Tanya:
Apa hukum melakukan jual beli secara online menurut Islam?
Syaiful, Batangan
Jawab:
Transaksi bisnis zaman sekarang banyak berbeda dengan jaman dahulu yang dilakukan secara langsung antara pembeli dan penjual. Praktik perdagangan modern saat ini banyak dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik online di mana pembeli dan penjual tidak saling bertemu, komunikasi dilakukan secara jarak jauh dan barang belum diketahui oleh pembeli.
Jual beli yang disebut e-commerce ini bagi sebagian orang tentu menimbulkan keraguan hukum karena mengandung unsur ketidakjelasan barang (jahalah), serta rentan penipuan. Dalam muamalah, untuk menjadikan akad sah harus memenuhi rukun dan syarat-syaratnya yaitu pelaku akad (aqidain), kontrak (sighat/ijab-qabul) dan objek akad (mahal alaqd).
(Taqiyuddin Addimasyqi, Kifayatul Akhyar, 2001, halaman 279). Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah pihak yang berakad tentu harus cakap hukum dan tidak ada paksaan, ijab-kabul yang sesuai dan dibuat sejelas-jelasnya agar tidak menimbulkan sengketa di waktu kemudian, dan objek akad harus halal.
Selanjutnya, para ulama menjabarkan syarat tersebut secara lebih rinci sesuai bentuk akad yang digunakan sehingga menjadikan berbeda antara akad satu dengan akad yang lain. Terkait e-commerce, sarana melakukan ijab-qabul yang menggunakan peralatan modern (alwasail alhaditsah) seperti email, website, telepon, media sosial dan sarana transaksi lain, merupakan realitas yang wajar.
Perkembangan bisnis dan komunikasinya selama tidak menyalahi aturan syariat diperbolehkan dalam agama. Rasulullah Saw bersabda, ‘’Kalian lebih tahu dengan urusan dunia kalian’’. (HR Muslim).
Karena sarana yang digunakan bisa dibaca dan dilihat, maka praktik ini dapat disamakan dengan tulisan atau kitabah yang diperbolehkan (Lihat Wahbah Zuhaily, Mausu’atul Fiqh Alislami Almuashirah, juz 4, halaman 132 dan Almausuíah Alfiqhiyyah Alkuwaitiyah, juz 30, halaman 201).
Jual beli tanpa pengucapan secara lisan dalam fikih juga disebut jual beli muíathat yang hukumnya diperbolehkan oleh mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan sebagian Syafii (Lihat, Mughnil Muhtaj, juz 2, halaman 7) dan sudah berlaku dari dulu sampai sekarang. Mengenai majlis akad e-commerceterletak pada praktik yang berlaku antara penawaran dan penerimaan sesuai dengan ketentuan transaksi online yang berlaku karena hal tersebut tidak dapat dihindari.
Menurut sebagian besar ulama meliputi Hanafi, Maliki dan Hanbali, diperbolehkan adanya jarak (tarakhi) antara ijab dan qabul dalam akad seperti yang terjadi dalam e-commerce. (Lihat, Almausuíah Alfiqhiyyah Alkuwaitiyah, juz 30, halaman 216).
Permasalahan dalam e-commerce muncul terkait dengan barang yang akan dibeli yakni objek akad yang dijual hanya berbentuk displai foto yang diperlihatkan di website atau handphone dan calon pembeli tidak mengetahui secara pasti sehingga menimbulkan ketidakjelasan.
Dalam mazhab Syafii, objek akad dikatakan sah harus memenuhi lima hal yaitu suci, ada manfaatnya, dapat diserahterimakan, dimiliki oleh penjual atau yang diberi kuasa, dan kejelasan barang (Mughnil Muhtaj, halaman 16- 23). Hal ini untuk menghindari gharar (ketidakjelasan) yang dilarang.
Melihat praktik transaksi e-commerce, ketidakjelasan barang sebenarnya sudah diselesaikan dengan adanya deskripsi barang secara jelas oleh pihak penjual sehingga pembeli sebelum memesan sudah mengetahui spesifikasi barang yang akan dibeli dan kepada siapa dia sedang bertransaksi.
Praktik ini dalam fikih menggunakan akad salam dimana pembayaran dilakukan terlebih dahulu dan barang dikirim kemudian sesuai dengan spesifikasi yang dipesan. Dalam transaksi online zaman sekarang, para pelaku bisnis harus hatihati agar tidak tertipu dengan hanya tampilan iklan dan foto.
Untuk menghindari penipuan tersebut calon pembeli dapat melihat identitas website, lembaga atau perorangan dan teman-teman yang sudah pengalaman di dunia internet dan e-commerce untuk mengkonfirmasi bonafid-tidaknya identitas penjual.Wallahu aílam. (H15-45)
Sumber: Koran Suara Merdeka