin lewat berbagai cara: wawancara dengan stasiun televisi, BlackBerry Messenger, dan skype. Sebagai politikus muda yang mestinya bisa bertindak cepat dan matang, serangan Nazaruddin, dan juga kelambanan Anas merespons sangkaan itu seperti hendak menggambarkan gagalnya eksperimentasi politik Islam saat ini.
Menurut hemat saya, kelambanan Anas merespons nyanyian Nazaruddin berakibat negatif terhadap citra Demokrat. Tudingan yang membelit dirinya juga menjadi cerminan kegagalan politikus muda Islam yang masuk ke lingkaran kekuasaan. Anas adalah representasi politikus muda yang dilahirkan dari organisasi mahasiswa (HMI), bahkan dia pernah menjabat ketua umum dua periode. Ketika memasuki gelanggang politik dan kekuasaan, dia ternyata sama saja dengan lainnya, yaitu larut dalam praktik koruptif dan manipulatif. Di sinilah letak kegagalan eksperimentasi politiknya.
Kemaslahatan
Di atas kertas, sebagai mantan aktivis muda yang berlatar belakang HMI, ia seharusnya mampu mewarnai dunia politik yang bermoral dan memegang tinggi fatsun yang digariskan moralitas agama. Muaranya, terjadinya transformasi politik yang lebih baik, bersih dari praktik koruptif. Sebagai seorang santri kota yang terjun ke politik Anas seharusnya berani tampil terbuka dan cepat merespons semua tudingan Nazaruddin. Hal ini belum tampak dia lakukan dan akhirnya menjadi celah bagi publik untuk berpikir tidak proporsional tentang dia dan juga Partai Demokrat. Memang perjalanan politik Islam senantiasa timpang dan mengalami kegagalan dalam usahanya untuk mencapai kekuasaan.
Menarik apa yang dikatakan oleh Fachry Ali (2008) bahwa kaum santri tidak terlalu cocok mendirikan partai. Analisis itu dikaitkan dengan kondisi politik santri yang hari-harinya didera konflik tak berujung, yang akhirnya hanya membi¬ngungkan jamaah santrinya. Kegagalan politik santri seperti itu perlu menjadi peringatan bagi aktivis muda Islam yang antre dalam kendaraan partai politik.
Kamus politik Islam menegaskan bahwa politik adalah salah satu jalan untuk menegakkan kemaslahatan publik (al-maslahah al-ammah). Salah satu kaidah fiqhiyyah yang penting dan menjadi pegang¬an dalam konteks Anas adalah kebijaksanaan kepala negara/ ketua umum partai kepada rakyat atau anggotanya yang harus mendasarkan pada atas kemaslahatan bersama. Berdasarkan kaidah itu, penting bagi politikus santri untuk melaksanakan kebijakan politik berdasarkan common good atau kemaslahatan bersama, yang pasti jauh dari praktik manipulatif dan koruptif. (10)
— Sholahuddin, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah (Staimafa) Pati, alumnus Centre for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Program Pascasarjana UGM