International Young Women Muslim Forum (IYWMF): Catatan Refleksi
‘Agama harus menjaga kita daripada dosa, tetapi betapa banyaknya dosa diperbuat atas nama agama?’ Raden Ajeng Kartini
Pada kesempatan bedah buku Th. Sumartana dalam Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini, ada prolog menarik yang ditulis di buku tersebut, Kartini, seorang pahlawan yang kalah, tidak seperti kebanyakan kisah heroik pahlawan yang banyak dikisahkan. Kartini meskipun kalah melawan struktur dan kultur social yang ada di sekelilingnya, akan tetapi bagaimana dalam kebisuan surat-suratnya telah mampu membangkitkan gairah kesadaran kaum perempuan untuk keluar dari sekat-sekat structural dan cultural yang ada.
Tentu saja perjuangan Kartini belum berakhir, masih sederet masalah perempuan yang tetap menjadi pekerjaan rumah besar untuk diselesaikan bersama, pergerakan perempuan tentu saja tidak terlepas sebagai konsekuensi globalisasi yang telah menjadikan dunia menjadi desa yang terkoneksi, perkembangan arus informasi yang sedemikian pesatnya dapat kita dapatkan informasi apa saja dalam hitungan detik, sampai-sampai saat ini kita tidak mampu membayangkan suatu desa yang tidak terkoneksi dengan tekhnologi informasi.
Saat ini bukan lagi saatnya perempuan bicara tentang tuntutan peranan, akan tetapi lebih dari itu, sudah saatnya perempuan berbicara tentang kontribusi nyata yang dapat dilakukan untuk turut serta menjadi actor utama dan menjadi bagian dari perubahan, bersinergi bersama melampaui sekat-sekat ego sektoral dan terus melaju meninggalkan pertanyaan yang kerap sulit dijawab yaitu: bagaimana mensinergikan sumber daya perempuan tanpa harus terpuruk pada posisi tertindas, termarginalkan dan terekploitasi diantara kungkungan norma agama maupun social yang terkadang tidak memberikan ruang cukup bagi perempuan untuk turut menjadi actor perubahan.
Dunia Islam pada masa kini dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan keamanan global, perdamaian, kesejahteraan dan demokrasi. Hal ini karena fakta Negara mayoritas penduduk muslim mengalami problem konflik yang tak berkesudahan, mulai kemiskinan diskriminasi terhadap perempuan dan demokrasi semu. Stigma terorisme juga melekat pada Negara-negara muslim, stigma ini yang sejatinya mengandung kebenaran sebab memang pada kenyataanya masih ada kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam.
Kasus pengeboman rumah ibadah yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu melibatkan yang aktor perempuan, telah memberikan cukup gambaran terhadap potensi radikalisme di kalangan perempuan, terlepas dari motif apapun yang menyertainya.
Semua itu tentu saja tidak lepas dari terbukanya akses media yang masuk ke semua lini keseharian kita, penyataan ‘anda adalah apa yang anda akses’ akan turut serta membangun mindset kepada kecenderungan tertentu. Terlebih lagi dari apa yang saya amati, pada jam-jam tententu perempuan mempunyai kecenderungan untuk menjadi relawan pasif yang secara tidak langsung berpotensi sebagai konsumen sekaligus penyebar berita hoax atau ujaran kebencian. Sehingga dalam forum ini sudah sangat tepat kiranya agar semua perempuan bersinergi untuk membangun jaringan pengisi konten damai, aktif menjadi pelaku digital sekaligus menjadi aktor literasi digital media damai untuk kaum perempuan.
Lebih dari itu membangum damai sudah semestinya diikuti dengan pembagunan miliu damai, dengan pendekatan pemberdayaan ekonomi perempuan, keterwakilan perempuan di politik yang kesemuanya itu akan mendorong terbangunnya lingkungan yang kondusif untuk terciptanya perdamaian.
Data BPS menyebutkan bahwa presentase rumah tangga yang dikepalai perempuan sebesar 13,4% yang itu artinya hampir seperempat kepala keluarga di Indonesia adalah janda, dan persentase keterwakilan peran perempuan di politik sebesar 17,32% (Koalisi Perempuan Indonesia, 2017) terlepas persyaratan 30% pemenuhan kuota perempuan di politik, kenyataan ini masih menjadi tantangan berat bagi perempuan Indonesia.
Suatu kehormatan bagi saya untuk dapat terpilih dalam event ini, suatu kesempatan untuk berbagi cara kreatif dalam berbagai isu yang dikemas dalam sub tema krusial, mulai dari isu perempuan dan perdamaian, penguatan kepemimpinan perempuan, pendidikan inklusif, isu kesehatan, pemberdayaan ekonomi perempuan dan literasi digital untuk peaceful dakwah. Dalam acara yang dimotori penyelenggaraannya oleh Fatayat Nahdhatul Ulama dan UN Women,
International Young Women Muslim Forum yang bertajuk Finding the creative ways for a better world dimotori oleh Fatayat Nahdhatul Ulama, ini mencoba membangun poros baru gerakan perempuan global yang bervisi pada perdamaian dunia.
Indonesia sebagai Negara yang berpenduduk muslim mayoritas, memiliki peran sangat strategis untuk menampilkan wajah Islam yang moderat, toleran dan demokratis, sehingga forum ini merupakan ruang pertemuan dan connecting forum bagi social aktifis perempuan untuk saling bertukar pengalaman tentang best practice from the field dalam beberapa isu krusial dimana perempuan dapat menjadi actor potensial.
Indonesian President Joko Widodo on his opening remark confirm that 8 of his cabinet ministries were filled with women ministers, and on his last remark he has strong belief that this forum will produce new ideas, initiatives and creative ways. This opening ceremony was also attended by the Ministry of Foreign Affairs Retno Marsudi, Ministry of Religious Affairs Lukman Hakim Saifuddin, Ketua pengurus besar PBNU Marsudi Syuhud, ketua Fatayat NU Anggia Ermarini.
200 peserta dari 17 negara Indonesia Filipina Malaysia USA Australia turki jerman Bangladesh india kahmir Pakistan hongkong korsel Taiwan Afghanistan maroko, Somalia dan dihadiri pula dari beberapa delegasi CSO permpuan seperti Perempuan Ahmadiyah, Muslimah Ahlul Bait, Rahima, Fahmina, Aman Indonesia, Kowani, dan Solidaritas Perempuan Indonesia.
Acara yang ditutup oleh Menteri Pemberdayaan Perempuaan dan Perlindungan Anak Ibu Professor Dr. Yohana Susana Yembise menghasilkan The Jakarta Declaration of The international Young Women Change Maker 2018 yang menitik beratkan pada konsep islam rahmatan lil alamin dengan serta merta menghapus segala bentuk ketimpangan, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan, peran aktif perempuan sebagai agen perdamaian, peningkatan kapasitas kepemimpinan perempuan di semua sector, menolak pernikahan dini dan diskriminasi terhadap anak perempuan maupun perempuan muslim untuk mendapatkan kesempatan pendidikan tinggi, mendesak pemerintah untuk memperbaikan kualitas pelayanan kesehatan bagi perempuan, pengembangan pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi, dan meningkatkan peran aktif perempuan sebagai pelaku media yang membawa pesan damai.
Konferensi ini diharapkan membangun poros baru gerakan perempuan global yang bervisi pada perdamaian
*Penulis adalah Dosen Pengembangan Masyarakat Islam Institut Pesantren Mathaliul Falah, South and Souheast Asia KAICIID Fellow Network, Board Indonesia Peacebuilding Institute.
Comment